“Petrus, Presiden Penyair Jalanan,dan lain-lain, ikut meramaikan Pesta Penyair Nusantara 2008”
Oleh : Jack Ponadi Efendi Santoso Banyak orang yang takut disebut sebagai penyair, mereka lebih senang berlindung dibalik kata “peminat puisi”. Mereka beranggapan bahwa seorang penyair adalah seorang pencipta puisi yang karya karyanya telah diakui oleh “dunia”, sementara jika belum masuk koran ataupun majalah budaya, maka dirinya belum pantas dianggap sebagai seorang “penyair”. Padahal dalam kenyataannya, banyak penyair yang tidak dimuat karyanya baik koran lokal maupun koran nasional serta majalah budaya karena tidak punya “channeling” ke redaktur budaya koran tersebut. Sistem yang dibangun, oleh media cetak dalam membesarkan nama seorang penyair didasari oleh sistem “perkawanan”. Masalah standar atau mutu kualitas karya, sifatnya relatif, sebab meskipun menurut media, puisi tersebut tidak layak untuk ditampilkan, namun pendapat media itu senantiasa tidak berbanding lurus dengan pendapat masyarakat “pencinta puisi”. Jadi, dengan kata lain, bicara soal media adalah bicara soal “kesempatan dalam kesempitan”. Artinya, sebuah karya puisi seorang penyair baru bisa dimuat dimedia, bila dia mendapat kesempatan untuk “mengenal atau berkawan” dengan orang media tersebut, sebagaimana halnya para penyair yang karya puisinya dimuat dalam koran “Kompas” maupun “Republika”.Apalagi “Koran Tempo” dan “Horison”. Sementara seorang penyair,seperti “Nirwodo” asal Ungaran, Semarang, yang tidak mempunyai kesempatan tersebut, tidak pernah dimuat karya puisinya baik dalam “koran lokal”, maupun “koran nasional.” Demikian pula halnya dengan penerbit buku. Pada umumnya, para penerbit hanya mau menerbitkan buku puisi yang mereka telah kenal dengan baik “siapa orangnya”, sementara para penyair muda yang belum “punya nama” namun berbakat seringkali ditolak untuk membuat antologi puisi dengan alasan sulit untuk memasarkannya. Prinsip yang digunakan oleh perusahaan penerbit semacam itu adalah prinsip “tak kenal maka tak sayang”. Bila abang tak kenal adik, maka puisi adik tak mungkin abang terbitkan dalam bentuk antologi, karena abang tak sayang adik. Kurang lebih penjabarannya adalah seperti itu. Inilah salah satu faktor mengapa banyak penyair di Indonesia, namun hanya beberapa penyair saja yang karyanya dikenal oleh masyarakat umum atau publik. Padahal menurut rekan-rekan Malaysia yang menghadiri pesta penyair Nusantara 2008, komunitas penyair di Indonesia lebih banyak jika dibandingkan dengan negara mereka, maupun Singapura dan Brunei Darussalam.. Mengingat banyaknya jumlah penyair, maka sudah seharusnya jika pemerintah lebih memperhatikan kehidupan kaum penyair. Sebagaimana halnya yang dikatakan oleh Prof. Dr. Ibrahim Ghaffar, penyair asal Malaysia, mengatakan : “ Penyair, adalah orang yang mencipta sebuah karya puisi”, sedangkan “Puisi” adalah produk dari hasil karya yang diciptakan oleh Penyair”. Apabila dimaknai pendapat bapak Ibrahim tersebut secara lebih mendalam, maka dapat dikatakan tidak semua orang pembaca puisi dapat membuat “puisi”. Namun orang yang membuat puisi sudah pasti bisa membaca puisi, karena dia mengetahui benar makna yang dikandung dalam puisi yang dibuatnya. Sama halnya dengan pemusik. Tidak semua pemusik dapat mencipta lagu, namun seorang “pencipta lagu” sudah tentu “dapat bermain musik” . Sulitnya menembus media cetak, tak pernah menyurutkan