5. Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh
Martin Aleida MANGKU tak sudi mati di tanah tumpah darahnya, Bali. Tidak! Hidup terlalu menyesakkan, hingga dia bersumpah lebih baik mati di daratan yang jauh. Tak pernah dia bayangkan jasadnya akan diantar ke kayangan bersama api ngaben yang meliuk. Suatu kematian terhormat yang buatnya adalah angan-angan yang jauh panggang dari api. Tetapi, dia yakin, mati sekadar diantar selantun doa tentulah mungkin. Dan itu sudah jauh lebih mulia dibandingkan dengan kematian yang merenggut nyawa ayahnya. Orang tua itu dibunuh karena menerima tanah cuma-cuma dari organisasi tani yang dituduh merampas tanah tuan tanah dan membagi-bagikannya kepada petani tak bertanah seperti dia. Malang tak bisa ditampik. Huru-hara politik menggelegar. Bali berdarah. Hukum rimba direbut orang-orang yang dirasuki roh leak. Tuan tanah, yang menjadi korban landreform, melihat matahari baru menyingsing untuk memukul balik, merebut kembali tanah mereka. Begitulah, suatu pagi, ayah Mangku diseret ke tepi lubang, tengkuknya dihantam linggis, dan bersama jasad petani senasib, dia ditimbuni di lubang besar itu, tanpa doa, konon pula airmata. Tanah ayahnya kembali kepada pemilik semula. Di tempat lain, dalam huru-hara paling bengis itu, anak-anak menyertai ayah mereka ke dalam lubang. Mangku mujur. Air mata kanak-kanaknya menyelamatkannya dari maut. Dan pemilik tanah membiarkan si kecil menempati gubuk orang tuanya. Dia bekerja sebagai pembantu di rumah tuan tanah itu. ** Siang seterik ini, duduk beristirahat di lindung bayang sulur-sulur daun, Mangku menebarkan pandang ke daratan menghampar. Dia melihat bayang-bayang masa kecilnya, bermain di tegalan, sementara ayah dan ibunya menggarap lahan dengan gairah petani sejati. Bayang-bayang itu kemudian mengabur dalam benaknya dan menjadi kenangan hitam yang ingin dia tanam dalam-dalam. Selamanya. Dia mimpi tentang hari tuanya di daratan yang baru dan jauh, serta pulang ke kayangan dengan sebuah doa. Mangku tak selesai sekolah dasar, tapi dia tahu ada daratan yang bernama Lampung, di mana orang Bali membangun hidup baru tanpa meninggalkan adat dan kebiasaan. Dia ingin mati di sana dengan diantar sebuah doa. Doa yang sederhana dari orang-orang Bali sejati. Sejak lama dia pelan-pelan mengumpulkan keterangan tentang Sumatera, daratan yang menjadi kembang impiannya itu, termasuk peta jalan raya yang lumayan lengkap. Peta itu dia peroleh dari seorang teman, kernet bus jarak jauh. Dia juga menyimpan kliping berita dan artikel dari koran bekas yang dia pulung di pasar. Tetapi, peta itulah yang paling menyita minatnya. Saban malam, menjelang tidur, dia membentangkan penunjuk jalan itu di lantai, selebar-lebarnya. Seperti seekor semut dia menyusuri jalan darat yang menghubungkan tempat tinggalnya dengan tanah berbukit-bukit di Lampung. Menggunakan mistar, entah berapa kali sudah dia menarik garis lurus dari desanya ke pelabuhan Bakauheni. Seribu dua ratus kilometer! Ah.! Biasanya, dia lantas ditenggelamkan angan-angan penuh tanya, berapa lama jarak itu akan dia tempuh dengan merayap dari satu titik perhentian ke titik yang lain. Angan-angan yang biasanya berkesudahan dengan tidur yang lelap semalaman. Sering pula dia bayangkan betapa gentar hatinya nanti di atas ferry yang akan membawanya menyeberangi Selat Bali. Kemudian, seribu kilometer sesudah itu, dia akan menjelajah hamparan air yang memisahkan buntut Sumatera dengan pangkal Jawa. Hatinya gentar, karena yang akan dia arungi adalah anak samudera, bukan secercah