Re: [ac-i] PKS, Leuser dan Bibit-Bibit Fasisme Dalam Diri Saya
ga ada stu pun yang kemaren bisa kita jangkau lagi. biarkan lah kesalahan kesalahn masa lalu milik masa lalu, jadikan lah tanah gayo sebuah daerah, yang dapat memafaat kan kelebihan dan perbedaan itu, untuk kemajuan masarakat gayo sendiri dalam kerangka seni dan budaya di gayo From: winwannur To: artculture-indonesia@yahoogroups.com Sent: Thursday, January 22, 2009 5:19:02 AM Subject: [ac-i] PKS, Leuser dan Bibit-Bibit Fasisme Dalam Diri Saya Di samping di blog dan berbagai milis diskusi lainnya, tulisan saya tentang "PKS Partai Kaum Fasis", juga saya post di milis internal UKM-PA Leuser tempat saya bergabung sebagai anggota. Di milis ini juga bergabung seorang teman yang sebetulnya junior saya di UKM itu dan bahkan selama pendidikan dasar dulu, sayalah yang membuatnya jungkir balik dengan berbagai macam latihan fisik dan mental. Tapi karena di UKM kami hirarki praktis berlaku hanya selama pendidikan dasar saja, begitu resmi menjadi anggota hak dan kewajiban langsung sama. Sehingga anak yang paling barupun tidak segan mengkritik senior yang paling tua. Karena situasi di Leuser yang seperti itu, sayapun sejak lama sudah tidak pernah lagi menganggapnya sebagai seorang Junior, tapi benar-benar sebagai seorang teman. Teman yang nama lengkapnya Abdillah Imran Nasution yang di Leuser memiliki banyak sekali nama julukan ini, sampai saat ini adalah pemegang rekor sebagai pemilik nama julukan terbanyak di Leuser. Dari sekian banyak nama julukannya itu saya biasa memanggilnya Macan. Saat membaca tulisan saya "PKS Partai Kaum Fasis". Teman yang biasa saya panggil Macan ini menanggapi tulisan saya tersebut dengan sebuah tanggapan dan disusul sebuah pertanyaan yang sederhana "Aku setuju dengan tulisan kee Cek Wen, tapi kutanyak dulu arti fasis itu apa dikaitkan dengan tulisan kee yang dulu-dulu", Katanya. Pertanyaannya yang sederhana ini membuat saya tersentak. Saya teringat kembali tulisan-tulisan saya beberapa waktu yang lalu. Ketika saya begitu suntuk dan muak melihat gaya anak-anak dari luar Aceh yang datang bekerja mengais rezeki di Aceh pasca tsunami tapi merasa seolah mereka yang paling tahu tentang Aceh bahkan dibandingkan orang Aceh sendiri. Akibat sentilan kecil dari Macan ini, tadi malam saya membaca kembali arsip tulisan-tulisan lama yang pernah saya post di berbagai milis, terutama tulisan-tulisan saya dalam sebuah debat dengan seseorang yang bernama Roysepta Abimanyu, seorang mantan anggota LMND dan PRD yang waktu itu bekerja di Aceh untuk sebuah lembaga milik pemerintah Canada. Dulu saya pernah terlibat dalam debat panjang dengan orang yang bernama Roysepta ini. Saat itu, ketika mendebatku, dia berbicara dengan gaya sok tau khas orang-orang dari Jakarta yang tidak pernah benar-benar bergelut dengan permasalahan sosial di Aceh dan mengalami sendiri masalah-masalah gesekan etnis serta tidak pernah merasakan betapa tidak menyenangkannya kami orang Aceh diperlakuan diskriminatif yang ironisnya terjadi di tanah moyang kami sendiri. Saya yang menyaksikan sendiri betapa seorang kerabat saya yang berkali-kali gagal melamar bekerja sebagai karyawan di PT. KKA, sebuah perusahaan nasional yang beroperasi di daerah kami. Akhirnya bisa diterima di perusahaan tersebut setelah memalsukan nama asli di Ijazahnya