semangat penyair terutama didaerah untuk “berkarya”. Mereka terus berkarya, dan mencoba “memasarkan” atau “mensosialisasikan “ hasil karya mereka dengan caranya masing-masing. Ada yang lewat pawai obor, pada saat perayaan 17 agustusan, seperti halnya yang dilakukan oleh Asep Sutajaya, penyair asal Bandung yang sempat memperdalam ilmu puisinya ke Sumatera Utara, ada juga yang lewat sastra milis yang masih dipandang sebelah mata oleh kaum sastrawan ‘media cetak”, bahkan ada juga lewat “mengamen” dengan “membaca puisi” di jalan-jalan. Petrus Adi Utomo, seorang penyair asal Solo yang dinobatkan oleh rekan-rekan dari Riau Pekan Baru sebagai “Presiden Penyair Jalanan”, ikut meramaikan Pesta Penyair Nusantara 2008. Berbeda dengan Sutardji, Presiden Penyair, seorang penyair semacam Petrus ini justru mengamen dari satu tempat ke tempat lain dengan membacakan puisi puisinya. Tak Peduli teriknya panas mentari, maupun gelapnya malam yang pekat, petrus terus menjalankan misinya membudidayakan puisi melalui kehidupan jalanan yang terkenal “keras dan kejam”. Semangatnya tak pernah memudar, meski puisi tak bisa memberinya kehidupan yang layak seperti seorang pegawai negeri. Tapi, rasa cintanya terhadap puisi yang begitu besar, tak mampu menghentikan langkahnya untuk tetap “mengamen lewat puisi”. Puisi telah menyatu dalam jiwanya. Dia terus berkarya, membuat puisi puisi yang menunjukkan rasa keprihatinannya terhadap keadaan sosial masyarakat sekitarnya. Keuletan dan keteguhannya, membahana sampai ke pulau seberang, ke pulau melayu yang indah nan elok. Hal ini menyebabkan dirinya berhasil mendapatkan “piagam Murdhock” dan diberikan gelar sebagai “Presiden Penyair Jalanan”. Sebuah penghargaan terhadap sastrawan yang terpinggirkan akibat kerasnya persaingan kehidupan. Ketika ditanya apa harapan petrus terhadap perkembagan puisi di Indonesia, dengan nada pelan namun penuh makna dia menjawab : “kalau bisa, jangan hanya nyanyi saja yang dilombakan pakai acara polling atau pemungutan suara, tetapi juga lomba puisi untuk mencari “puisi idol”, atau “puisi yang disenangi masyarakat”, dalam rangka membudidayakan kecintaan masyarakat terhadap puisi”. Dia juga mengharapkan bila suatu saat nanti, puisi bisa masuk ke karaoke atau ke café-café, karena sama seperi halnya syair lagu, puisi juga punya ciri khas untuk bisa dinikmati oleh para pencintanya, hanya saja belum mendapatkan kesempatan yang maksimal dalam dunia sastra maupun hiburan di Indonesia.. Kehadiran Petrus Adi Utomo, “Presiden Penyair Jalanan”, menghapus duka dalam Pesta Penyair Nusantara 2008. Terlebih lagi kata-katanya yang bijak, bisa menghibur rasa bersalah panitia. Beliau mengatakan dengan manisnya, “ adik-adik, janganlah merasa khawatir, kami merasa senang bisa berada disini, meski persiapannya terkesan kurang matang, namun kami merasa bersyukur masih bisa mendapatkan konsumsi dan akomodasi yang layak, dibandingkan pada saat kami dulu mengikuti pesta ulang tahunnya presiden penyair Sutardji, di Taman Ismail Marzuki. Ungkapan yang penuh ketulusan itu mampu meredamkan air mata para panitia penyelenggara Pesta Penyair Nusantara 2008. Belum lagi cerita perjuangan teman-teman penyair daerah lainnya untuk bisa menghadiri Pesta Penyair Nusantra 2008, seperti kawan-kawan dari Siak, Riau Pekan Baru. Mereka harus ke Padang dulu untuk mendapatkan tiket pesawat ke Surabaya karena harga tiket dari Riau mahal karena