[ Minggu, 04 Januari 2009 ] JAWA POS Heri Lentho dan Pemikirannya untuk Dunia Seni Surabaya Heri Prasetyo atau Heri Lentho adalah nama yang tidak asing di dunia seni Surabaya. Seniman tari berkepala plontos itu dikenal karena menggagas berbagai festival di Surabaya. Namanya pun banyak diperhitungkan di jagat seni Surabaya. ----- Anda menggagas begitu banyak festival di Surabaya. Apa tujuannya? Gagasan itu muncul karena hasil pemikiran bersama rekan-rekan seniman lain. Berawal dari pengamatan bahwa masyarakat kota sekarang ini sudah banyak yang tidak menjadi manusia seutuhnya. Jiwa mereka sudah terenggut oleh pekerjaan dan rutinitas sehari-hari. Kesibukan itu kerap membuat mereka jarang bertemu dengan yang lain. Dari situlah mulai muncul gagasan untuk membuat festival. Tujuannya, masyarakat bisa berkumpul dan kembali bertemu. Dari pertemuan itu diharapkan nilai-nilai kemanusiaan bisa kembali lagi. Kapan dimulai? Dimulai sekitar 1990. Pada akhirnya, perkembangannya begitu pesat. Hingga kini sudah banyak festival yang rutin digelar setiap tahun. Mulai Festival Seni Surabaya, Festival Cak Durasim, Surabaya Full Music, G-Walk Percussion Festival, dan masih banyak lagi. Artinya, cita-cita untuk menjadikan Surabaya sebagai kota festival terwujud? Bisa dibilang begitu. Senang juga melihat kegiatan seni di Surabaya makin marak. Apalagi, perhelatan festival itu bisa dijadikan ikon kota sekaligus mendongkrak perekonomian. Sayangnya, sukses ini belum didukung infrastruktur yang baik. Bahkan, yang paling penting saja kita tidak punya. Misalnya, gedung kesenian yang representatif. Surabaya masih belum punya yang sesuai standar. Gedung kesenian Cak Durasim juga belum bisa dikatakan mumpuni. Terutama dari segi lighting dan tata suaranya. Masih kacau. Kenapa tidak ''curhat'' ke pemkot? Rencananya, pemerintah kota membuatkan satu gedung kesenian lagi. Jujur saya senang mendengar kabar itu. Pemkot mendukung keberlangsungan seni di Surabaya. Namun, di sisi lain, saya justru merasa gundah. Sebab, dukungan tersebut ternyata tidak dibarengi militansi dari seniman lokal. Para seniman lokal kita cenderung ''malas''. Itu kan ironis. Mengapa Anda menyebut para seniman itu malas? Surabaya mempunyai banyak stok seniman hebat. Namun, mereka baru benar-benar muncul ketika ada festival atau ketika ada undangan pentas di gedung-gedung kesenian. Pada hari-hari lain, mereka seperti berhibernasi. Tidur panjang. Para seniman kita itu membuat karya bukan berdasar kebutuhan ekspresi. Padahal, tidak perlu di gedung, di mana pun kita bisa melakukan eksplorasi karya seni. Di plaza, jalan raya, bus kota, semua adalah ruang yang bisa dimanfaatkan untuk menghelat sebuah pertunjukan seni. Apa yang menyebabkan itu semua? Ya karena format ilmu yang didapat terlalu formal. Mereka hanya diajari di kelas, mencatat. Selanjutnya belajar praktik di dalam ruangan yang terbatas, sehingga proses yang mereka lakukan sekadar mimikri (meniru). Hasilnya, karya yang diciptakan sekadar berbicara teknik yang tidak punya jiwa dan spirit yang nyata. Itu berbeda dari seniman dulu. Sebelum menetaskan karya, mereka ''nyantrik'' di padepokan-padepokan seniman senior. Saat ngenger, mereka tidak langsung diajari ilmunya. Mereka dikenalkan dulu pada kehidupan sehari-hari sang seniman. Seorang teman saya pernah berkesempatan belajar tari pada penari Jepang. Kali pertama, dia diajari bertani. Kekuatan itulah yang ditampilkan dalam tari. Seharusnya kita meniru yang begitu. Itu supaya ada kesinambungan antara input dan output, sehingga karya yang ditampilkan mengandung nilai-nilai dan berjiwa. Untuk mengatasi itu, apa yang harus dilakukan? Tampaknya, perlu dilakukan reformasi lagi. Untuk tari misalnya, bisa dengan menggagas kembali forum eksperimen tari seperti yang booming pada 1993-1995. Dalam forum itu, penata tari diberi kebebasan berekspresi. Mereka boleh menari di mana saja. Mau di pohon boleh, mau di jalan juga tidak masalah. Kebebasan berekspresi