dengan menambahkan nama 'Hadibowo' di belakang nama aslinya, benar-benar kesal ketika Roysepta Abimanyu yang belajar geopolitik di Perancis yang baru tinggal setahun atau dua tahun di Aceh untuk mengais rezeki pasca tsunami ini. Dengan memakai teori-teori Geopolitik yang dia pelajari di eropa sana, dengan meng copy-paste apa yang dia pelajari di Perancis dan menyamakan situasi di Aceh dengan yang terjadi di Afrika sana. Berdasarkan perbandingan yang dia lakukan terhadap apa yang terjadi di Afrika, Roysepta tidak mengakui kalau diskriminasi etnis yang menguntungkan Jawa yang terjadi di Aceh selama ini benar-benar ada. Saya menuliskan tulisan itu dalam suasana ketika serombongan kepala desa asal Gayo dengan difasilitasi oleh Iwan Gayo menghadap DPR RI dengan mengenakan blangkon. Saat itu, beberapa kepala desa yang menghadap DPR RI itu dengan menggunakan bahasa Jawa 'kromo inggil' yang maksa dan belepotan logat Gayo berkata dengan takzimnya dihadapan para anggota dewan yang terhormat itu "kulo gelem pemekaran". Ketika itu saya yang orang Gayo benar-benar merasa terhina melihat aksi yang diliput berbagai media secara nasional yang terang-terangan merendahkan martabat suku saya dihadapan Jawa ini. Dan aksi para kepala desa yang saya tahu dikompori dan didanai oleh beberapa elit lokal dan elit nasional yang terganggu kepentingannya di Aceh akibat perkembangan situasi perpolitikan 'Aceh Baru' pasca MoU Helsinki itu benar-benar membuat amarah saya memuncak. Saya juga semakin merasa kesal dengan sikap inferioritas terhadap Jawa yang ditunjukkan oleh kepala desa-kepala desa asal Gayo itu,
[ac-i] PKS, Leuser dan Bibit-Bibit Fasisme Dalam Diri Saya
Di samping di blog dan berbagai milis diskusi lainnya, tulisan saya tentang "PKS Partai Kaum Fasis", juga saya post di milis internal UKM-PA Leuser tempat saya bergabung sebagai anggota. Di milis ini juga bergabung seorang teman yang sebetulnya junior saya di UKM itu dan bahkan selama pendidikan dasar dulu, sayalah yang membuatnya jungkir balik dengan berbagai macam latihan fisik dan mental. Tapi karena di UKM kami hirarki praktis berlaku hanya selama pendidikan dasar saja, begitu resmi menjadi anggota hak dan kewajiban langsung sama. Sehingga anak yang paling barupun tidak segan mengkritik senior yang paling tua. Karena situasi di Leuser yang seperti itu, sayapun sejak lama sudah tidak pernah lagi menganggapnya sebagai seorang Junior, tapi benar-benar sebagai seorang teman. Teman yang nama lengkapnya Abdillah Imran Nasution yang di Leuser memiliki banyak sekali nama julukan ini, sampai saat ini adalah pemegang rekor sebagai pemilik nama julukan terbanyak di Leuser. Dari sekian banyak nama julukannya itu saya biasa memanggilnya Macan. Saat membaca tulisan saya "PKS Partai Kaum Fasis". Teman yang biasa saya panggil Macan ini menanggapi tulisan saya tersebut dengan sebuah tanggapan dan disusul sebuah pertanyaan yang sederhana "Aku setuju dengan tulisan kee Cek Wen, tapi kutanyak dulu arti fasis itu apa dikaitkan dengan tulisan kee yang dulu-dulu", Katanya. Pertanyaannya yang sederhana ini membuat saya tersentak. Saya teringat kembali tulisan-tulisan saya beberapa waktu yang lalu. Ketika saya begitu suntuk dan muak melihat gaya anak-anak dari luar Aceh yang datang bekerja mengais rezeki di Aceh pasca tsunami tapi merasa seolah mereka