YTH. Anggota Milis,
Perjalanan menuju Banda Aceh merupakan salah satu perjalanan panjang yang
sangat menyenangkan. Sejak kecil, saya selalu menginginkan sampai di ujung
Indonesia¡K.salah satunya di lepas pantai Sabang! Titik Nol¡Kmerupakan tujuan
hidup saya.
Mungkin sama seperti perjalanan kami (Simpay FIB UI) menuju Holy
Land¡Kpencarian jati diri). Perjalanan ke titik 0 sepertinya saya samakan
dengan mencari ¡¥tanah suci¡¦ mencari jati diri¡Kke titik nol. Ke titik
nol¡K.entah apa yang akan saya temukan.
Tak banyak yang saya lihat¡K
Hanya saja¡Kbisa dirasa¡K
Kehidupan manusia di Aceh yang sama kompleksnya dengan kehidupan manusia di
Jakarta. Mungkin yang membedakan bahwa saya harus mengenakan kerudung/jilbab di
tanah rencong ini! Semua perempuan harus mengenakan jilbab¡Kterserah model
bajunya seperti apa. Lengan pendek pn boleh¡Kasal pakai kerudung! Wow¡K.saya
agak siyoook melihat fenomena ini! Kenapa sekalian saja tidak usah pakai
kerudung ya? Saya yang bukan pengguna kerudung merasa aneh dengan fenomena
yang saya lihat. Sungguh saya merasa sakit hati¡K(ahhaha¡Ksakit hati yang tidak
ada juntrungannya hanya karena terpaksa mengenakan kerudung)¡Kplus¡Kketika saya
melihat beberapa kawan WNA yang bekerja di NGO asing tidak mengenakan kerudung
saat berada di jalanan¡Kkenapa lagii ini?
Aaarghseharusnya ketika datang ke Aceh saya berubah bentuk dulu menjadi
bule!
Ahahhaha
By the way¡Kbukan itu intinya..
Hehehe
Saya terharu melihat hamparan warung dan rumah took yang menjual makanan.
Banyaaak sekal. Mie Aceh, nasi goring, nasi gurih, sate matang, martabak,
bahkan baso dan es cendol pun ada. Saat itu saya berujar, saya bias hidup lama
di Aceh kalau makanannya beraneka ragam begini. Makanan padang pun ada. Hanya
saja¡Ksaya tidak menemukan WARTEG. Jadi¡Ktiadalah warteg macam sasari seperti
yang ada di bilangan gang cengkeh Margonda Depok yang sehari-hari menjadi
tongkrongan banyak mahasiswa.
Kembali ke sate matang,
Makanan ini merupakan makanan favorit saya selain mi kepiting.
Sate sapi bakar yang dihidang dengan gulai daging berlemak menjadi andalan
banyak toko makanan di Banda Aceh. Dan saya sangat menikmatinya. Harganya
memang agak mahal, hitungan 20ribuan, tapi tak masalah lahapalah arti
20ribu untuk kenikmatan di luar Pulau Jawa!
Tak ketinggalan saya mencicipi nasi goreng khas aceh yang dihidangkan bersama
gorengan seperrti kepiting goreng, udang goreng, ayam goreng, dan telur dadar
goreng!
Ditambah asingan bawang merah penambah selerah. Wuiiih sedap betul.
Ketika saya menikmati hari terakhir di Banda Aceh dengan hidangan (lagi-lagi)
sate matang, martabak dan beberapa bongkah udang goreng...saya teringat makanan
udang dan kerang yang ada di Jakarta. Dan entah mengapa saya teringat sebuah
tanyangan di salah satu stasiun televisi swasta yang memberitakan tentang
makanan oalahan yang diolah secara sembarangan: seperti jamu yang dipalsukan
(lengkap dengan pemalsuan kemasan), cumi yang dicuci dengan pemutih pakaian,
kerang hijau yang direndam dengan pewarna plastik, makanan kadaluwarsa yang
dikemas ulang, tahu yang diberi zat kimia, beras yang diberi pemutih dan masih
banyak lagiii.
Sejenak saya kwatir, apakah makanan di Aceh juga diperlakukan sama?
Sedih sekali saya mengingat tayangan televisi itu. Makanan-makanan yang
seharusnya menyehatkan malah diolah dengan salah kaprah hanya demi meraup
keuntungan!
Gila...gilaaa...kemanakah logika? Kemanakan hati nurani?
Makanan yang sudah busuk dan seharusnya dibuang, dikembalikan ke alam supaya
terus bersirkulasi dalam rantai makanan malah diolah kembali menjadi produk
baru dengan tambahan zat kimia, campuran bahan lain, bahkan dikemas ulang.
Hanya karena menginginkan keuntungan dan memanfaatkan budaya konsumerisme
masyarakat Indonesia.
Oke laaahpejabat dan orang kaya mungkin akan mendapat kualitas makanan
yang sangat baik. Tapi bagaimana dengan nasib rakyat biasa, golongan menengah
ke bawah yang akan membeli bahan makanan pasar? Sedangkan di pasar pun sekarang
kebanjiran produk makanan impor asing yang tak terjamin mutunya, kebanjiran
olahan makanan hasil pemalsuan dan penambahan bahan kimia berbahaya.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Mengapa para pengolah itu tega memberikan racun untuk orang lain?
Mengapa hanya karena keuntungan, meraka tega meracuni bangsanya sendiri?
Saya yakin, mereka dan keluarganya tidak memakan makanan yang mereka olah
dengan racun itu!
Mungkin alasa mereka melakukan itu karena mereka juga dituntut harus hidup.
Sedangkan tidak ada kesejahteraan yang datang pada mereka. Mereka pun rela
membuang hati nurani mereka hanya untuk kesejahteraan pribadi.
Dari mana datangnya kesejahteraan? Dari siapa?
Dari negara? Dari pemerintah? Dari kantor? Dari Koruspsi? Dari pemasungan
seni? Dari mana?
Satu kasus makananmerupakan salah satu titik dari ratusan titik dalam
rantai lingkaran setan sistem di negeri in