dan bereksperimen apa pun. Dengan memberikan kebebasan itu, mungkin spirit dan jiwa yang ditonjolkan seniman lebih nyata. (igna ardiani astuti/dos) ----- Nama: Heri Prasetyo Nama Panggung : Heri Lentho Tempat/Tanggal Lahir : Malang, 13 Mei 1967 Istri : Siti Nur Khamimah Anak : Siti Afifah Hima Prasetyo Pendidikan : - SMAN 5 Malang 1986 - Pendidikan seni tari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya 1990 Pengalaman Berorganisasi 2008 - 2013: Ketua Bidng Program Dewan Kesenian Jawa Timur 2006 - 2010: Sekretaris Persatuan Pedalangan Indonesia Komda Jawa Timur Beberapa Karya: 2008 : Rai Gedheg & Kuwung Wetan, Festival Reog Ponorogo Kuwung Wetan, Puncak Peringatan Hari Nusantara di Gresik Sinbad Advanture, Waterpark Surabaya Panji Remeng, Kolaborasi Seniman Jatim, Gedung Cak Durasim Spirit of the Heroes, Symfoni untuk Bangsa, Tugu Pahlawan, Surabaya Rai Gedheg, j...@rt Festival Bedayan Orde Antri; sepanjang Jalan raya Gubernur Suryo Surabaya Lagu Gibola, bersama Kramat Percussion Ensamble Pamekasan dalam album LIGA BOLA Indonesia. 2007 : Opera Candrakirana : Taman Krida Jawa Timur Malang; Kuwung Wetan, Halaman Grahadi & Lapangan Sawunggaling Surabaya Tong Kosong, Kosong Bunyinya: Solo International Ethnic Music, Ancol Arts Festival, Opening Surabaya Full Music. Tong Kosong, Surabaya Dance Festival Jawa Timur Menang, Gerak & Lagu Peneyemangat Kontingen PON Jatim tahun 2008 di Gedung Grahadi Surabaya. Suara Padi, Pentas di Festival Seni Surabaya, Sekar Santri, Lapangan Petrokimia Gresik Bedayan Candrakirana, Pendopo Kabupaten Kediri 2006 : Suara Padi, Pentas keliling di Malang, Yogyakarta, Surabaya, Makassar 2004 : Sarang Tikus, Pentas di Rumah Nusantara & CCCL Bandung serta dipentaskan di Umbul-Umbul Festival Denpasar-Bali 2003 : Poli -Tikus, Pekan Koreografi Indonesia, Jakarta [ Minggu, 04 Januari 2009 ] JAWA POS Merasa Pas dengan Lentho SIAPA warga Surabaya yang tak tahu lentho? Itu adalah penganan yang terbuat dari adonan singkong dan kacang merah. Lentho kerap disajikan sebagai pelengkap lontong balap. Tapi, bagi Heri Prasetyo, Lentho seakan menjadi pelengkap identitasnya sebagai seniman. Pemilihan nama Lentho itu bukan tidak beralasan. Tentu, nama itu dipilih lantaran Heri berkepala nyaris plontos seperti lentho. Nama itu muncul saat Heri masih SMA di Malang. Dia menjadi ketua sanggar tari dan wayang orang di sekolahnya. Di kelompok itu, ada dua Heri. Persamaan nama tersebut sempat bikin repot. Jika nama Heri dipanggil, yang muncul dua orang. Itu berulang. ''Ada yang menyarankan supaya namanya agak dibedakan biar tidak mbingungi orang yang manggil,'' ujar pria berkepala plontos tersebut. Supaya tidak sama, Heri yang satu diberi embel-embel Lentho, yang lain disebut Heri Pecel. Nama panggilan tersebut berlaku di lingkup sanggar itu saja. Menginjak perguruan tinggi, Heri tergelitik membuat suatu karya tari yang bisa mewakili dirinya secara utuh. Suatu karya yang ketika disebut namanya, orang akan langsung merujuk pada dirinya. ''Saya beri nama tarian itu dengan nama lentho,'' katanya. Karya tari itu berupa tarian tunggal yang diiringi puisi Rendra. Tarian tersebut tidak diiringi bunyi-bunyian apa pun selain bait-bait sajak. Kombinasi karya yang menarik plus nama unik mengundang reaksi positif rekan-rekan seangkatannya. Banyak yang tanya soal nama lentho yang digunakan sebagai judul tari. Heri pun buka kedok. ''Saya bilang, lentho itu nama panggilan saya di kampung,'''ujarnya. Berawal dari situlah nama Heri Lentho mulai akrab didengar. Bahkan, boleh dibilang nama Heri Lentho jauh lebih populer ketimbang nama aslinya yang sejatinya jauh lebih bagus, Heri Prasetyo. Meski begitu, nama baru itu justru sangat mewakili Heri sebagai seorang seniman. ''Lentho kan makanan khas Surabaya. Artinya, julukan Heri Lentho menegaskan posisi saya sebagai bagian dari seniman Surabaya,''tandasnya. (ign/dos) Kontak: Heri Lentho Prasetyo Hp 081 85 12220 Email:heri_lentho (at) yahoo.com