sedang musim liburan. Kawan Asep Sutajaya, yang harus ke kabupaten Cicaheum dulu untuk mengejar kereta Kahuripan. Kawan Ali Rahman Kaban dari Sumatera Utara yang merupakan satu-satunya peserta asal Medan yang berhasil datang ke Kediri meski harus naik kereta ekonomi dari Jakarta ke Kediri. Apito Lahire dan kawan-kawan dari Tegal, meski penyair nomor satu di daerah asalnya, namun senantiasa tetap bersahaja. Suyitno Ethex dari Mojokerto, meski selalu dihubungi oleh mahasiswanya untuk segera kembali mengajar di kampus, tapi berusaha untuk tetap mengikuti acara sampai selesai. Ibu Anil Hukma dari Makassar, meski tiba di pelabuhan Tanjung Perak , Surabaya jam dua belas malam namum tak membuatnya gentar untuk tetap menghadiri acara pesta penyair nusantara 2008. Demikian pula dengan teman-teman daerah lainnya yang mempunyai cerita masing-masing tentang perjalanannya menuju pesta penyair nusantara 2008. Ada suka dan ada air mata, namun tidak memupus rasa persahabatan yang tumbuh dan lahir dari pesta penyair nusantra 2008. Hikmah yang bisa diambil dari acara semacam ini adalah pengalaman. Seperti pepatah mengatakan “pengalaman adalah guru terbaik kita dalam kehidupan”. Pengalaman bertemu dengan seorang presiden penyair jalann, merupakan suatu kesempatan yang langka. Karena belum tentu tahun berikutnya, ada jodoh dan umur untuk saling bertemu kembali. Sebab namanya pertemuan itu adalah bagian dari takdir. Seperti yang biasa dikatakan “Manusia Berencana, Allah yang menentukan”. Oleh karena itu, pertemuan semacam ini merupakan takdir tuhan untuk mempertemukan para penyair baik lintas propinsi maupun negara untuk lebih saling mengenal, memperat hubungan dan saling bertukar pengalaman dalam membudidayakan kecintaan masyarakat terhadap “puisi”. “Belajarlah hingga ke negeri Cina, seakan-akan kau akan hidup seribu tahun lagi”, itu adalah sebuah ungkapan hadist maupun pepatah untuk memupuk kita sebagai manusia untuk terus maju dan berkarya. Berkaitan dengan dunia sastra, negeri Cina mempunyai ciri yang unik, dimana pada masa kerajaan dulu, rakyat yang ingin menjadi pejabat harus bisa lolos test seleksi masuk dengan membuat “puisi”. Hal mana “puisi” tersebut dapat memotivikasi rakyat untuk lebih mencintai raja dan negaranya. Dan hal inilah yang membuat bangsa Cina bertahan sebagai kedaulatan yang penuh hingga kini. Berbeda dengan Cina, kehidupan penyair di Indonesia justru memprihatinkan. Chairil Anwar saja baru dipandang karyanya setelah dirinya meninggal dunia. Sutardji, Rendra, Taufik Ismail baru diakui karya setelah puluhan tahun kemudian. Itupun karena mereka terus berupaya mensosialisasikan karya mereka sendiri, tanpa dukungan pemerintah. Jikalau saja pemerintah mau dan peduli terhadap nasib para penyair nya, maka rasa khawatir bangsa Indonesia kehilangan kedaulatan sebagai bangsa yang utuh bisa terpupus perlahan-lahan. Hal ini dikarenakan, “puisi” sama seperti “sihir”, yang mampu menyihir orang lewat bait kata-kata yang tertuang dalam secarik kertas maupun ruang hampa udara fatamorgana. Jikalau Aslan Abidin dalam puisinya yang berjudul “Tebesaya, Gadis Berputih-Kebaya, tak mampu membedakan gambar penyihir dengan penyair. Maka baik penyihir maupun penyair sama sama mempunyai kekuatan untuk menyihir orang, dimana sang penyihir melakukan sihir dengan ilmu sihirnya, sementara penyair melakukan sihir lewat kata-kata yang tergores dari guratan penanya.