yang paling tahu tentang Aceh bahkan dibandingkan orang Aceh sendiri. Akibat sentilan kecil dari Macan ini, tadi malam saya membaca kembali arsip tulisan-tulisan lama yang pernah saya post di berbagai milis, terutama tulisan-tulisan saya dalam sebuah debat dengan seseorang yang bernama Roysepta Abimanyu, seorang mantan anggota LMND dan PRD yang waktu itu bekerja di Aceh untuk sebuah lembaga milik pemerintah Canada. Dulu saya pernah terlibat dalam debat panjang dengan orang yang bernama Roysepta ini. Saat itu, ketika mendebatku, dia berbicara dengan gaya sok tau khas orang-orang dari Jakarta yang tidak pernah benar-benar bergelut dengan permasalahan sosial di Aceh dan mengalami sendiri masalah-masalah gesekan etnis serta tidak pernah merasakan betapa tidak menyenangkannya kami orang Aceh diperlakuan diskriminatif yang ironisnya terjadi di tanah moyang kami sendiri. Saya yang menyaksikan sendiri betapa seorang kerabat saya yang berkali-kali gagal melamar bekerja sebagai karyawan di PT. KKA, sebuah perusahaan nasional yang beroperasi di daerah kami. Akhirnya bisa diterima di perusahaan tersebut setelah memalsukan nama asli di Ijazahnya dengan menambahkan nama 'Hadibowo' di belakang nama aslinya, benar-benar kesal ketika Roysepta Abimanyu yang belajar geopolitik di Perancis yang baru tinggal setahun atau dua tahun di Aceh untuk mengais rezeki pasca tsunami ini. Dengan memakai teori-teori Geopolitik yang dia pelajari di eropa sana, dengan meng copy-paste apa yang dia pelajari di Perancis dan menyamakan situasi di Aceh dengan yang terjadi di Afrika sana. Berdasarkan perbandingan yang dia lakukan terhadap apa yang terjadi di Afrika, Roysepta tidak mengakui kalau diskriminasi etnis yang menguntungkan Jawa yang terjadi di Aceh selama ini benar-benar ada. Saya menuliskan tulisan itu dalam suasana ketika serombongan kepala desa asal Gayo dengan difasilitasi oleh Iwan Gayo menghadap DPR RI dengan mengenakan blangkon. Saat itu, beberapa kepala desa yang menghadap DPR RI itu dengan menggunakan bahasa Jawa 'kromo inggil' yang maksa dan belepotan logat Gayo berkata dengan takzimnya dihadapan para anggota dewan yang terhormat itu "kulo gelem pemekaran". Ketika itu saya yang orang Gayo benar-benar merasa terhina melihat aksi yang diliput berbagai media secara nasional yang terang-terangan merendahkan martabat suku saya dihadapan Jawa ini. Dan aksi para kepala desa yang saya tahu dikompori dan didanai oleh beberapa elit lokal dan elit nasional yang terganggu kepentingannya di Aceh akibat perkembangan situasi perpolitikan 'Aceh Baru' pasca MoU Helsinki itu benar-benar membuat amarah saya memuncak. Saya juga semakin merasa kesal dengan sikap inferioritas terhadap Jawa yang ditunjukkan oleh kepala desa-kepala desa asal Gayo itu, apalagi mereka melakukannya dengan berlagak seolah-olah mereka adalah representasi seluruh orang gayo di muka bumi. Kekesalan saya semakin memuncak karena saya yang cukup paham karakter dan budaya Jawa tahu persis kalau dalam perkembangan situasi dunia saat ini karakter asli suku Gayo yang bersifat 'republik' justru jauh lebih bisa diandalkan untuk bersaing di pentas global dibandingkan karakter asli suku Jawa yang 'feodal'. Dalam suasana seperti itulah, ketika debat berlangsung panas dan sayapun sepenuhnya dikuasai emosi, tanpa sadar saya terpancing oleh se