Geometri Tertawa

Geometri Euklides bertemu dengan kepastian Descartes: “setiap dua titik dapat 
ditarik sebuah garis lurus”, sejajar dengan “aku berpikir maka aku ada”.
 
Kita bisa memasuki permainan pikiran ini dengan pernyataan lain: “setiap 
pikiran yang dituliskan akan menghasilkan aksara atau dunia tanda”. 

Itulah hipotesis yang tak perlu berepot membawanya ke dunia laborat: kita bisa 
mengerjakannya sendiri dan saat ini: mengambil pena dan meletakkan dua titik 
secara berjauhan, lalu menghubungkan kedua titik itu dengan satu garis lurus. 
Saat kita melakukan itu pun pernyataan Descartes sudah dan sedang berlangsung: 
adanya diri kita yang sedang membuat sebuah garis lurus. Begitu juga saat kita 
melontarkan pikiran itu ke dalam dunia tulisan.  

Tapi, apakah itu dunia kepastian, sebagaimana ilmu mengangankan untuk dirinya? 
Tidak. Itu tetap dalam tingkatan “hipotesa” karena belum terjadi. 
Berulang-ulangnya ketiga rangkaian pernyataan itu bukanlah sebuah kepastian, 
sesuatu yang pasti terjadi, yang kepastiannya memiliki tingkat keharusan yang 
abadi. Karena ketiganya adalah kepastian di tingkat nalar logis, bukanlah 
kepastian di tingkat kejadian yang akan dan pasti terjadi. 

Sebab gampang sekali kehidupan mematahkan kepastian seperti itu: cukup dengan 
kematian, atau hilangnya nalar logis dalam diri seseorang. Apakah Descartes 
saat tidur bisa berkata: aku berpikir, maka aku ada? Bukankah dirinya sedang 
tidur yang berarti kesadaran pikirannya ikut tertidur – seperti benda yang 
dalam keadaan istrirahat dalam kalimat pertama hukum Newton yang pertama? 
Dengan cara yang sama kita bisa menghilangkan kata “kepastian” yang hendak 
dilekatkan kepada kedua pernyataan lainnya.

Maka kepastian adalah sesuatu ilusi, kehendak imperatif pada pikiran: 
menjangkau fenomena benda dan makna, sebagai sesuatu yang bernilai stabil dan 
tetap. 

Bahasa matematika tak tergoyahkan, kata orang. Tapi lihatlah kita telah 
mematahkannya ke dalam ruang dan rentang definisi arti kepastian di tingkat 
logika, dengan kepastian di tingkat kejadiannya. Dunia selalu adalah dunia yang 
menyisakan sebuah ruang, ruang yang mungkin. Dengan kata “mungkin”, di situlah 
sang mahluk menjadi berendah hati atas dunia ini.
Katakanlah “insya allah”, jangan kau katakan pasti terjadi. Sebab ilmu, atau 
sains, betapapun digdayanya, adalah mustahil menebak apa kepastian yang akan 
terjadi besok. Baik pada tingkat semesta maupun dalam dunia manusia. Selalu, 
yang abadi itu adalah sebuah kemungkinan.

Kedigdayaan dunia mekanika Descartes dan Newton selama ratusan tahun, akhirnya 
berguguran ketika fisika baru menemukan sesuatu yang aneh dalam fenomena dunia 
atom atau subatom. Betapa di sana partikel-partikel atom menunjukkan wajah yang 
tak pastinya. Sifat yang paradoks yang telah membuat klaim fisika Newton tidak 
bisa dioperasikan lagi. 

Selintas teringat kehendak dalam angan Kredo Puisi Tardji saat menyimak dunia 
atom fisika abad 20: betapa atom berloncatan tak tentu arah sebagaimana dunia 
puisi Tardji yang tak hendak tunduk dengan irama puisi dari sebuah tradisi 
puisi (setidaknya tradisi puisi di Indonesia). Bahwa atom pembentuk bahan dasar 
dunia itu, karena sifatnya yang berlainan dengan sifat yang dilihat oleh 
Newton, telah membawa implikasi yang tak terpermanai akan kenyataan dunia. 

Kini kita jadi tahu bahwa, misalnya, ruang dan waktu yang absolut dalam 
paradigma Newton, patah oleh ruang dan waktu yang relatif dalam paradigma 
Einstein. 

Orang bisa berkata itulah watak kebenaran ilmu dan watak kemenyingkapnya 
fenomena dunia: bahwa alam membukakan dirinya selapis-selapis, sedang manusia 
setahap demi setahap memperbarui metode ilmiahnya. Tapi bagaimana dengan fakta 
perdebatan legendaris antara Einstein dan Bohr – dua orang yang relatif 
memiliki paradigma yang sama dan peralatan metode yang sama dalam dunia fisika 
baru itu? – metode ilmiah. 

Mengapa Einstein sampai akhir hidupnya tidak menyetujui implikasi dari 
kenyataan fisika kuantum?

