DEWAN KESENIAN

oleh HERI LENTHO PRASETYO

 

 

Pada kenyataannya, setiap kali ada pembentukan maupun
penyusunan pengurus baru dewan kesenian di setiap level daerah, seolah-olah
keributan menyertai, dan meletakkan Lembaga Kesenian ini adalah lembaga konflik
bagi seniman. 

Saya sangat
yakin, bahwa energi berdebat dan berteriak itu memiliki banyak kepentingan yang
ujung-ujungnya sama “yaitu ingin membangun kesenian disetiap daerahnya lebih
baik dan lebih maju”. Hanya
saja dibutuhkan kesepahaman bersama tentang fungsi dan peran lembaga ini,
sehingga bagi pemangku kepentingan akan meletakan buah pikirannya dengan tepat.

Untuk menghindari atau bahkan menjawab tantangan tersebut perlu upaya
sosialisasi dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Saya tertarik untuk
mengkaji problema ini, mengapa ini semua terus dibiarkan terjadi, dan
diperlukan upaya mempresentasikan dengan benar tentang manfaat adanya lembaga
ini kepada masyarakat seni dan pemerintah terutama pelakunya yaitu para
birokrasi.



Membangun Sistem Pembangunan Seni Budaya Indonesia

Ada yang
menarik dari sistem pembagunan Seni di Negara-negara maju dan pengalaman saya
pribadi bekerja dengan lembaga non formal di Austaralia. Australia Arts Coucil
(Dewan Kesenian Australia) adalah lembaga yang ditugaskan pemerintah Australia
untuk mendata berbagai draf proposal kegiatan yang diajukan oleh masyarakat
seni se-Australia, kemudian oleh pengurusnya yang terdiri dari orang-orang
intelektual kesenian itu dikaji dan diteliti tentang administrasi, tema, tujuan
dan sasaran kegiatannya, kemudian draf-draf tadi direkomendasikan ke Pemerintah
untuk dijadikan program tahunan pemerintah beserta anggarannya. Sedangkan tahun
depan Masyarakat seni yang mengajukan draf proposal kegiatannya akan diumumkan
untuk segera melaksanakan kegiatan tersebut.

Dari pengalaman tersebut, Posisi Seniman/Kesenian/masyarakat seni pada posisi
subjek, dimana mereka yang melakukan Perencanaan kemudian mempresentasikan ke
Dewan Kesenainnya yang hasilnya adalah sebuah Rekomendasi ke Pemerintah yang
ujungnya adalah mereka sendiri yang mengerjakan dengan pengawasan Dewan
Kesenian.

Sedangkan kalau kita melihat sistem di Indonesia, birokrasi yang menangani dan
mengelola pembangunan kesenian menjadikan pelaku kesenian (mayarakat seni)
adalah objek, dalam pengertian mereka (para birokrat) merencanakan sendiri,
dikerjakan sendiri dan diawasi oleh kelompok mereka sendiri.Sedangkan
kelompok-kelompok kesenian adalah bagian dari objek mereka dengan kesepakatan
yang tujuan utamannya adalah menguntungkan para birokrat dari sisi financial.

Dari tiga dekade pembangunan kesenian di Indonesia, yang terjadi hasilnya
adalah seperti berjalan ditempat, tidak ada sebuah gerakan pembangunan kesenian
yang fenomenal dan terjebak dalam rutin kerja, karena prinsip perencanaan
pembangunannya tidak ubahnya dengan semangat meng-copy program lama lalu
di-paste dan ditambahi anggaran yang lebih sedikit dari tahun sebelumnya. 

Dari problem mendasar inilah, Pembangunan Kesenian di setiap daerah di Propinsi 
Jawa Timur
atau di Indonesia ini tidak mengalami perubahan yang besar, karena tidak
melakukan pembenahan dalam membangun sistem yang benar.

Jika kita merujuk terhadap sistim yang dilakukan diluar negeri yang sudah
membuktikan kemajuanya, maka peranan Dewan Kesenian sangat dibutuhkan dalam
keterwakilan masyarakat seni dalam menyusun program dan anggaran kesenian.

Jika posisi itu sudah dipahami oleh pelaku pemerintah dibidang kesenian, mereka
tidak akan lagi mengerutkan dahi tentang kontribusi Dewan Kesenian bagi
pemerintah, bahkan tidak lagi mengajukan pertanyakan konyol tentang kegiatan
yang bersifat teknis pada lembaga ini. Begitu juga masyarakat seni akan penuh
semangat mempresetasikan draf proposal kegiatannya yang bersifat membangun
manusia melalui mental dan etika yang tercermin melalui keseniannya. Sebab
Dewan Kesenian adalah kumpulan orang-orang pemikir kesenian yang tugasnya hanya
mendata, mengkaji dan merekomendasi hal-hal yang strategis dalam pembangunan
kesenian diwilayah yang dinaunginnya.