air seluas kali di belakang rumah tuannya. Tetapi, sebuah doa lebih dahsyat dari gelombang. Jarak daratan dan laut apalah artinya untuk tekad yang siap mati. Mangku berbulat hati untuk berangkat dengan bekal yang dia tabung bertahun-tahun: seekor anjing Kintamani jantan dan seekor kera. Jantan pula. Uang kontan ala kadarnya. Tas kulit imitasi, berisi dua pasang pakaian dan dua lembar sarung. Dua caping kepala. Dua pasang sandal jepit. ** Sebesar apa, setinggi mana pun dia menyundul langit, dalam kegelapan malam begini, Gunung Agung bukan apa-apa. Lereng, apalagi puncaknya, tak tampak. Gelap semesta. Selepas berdoa bagi keselamatan dirinya, dan kedua hewan sahabatnya, perlahan Mangku menguakkan pintu. Dia persilakan anjing Kintamani melangkahi bendul lebih dulu. Sesudah itu, barulah dia keluar menggendong kera, sementara tas jinjing menggantung di tangannya. Angin menyapu bahunya, juga punggung anjing dan kera yang menyertainya. Begitulah pengembaraan itu dimulai tanpa pamit kepada majikannya. Tidak kepada siapa pun. Ini bukan pelampiasan dendam terhadap tuan tanah yang telah merebut kembali tanah yang beberapa tahun dikuasai ayahnya. Tetapi, buat Mangku sendiri, yang ingin mati dengan terhormat, tidak enak rasanya tinggal di rumah tuan tanah itu. Sungguh tak enak! Rasanya seperti beribu pasang mata yang terus-menerus mengawasi kalau-kalau dia akan membalas dendam atas kematian ayahnya. Apa enaknya jadi duri dalam daging. Badai perasaan itu lebih baik diakhiri dengan diam-diam, tanpa basa-basi, walau tak mengenakkan, pikirnya. Malam pekat dan dingin mengarak Mangku, anjing, dan keranya mengendap-ngendap meninggalkan desa. Manakala kunang-kunang terakhir membungkamkan pancaran fospor dari tubuhnya untuk menyambut matahari dari balik gunung, Mangku dan teman sepengembaraan tiba di tepi jalan beraspal. Kilau lampu mobil membuat jantungnya berdentam. Itulah bus yang dia tunggu. Sedikit gugup, dia mengacungkan tangan. Bus mendekat, berhenti beberapa depa dari tempatnya berdiri. ** Bali adalah tempat dewa penghabisan bersemayam. Apa pun yang keluar dari sini, berhak atas kayangan. Anjing Kintamani dan kera jantan itu melenggang saja masuk ke ferry di dermaga Gilimanuk. Mereka tak perlu dikarantina. Karena tak ada hewan yang membawa kecambah virus di pulau ini. Mereka suci seperti Hindu. Penyakit hewan hanya berjangkit di luar pulau. Juga penyakit manusia yang bernama kekejian! Mangku ingat, dia pernah membaca laporan bahwa hanya setelah masuknya tentara dari luar Bali, menjelang penutupan tahun 1965, berjangkitlah pembantaian terhadap mereka yang begitu saja dituduh makar, dan cuma pantas untuk dibunuh seketika, bagai binatang penyakitan, termasuk ayahnya. Mendarat di Banyuwangi, Mangku mencari pangkalan bahan bangunan. Dia beli sebatang kayu dolken. Sulit mencari toko yang menjual ember kaleng. Tetapi, akhirnya dia temukan kaleng bekas pada seorang pedagang loak. Kaleng itu dia lilit dengan karet, dan jadilah sebuah tambur. Sementara batang dolken dia takik tiap jarak sejengkal. Dengan alat itu, bersama anjing dan kera, Mangku membentuk "topeng monyet." Tapi, ini bukan rombongan sembarangan. Ini seniman dari kayangan. Rantai tak punya tempat di sini. Kedua hewan itu dibiarkan menikmati kebebasan untuk bermain, melompat, menari, jumpalitan, menggonggong dan mengkaing. Tak seutas benang pun melekat di leher atau di pinggang mereka. Si kera bergerak dan menari karena dia suka, bukan karena dipaksa. Juga anjing Kintamani itu, yang berlari-lari dengan anggun mengibas-ngibaskan