Senin, 5 Januari 2009 | 02:31 WIB 

 

Karlan, Palang Tersisa Topeng Sandur

Oleh INGKI RINALDI

Di usianya yang senja, Karlan (70) seakan tak goyah menjaga kesenian topeng
sandur. Walaupun sepi order, Karlan berupaya agar seni tradisi di Jombang,

Jawa Timur, yang kini terancam punah itu bisa bertahan.

Sepasang mata renta Karlan menatap truk bermesin diesel yang di bagian bak
kayunya bertuliskan ”Campursari Madu Laras”. Di sekitar truk itu ada sejumlah

perempuan muda dan lakilaki yang tengah hangat berdiskusi diiringi gelegar
musik dangdut.

Tak berapa lama truk yang biasa digunakan sebagai pengangkut peralatan
musik, kru, dan artis pendukung itu melesat dari tempat parkir. Bisnis hiburan
ala campursari dan orkes dangdut seakan tak pernah sepi. Jenis hiburan itu 
selalu
ramai undangan, dari satu desa ke desa

lain.

”Wah, kalau (kelompok) campursari itu sih sangat sering mendapat order
manggung,” kata Karlan tentang bisnis yang dirintis Warito, anak tertuanya.
Sayangnya, Karlan bukan anggota orkes dangdut atau campursari yang tengah naik
daun itu. Ia merupakan satu- satunya seniman di Indonesia yang hingga detik ini
terus setia mementaskan topeng sandur.

Kesenian topeng sandur hanya ada di Dusun Guwo, DesaManduro, Kecamatan
Kabuh, Kabupaten Jombang. Menurut Ketua Program Dewan Kesenian Jatim Heri
”Lentho” Prasetyo, kesenian topeng sandur termasuk salah satu aplikasi Budaya
Panji di Nusantara.

Heri menjelaskan, sandur yang mengandung arti sebagai teater rakyat
sebetulnya juga ada di beberapa wilayah lain di Jatim, seperti di Kabupaten
Lamongan.

Namun, topeng sandur hanya ada di Jombang atau tepatnya di Dusun Guwo.

Order pentas sepi

Dengan status sebagai satu- satunya pemimpin kelompok kesenian topeng sandur
yang punya tujuh anggota penari, termasuk seorang anak kandungnya, Mardianto
(35), dan empat pemain musik, tak lantas membuat Karlan besar kepala. Apalagi,
di tengah derasnya modernisasi, kini nyaris tak ada order pentas bagi kelompok
topeng sandur walaupun tarifnya hanya Rp 1,5 juta untuk sekali manggung.

”Paling- paling sekarang ini yang mengundang hanya orang yang punya nazar
tertentu atau jika sedang ada undangan pada perayaan- perayaan tertentu di
kabupaten,” kata Karlan. Kondisi yang berbanding terbalik saat kesenian topeng
sandur menikmati masa jayanya pada tahun 1970-an dengan jadwal pentas

hingga lima
kali dalam sepekan. ”Tahun-tahun itu kami dibayar Rp 150.000 untuk 12 orang.
Waktu itu harga seekor sapi Rp 300.000, sekarang kan Rp 8 juta,” ujar Karlan.

Kesenian topeng sandur pimpinan Karlan memang harus menyerah pada berbagai
bentuk kesenian panggung modern dan kontemporer. Fakta itu semakin buruk karena
kondisi kesehatan Karlan yang terus menurun dalam setahun belakangan ini.
Bagian kaki dan tangan Karlan diserang penyakit kulit yang membuat dia
bergerak. Penyakit itu cenderung menyebar dan menimbulkan sejumlah luka
terbuka. Perawatan medis sudah dilakukannya, tetapi penyakit itu belum

hilang juga.

Dalam kondisi seperti itu, Karlan tetap bertahan. Ia menjadi palang pintu
yang tersisa dari kesenian topeng sandur. Sejumlah kelompok lain sudah
berguguran sejak tahun 1990-an. Kelompok- kelompok itu agak sulit menjual
peralatan pentas mereka. Bagi Karlan, dia mempertahankan topeng sandur karena
itu satu-satunya seni asli produk Desa Manduro. Komunitas etnis Madura adalah
yang paling dominan di desa tersebut.

”Kalau (kesenian) seperti karawitan kan
banyak. Topeng sandur ini cuma ada satu, ya di sini,” kata Karlan yang
dikaruniai delapan cucu dari lima
orang anak buah

pernikahannya dengan Wasinah (73) itu.

Tidak mudah

Tak heran, sejak tahun 1945, kakek kelahiran Desa Gesing, Kabuh, Jombang,
tahun 1938 ini mendedikasikan seluruh hidupnya pada kesenian topeng sandur.

Karlan yang buta huruf dan mempelajari topeng sandur dari ayahnya, Selo, ini
mengaku tidak mudah mempelajari kesenian itu. Mardianto yang berusaha
meneruskan jejak sang ayah mengamini hal itu.

Mardianto yang mulai belajar topeng sandur sejak tahun 1980 baru merasa
mulai menguasai kesenian itu tahun 1991. ”Bagian paling sulit itu menyanyikan
kidungnya,” kata Mardianto. Kidungnya dalam bahasa Madura yang bentuknya nyaris
seperti berbalas pantun itu.

Karlan adalah generasi ketiga seniman topeng sandur di desa itu. Tiga dari
total 12 orang yang terlibat dalam kelompok kesenian yang dipimpinnya itu
adalah para pemuda berusia 30-an tahun. Umumnya mereka anak-anak seniman topeng
sandur pada era Karlan. ”Soalnya, yang mau belajar ya yang laki- laki,” urai
Karlan soal tidak adanya perempuan di kelompok kesenian itu.

Padahal, salah satu di antara delapan topeng sandur yang biasanya
dipentaskan dalam durasi tiga jam itu adalah tokoh perempuan.

Secara urutan, pementasan topeng sandur biasa diawali pemberian sesaji,
seperti telurayam kampung mentah, kemenyan, gula merah, dan sejumlah jajan
pasar. Sesaji itu dilengkapi pembacaan rapal khusus dalam bahasa Madura.

Pementasan dibuka dengan laga seorang penari yang mengenakan topeng utama
bernama Kelono Wijoyo, diiringi rancak musik dari dua kendang, satu terompet,
dan satu gong bambu yang ditiup. Urutan kedua, penari dengan topeng bernama
tokoh Gunungsari yang Secara urutan, pementasan topeng sandur biasa diawali
pemberian sesaji, seperti telur dilanjutkan dengan sogolan, yang berupa
percakapan tiga buruh tani seputar masalah pertanian, dan biasanya berdurasi
sekitar satu jam.

Kemudian, diteruskan dengan tarian bapang, tarian panji yang juga dengan
topeng berbeda, tarian tandak yang membutuhkan topeng perempuan dengan gerakan
gemulai. Lalu, tarian jalang dan tarian jaranan dengan bentuk topeng menyerupai
kepala kuda. Babak terakhir adalah pementasan sejumlah tuan tanah dan para

pemilik modal yang tengah berburu.

Dengan kondisi saat ini, tak mustahil topeng sandur memasuki babak akhir
sesungguhnya. Akan tetapi, di tengah situasi sulit ini Karlan masih menyimpan
koleksi topeng sandur yang terbuat dari kayu mentaos (Wrightia javanica DC)
yang berbentuk pipih. Karlan kini tetap setia menanti order pentas, yang
berarti juga menjaga agar seni topeng sandur tetap lestari.







      

Kirim email ke