Secara sederhana membangun kesenian itu semangatnya dari bawah, lalu dikaji dan
direkomendasi untuk dijadikan program pembangunan kesenian, bukan sebaliknya
dari atasan yang seakan-akan mengetahui aneka problematika kesenian lalu
diprogram sendiri, dikerjakan sendiri dan paling mengerikan diawasi sendiri.
Hal ini sangat bahaya sekali dalam membangun apapun karena akan terjadi
monopoli yang ujung-ujungnya akan menutup diri dan mudah melakukan
penyimpangan.

Dalam kesempatan ini, saya juga ingin mengingatkan kembali bahwa semangat dari
pembangunan adalah menciptakan perbaikan dan kesejahteraan masyarakatnya,
termasuk dalam mencapai tujuan pembangunan di bidang seni dan budaya diperlukan
peran serta masyarakat dan pihak yang terkait dengan kesenian (stakeholder);
Dewan Kesenian sebagai bagian dari Elemen masyarakat seni merupakan pemangku
kepentingan dalam merumuskan kebijakan yang akomodatif dan sentitif terhadap
persoalan. Oleh karena itu dibutuhkan aspirasi – aspirasi dari pemangku
kepentingan sebagai variabel dalam penetapan program prioritas berorientasi
pada pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan pencapaian keadilan yang
berkesinambungan untuk dituangkan dalan Rancangan Pembangunan Daerahnya.



DEWAN KESENIAN NASIONAL

Dalam tahapan wilayah administrasi pembangunan, terasa ada ketidak
kesinambungan dalam sistem pembangunan kesenian di Indonesia. Jika peran Dewan
Kesenian di tingkat Kabupaten/Kota maupun Propinsi sudah dapat bersinergi
dengan Pemerintah Daerahnya, maka seharusnya ditingkat nasional wajib ada Dewan
kesenian Nasional yang memiliki peran dan tugas mengkoordinasi dewan kesenian
se Indonesia dalam rangka menyusun dan merekomendasi kerangka pembangunan
Indonesia berdasar dari data dan potensi yang dimiliki dari Jaringan Kesenian
di Kabupaten/Kota dan Propinsi.

Kenyataan sekarang, posisi Dewan Kesenian Jakarta seolah-olah memiliki fungsi
seperti Dewan Kesenian Nasional, padahal secara resmi DKJ adalah lembaga
ditingkat propinsi DKI Jakarta yang sedikit berpartisipasi memfasilitasi
berbagai pertemuan seni budaya sebagai salah satu bentuk presentasi Ibukota
Negara. Akan tetapi jika hal ini terus dibiarkan, saya sangat yakin bahwa
Pemerintah Pusat
yang memiliki kewajiban mengkoodinasi Pembangunan Kesenian Indonesia konsep
bekerjanya hanya mengulang dan menumpuki pekerjaan yang sebenarnya sudah
dilakukan oleh pemerintah daerah dan hanya semangatnya
mengerjakan proyek semata.

Lewat tulisan ini saya mengusulkan kepada setiap pengurus dewan kesenian yang
hadir pada pertemuan di Malang, untuk segera
membentuk Dewan Kesenian Nasional, karena perannya sangat kita butuhkan dalam
membangun seni budaya di Indonesia.
Dan mohon renungkan jika Dewan Kesenian Kabupaten/Kota dan Propinsi sudah
bekerja baik bermitra dengan Pemerintah Daerah, akan tetapi kita sering 
dihadapkan
pada tindakan dan perilaku program kerja Pemerintah Pusat melalui Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata yang sporadis dan semangat kerja
birokrasinya ”memprogram Sendiri, mengerjakan sendiri dan diawasi sendiri”...,
Jadi lekaslah kita beriinisiatif positif untuk memberikan Rekomendasi kepada 
Presiden Republik Indonesia
untuk segera membentuk DKN Indonesia. 

Apalagi, ada energi baru dan inisiatif dari DR. Mari Elka Pangestu, Menteri
Perdagangan Republik Indonesia, bahwa didalam Hasil Konvensi Pengembangan
Ekonomi Kreatif 2009-2015, yang diselenggarakan pada Pekan Produk Budaya
Indonesia di JCC, 4-8 Juni 2008, Cendikiawan.Stakeholder dan Pemerintah untuk
membentuk Dewan Kesenian Nasional dengan proposi terbesar dari pemerhati seni,
dilengkapi unsur pemerintah dan seniman....





Drs Heri 'Lentho' Prasetyo, adalah Ketua Program Dewan Kesenian Jawa
Timur  2008-2013, serta pekerja seni yang tinggal di Surabaya.

Email:heri_lentho(at)yahoo.com

SMS: 081 85 12220

 




      

Kirim email ke