bulu ekornya yang halus, berjingkat sambil melompat-lompat memanjat kayu dolken. Gerakan kedua hewan itu semata-mata ungkapan cinta mereka pada tuannya. Mangku sendiri tidak cuma menabuh tambur. Dia ikut menari sambil mulutnya berdecak-decak, tangannya berkibar-kibar, bagai penari kecak. Tidaklah mengherankan kalau rombongan ini main di alun-alun kota yang mereka lalui, penonton berjejal seperti kerupuk. Uang receh saweran pun deras mengalir. Pengembaraan Mangku, bersama kedua hewan itu, tak selalu menyenangkan. Menjelang Semarang, beberapa kali dia ditahan aparat. Mereka meminta surat jalan. Mangku tak punya. Dari perjalanan panjangnya inilah dia tahu bahwa kesalahan - yang dibuat-buat penguasa, termasuk polisi, banpol, babinsa, hansip dan tentara - bisa ditebus dengan uang. Waktu di Pemalang, dekat Pantai Widuri, dia merinding juga tersenyum kecut. Ceritanya, ketika dia akan menggelar pertunjukan, adalah kru film Austria yang sedang mengambil gambar di semak-semak, tak jauh dari bibir pantai. Diyakini, di situ dikuburkan sejumlah guru, lurah, dan pamong lain yang dituduh sebagai komunis. Mangku tergoda untuk bergabung dengan kerumunan manusia di semak-semak itu. Di depan kamera, seorang saksi mata menceritakan bahwa suatu malam, akhir Oktober 1965, ketika dia berusia 13, dia dengar rentetan tembakan dari arah laut. Esok paginya, dia pergi ke pantai menemui teman-temannya. Kaget, di situ dia jumpai sekelompok orang dewasa sedang menyeret-nyeret mayat yang tergeletak dingin di pantai. Anak-anak tanggung yang datang mengerubung disuruh ikut menyeret mayat yang sudah tak berdarah, dan melemparkannya ke lubang. Mangku merunduk, hatinya meraung. Tampil pula saksi lain. Orang ini, berusia di atas 60, mengaku disekap di Nusakambangan, sebelum dipencilkan ke Pulau Buru selama 10 tahun. "Mereka yang terbaring di sini," kata orang itu, "adalah orang-orang yang sangat disegani, dihormati. Mereka adalah guru, pamong terbaik di daerah ini." Saksi itu berkisah bahwa sepulang dari Buru dia menganggur. Pekerjaan satu-satunya adalah togel. Untuk mendapat nomor jitu, berbagai cara ditempuh para penjudi. Meminta nomor di kuburan, mereka lakoni. Dia sendiri, katanya, pernah meminta nomor di kuburan massal itu. "Malam-malam, saya letakkan kertas polio putih bersih. Di atasnya saya baringkan pensil," katanya bersungguh-sungguh. "Besok paginya, saya datang. Dua kali saya dapat nomor. Dua kali bandar jebol," dia senyum simpul membuat kerumunan orang bergoyang. Sambungnya: "Saya yakin, roh Pak Machdum, guru paling jempolan, yang menuliskan nomor itu. Orang lain juga pernah mencoba, tapi tak dapat apa-apa, kecuali kertas putih tok. Sebab, roh Pak Machdum cuma mau kasi nomor kepada mereka yang seideologi.," tukasnya. Perasaan Mangku diaduk-aduk. Hatinya diiris-iris, juga terasa dikilik-kilik. Dia tunduk, menyembunyikan senyum getirnya. Ketika kata-kata saksi mata itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kru film terpingkal-pingkal. Tegal dia temui baik-baik saja. Juga Indramayu, Krawang, dan Cikampek. Mangku tak mengira, Jakarta cuma sebuah bencana. Siang itu, ketika dia melintasi daerah Menteng, terdengar sirene meraung. Dari sebuah mobil kap, orang berpakaian seragam berlompatan mengejarnya. Seseorang, yang membawa semacam tangguk, menyauk anjingnya, dan melemparkan hewan itu ke mobil. "Anjing rabies, jangan macam-macam lu, ya.!" terdengar teriakan dari dalam mobil yang meluncur kencang. Mangku cuma termangu di tepi jalan bersama keranya yang menjerit-jerit, tak rela