Sayup-sayup terbaca karena Einstein tetap percaya kepada dunia eksternal yang 
menguasi dunia benda-benda, sedangkan fisika kuantum menolak, atau 
memperlihatkan sebuah gejala di mana sebab dan akibat tidak harus berlaku dan 
tidak harus terjadi di dunia atom. Dunia di mana dalam fisika atom 
partikel-partikel yang tak tunduk pada hukum tapi mengacak-ngacak hukum. Yang 
karena itu Heisenberg menyebutkannya sebagai prinsip ketidakpastian. 

Capra mengutip Einstein, betapa fisika baru itu telah membuat dirinya 
terguncang. 

“Semua usaha saya untuk menyelesaikan landasan teori fisika dengan pengetahuan 
(jenis baru) ini telah gagal sama sekali. Rasanya seolah-olah tanah tempat kita 
berpijak telah diambil dari bawah, tanpa ada landasan kuat lainnya yang dapat 
dijadikan sebagai tempat untuk mendirikan bangunan”.

Apa yang hendak kita katakan kepada klaim ilmu yang mendeklarasikan, atau 
sering dinyatakan, sebagai dunia yang stabil? Di mana beroperasi dunia 
matematika dengan bahasanya yang serba pasti, dan karena tingkat kepastian 
inilah maka tingkat kepastian dunia benda seolah bisa dijangkau sebagai 
kenyataan yang sudah dipastikan – sains, ilmu yang bisa memastikan fenomena 
benda-benda. Toh kenyataannya kedua pendekar ilmu itu bertengkar tak 
habis-habis pada pokok soal yang sama: dunia di mana keduanya ikut menyemainya 
selama puluhan tahun: fisika kuantum.

Saya sendiri percaya bahwa kebenaran ada dalam tiap tiap tingkatannya. Tapi 
kebenaran yang bukan dalam kepastian terjadinya. Tapi kebenaran logis atau 
kebenaran logika. Inipun bergantung dalam ruang dan dalam waktu – sebagaimana 
telah ditunjukkan kedua fenomena fisika klasik dengan fisik baru, atau dalam 
perdebatan panas kedua jagoan fisika kuantum: Bohr dan Einstein.

Dunia rasional dan moral Yunani belumlah lama, juga tahapan-tahapannya kemudian 
yang kita kenal sebagai lintasan tengah, abad ilmiah sampai dengan era teori 
Big Bang dan teori Theory Everything. Katakanlah telah berlangsung sekitar tiga 
ribu tahun, dengan dijumlahkannya tahun-tahun sebelum masehi – dengan membuat 
simplikasi tahun-tahun sebelum masehi. 
Sedang alam semesta telah terentang puluhan milyar tahun dan kehidupan ratusan 
juta tahun. Alam semesta pun akan terentang ke depan miliaran tahun – ini pun 
kalau kita mengikuti kemungkinan usia matahari – benda gas yang kelak kemudian 
akan kehilangan panasnya dan mengerut ke dalam dirinya sendiri. 

Maka apakah yang akan terjadi pada masa depan? Akan bermunculan fenoma-fenomena 
alam yang tak terkirakan, di mana manusia menjawabnya dan pasti akan 
melayaninya dengan tingkat dunia pemikiran yang lebih canggih.
Rentangan-rentangan itu, kalau dalam dunia informasi agama, telah dirangkumnya 
ke dalam buku induk yang memuat kabar tentang alam semesta: kitab lauh mahfuz. 
Kitab di mana tiap kejadian tentang semesta dan segala isinya ini telah 
dibuatkan olehnya dan dicatat dalam kitabnya. Karena itu ia bermetapora: 
kumpulkanlah tujuh lautan dan tujuh gunung dan jadikanlah batangnya sebagai 
pena dan air lautnya sebagai tinta, tak akan juga selesai menuliskan ilmu 
tuhanmu.

Maka ungkapan penemuan terbesar, atau penciptaan terbesar, baik di ranah ilmu 
atau di ranah sastra, bagi saya nampak menggelikan. Sama menggelikannya dengan 
mereka yang serupa kanak-kanak yang terpukau dengan keajaiban nalar dan ilmu, 
dengan melekatkannya sebagai sebuah dunia kepastian untuk menjangkau kebenaran 
terhadap fenomena alam. Sebab tak ada kebesaran di tengah dunia di mana tuhan 
menyingkapkan rahasianya dan menjawab rahasianya dengan ilmunya yang diturunkan 
pelan-pelan itu.

Tapi begitulah hidup ini, hidup sebagai rangkaian teka-teki di mana manusia 
sebagai anak-anak komedi.

Di sana tuhan geli sendiri, di sini kita bersedih hati.
Mengapa kita tidak ramai-ramai tertawa saja?

Hudan Hidayat





      Warnai pesan status dengan Emoticon

Kirim email ke