kawannya diperkosa. Hanya itu yang bisa diperbuat kera itu. Kota sebesar ini cuma berisi penjahat, pikir Mangku. Beberapa hari kemudian, setelah lelah berlari-lari kecil, melompat, menari-nari dalam satu penampilan bersama keranya di satu persimpangan jalan, Mangku ingin mencuci mata, melihat-lihat rumah yang besar-besar dan mentereng di sebelah selatan kota. Kera yang melenggang di sampingnya, tak sebagaimana biasanya, mendadak menyentak-nyentak tangannya. Terdengar gonggongan anjing dari pekarangan rumah. Mangku kenal betul gonggongan itu. Dia menghampiri pagar. "Kaukah itu Jonggi.!?" teriak Mangku. Dia lihat anjing Kintamaninya dituntun seseorang dengan rantai metal yang melilit lehernya. Anjing itu mendekati pagar, ingin mencium lutut Mangku. Yang memegang rantai menyentakkan pegangannya. Penjepit di rantai itu mencubit leher anjing itu. Jonggi terkaing. "Mau apa kamu, ha.?!" "Itu anjing saya." "Bohong! Mau maling lu! Awas ya, saya lapor." orang itu ngacir. Mangku menunggu berjam-jam. Orang itu tak keluar juga. Dari arah dalam, Jonggi terus menggonggong. Mangku tahu betapa gelisahnya anjingnya itu. Lama kelamaan gonggongan semakin menghilang diredam rantai pencekik. Satpam datang mengusir Mangku dan keranya. Anak Bali dan sahabatnya menyingkir. Hati mereka, laksana dua serangkai, sama-sama terluka. Jakarta cuma meninggalkan kekecewaan tak terbayar. Menumpang truk, Mangku menuju Merak. Dia ingat, dari kota pelabuhan ini, sekali lompat dia sudah akan menginjak daratan idaman. Tempat di mana dia ingin mati secara wajar, diiringi doa, tentu. Tidak seperti ayahnya. Di Merak, matahari menggigit melumatkan kulit. Mangku memutuskan untuk beristirahat saja di emper gudang. Seraya duduk mencangkung, dia belai teman semata wayang. Luka hatinya, karena anjingnya yang dirampok dan diperkosa di Jakarta, belum sembuh. Namun, udara lembab bergaram dan deburan ombak sedikit banyak menawarkan perasaannya. Selagi dia menerawang, tiba-tiba saja seekor anjing menerjang dari bawah truk yang sedang parkir, dan menyerang kera di sebelah Mangku. Kera itu menjerit, melompat, dan secepat kilat bergantung di kaso emper. Darah menetes dari pahanya. Selang beberapa detik, diiringi raung pertanda siap membunuh, segerombolan anjing menyerbu dan berkerumun sambil menggonggong kera terluka yang bertengger. Mangku lari ke lapangan, menggenggam pasir dan melemparkannya ke arah gerombolan anjing tadi. Anjing-anjing itu berlarian menyingkir. Malamnya, Mangku meratap tertahan-tahan isak tangis. Di hadapannya, sahabatnya terkapar di atas tikar. Selang beberapa lama, tubuh kera itu kejang. Mulutnya memuntahkan buih. Paginya, para pemancing menemukan bangkai anjing mengapung. Rupanya, anjing pembawa rabies, yang menyerang kera Mangku, mati, terpuruk di bawah truk, dan orang membuangnya ke laut. Mangku takkan memperlakukan sahabatnya seperti anjing gila yang hanya layak untuk dibuang. Dia membungkus jasad sahabatnya itu dengan hormat, membawanya menyeberangi selat. Sesampai di daratan Sumatera, Mangku membopong tubuh kera yang sudah kaku menuju daratan yang agak tinggi, menatap selat. Mangku berdiri di atas lututnya di tepi lubang. Berdoa beberapa saat lamanya, lantas dia menimbuni kuburan itu dengan tanah. Juga air mata. "Kau tinggalkan aku dengan kemuliaan persahabatan. Karena kau dan Jonggi maka aku bisa sampai ke mari. Terima kasih," katanya berbisik. Dia menatap tanah merah di kakinya. "Persis sebagaimana kau dikuburkan ini, begitulah kematian yang kuinginkan. Mati baik-baik, kawan. Diiringi doa." ***