Pahlawan Kepemimpinan Muda Indonesia Sejak semalam disalah satu tv swasta Indonesia dan headline hari ini diharian Kompas, Gramedia Grup mengabarkan tentang makna dan proses menjadi seorang pahlawan. Tentulah klop dengan tanggal hari ini 10 November yang dinyatakan secara nasional sebagai Hari Pahlawan Indonesia. Di tv swasta semalam tersebut, salah seorang pakar motivasi Indonesia Mario Teguh mengatakan bahwa setiap dari kita adalah pahlawan. Seorang pahlawan bukanlah yang selalu yang berada pada posisi paling depan dimedan pertempuran dan tewas duluan. Dia dapat berada dimanapun, kapanpun, serta dalam kondisi apapun. Jadi artinya kita semua tanpa terkecuali mampu untuk menjadi pahlawan dilingkungan dimana kita bertempat tinggal. Pagi ini saya dan Ikang Fawzi suamiku diundang oleh salah seorang sahabat kami Eko Patrio untuk menjadi narasumber disalah satu acaranya berjudul “Dewa Dewi” yang berbentuk talkshow semi komedi namun� selalu mampu menyelipi beberapa pesan socsal-ekonomi-hukum yang lumayan serius. Eko Patrio sebagai produser sekaligus host pada acaranya di TPI ini, dengan kecerdasan khasnya, mampu mendongkrak nama serta partainya sehingga mampu muncul menjadi calon legislatif 2009 yang paling diingakan kedua terbesar setelah Agung Laksono yang memang sampai hari ini adalah Ketua DPR RI. Posisi ketiga diraih saya Marissa Haque Fawzi yang merupakan sumbangan terbesar bagi partai kedua yang baru saya masuki dalam setahun belakangan ini. Dari 21 buah nama yang pop-up (muncul), ternyata 10 nama berasal dari kelompok selebriti (disebut artis) Indonesia. Jagad nasional tercengang, masyarakat elit dan intelektual protes. Sebagian positif, namuntak kurang yang negatif. Bahkan seorang pakar komunikasi dari UI (Universitas Indonesia) yang juga salah seorang pemandu acara semi komedi-politik di tv swasta memberikan komentar minor akan kenyataan didepan mata ini. � Hanya satu-dua komentar yang muncul dimedia memberikan dukungan atas kehadiran entitas ‘alien’ kami ini. Salah satunya adalah komentar manis dari Dr. Andi Malarangeng salah seorang staf khusus / jubir Presiden RI. Ia mengtaakan bahwa adalah hak dari para selebriti tersebut untuk hadir menjadi politisi, karena memang peluang terbuka bagi siapapun yang mampu dan memenuhi syarat. Ya benar, sata setuju dan memberikan apresiasi tinggi atas komentar positif tersebut. Karena sejujurnya, bahwa sang Presiden RI pun belakangan ini memasuki wilayah ruang selebritas di beberapa infotainment Indonesia. Entah siapa konsultan medianya, karena yang jelas memang – diluar tugas konstitusional kenegaraan – langkah Presiden memasuki wilayah ‘remeh-temeh’ tersebut berdampak positif atas pelurusan berita gossip yang sempat menerpa sang Presiden. Semisal kelahiran cucu pertamanya yang dianggap diapkasakan melalui operasi secsio demi mengejar bersamaan dengan HUT proklamasi kemerdekaan Indonesia.� Siang nanti saya diterima oleh Bambang Sulistomo anak Pahlawan Negara Bung Tomo asala Surabaya. Mas Bambang senior suamiku di FISIP-UI saat kuliah dulu, adalah salah seorang supporter utama saya selama berjihad menjujurkan keadilan dan membingkai politik dengan hukum didalam menegakkan keadilan Pilkada Banten 2006 yang sangat kaya akan kecurangan serta intimidasi itu. Bung Tomo, Ayah Mas Bambang baru saja diresmikan menjadi salah seorang pahlawan Negara kita. Pertanyaannya kemudian: “Why it takes so long?” kenapa lama sekali pengakuan menjadi pahlawan ini diberikan sebuah negara yang katanya merdeka dan berdaulat? Apa yang salah selama ini dengan negeri ini didalam mengapresiasi para pahlawannya? Walau sejauh yang saya tahu bagi keluarga Mas Bambang, diakui atau tidak soal kepahlawanan ayahnya, mereka menganggap dari dulu ayah mereka adalah seorang pahlawan sejati. Menurut Mario Teguh semalam, dikatakah bahwa seorang pahlawan sejati tidak perlu pengakuan dari orang lain. Ia bagaikan sebuah lilin yang rela meleleh demi memberikan penerangan pagi sekelilingnya. Nah, bagaimana dengan kita semua? Sejauh mana (to what extent) keikhlasan kita berbuat banyak atas kebaikan tanpa orang lain harus mengetahuinya? Tiba-tiba tangan saya tanpa sengaja membuak sebuah sms yang sengaja saya simpan untuk tetap menjaga ‘bara’ jihad perjuangan menjujurkan keadilan dan membingkai politik dengan hukum diranah Banten ini. Kiriman seorang wartawan perempuan yunior yang pernah saya kagumi kecerdasannya, lulusan sebuah univeritas bergengsi di Provinsi Jawa Timur. Saya memang mengirimkan lebih dulu sebuah sms undangan untuk hadir pada sidang pembuktian kasus dugaan ijazah palsu Gubernur Banten disaat mengikuti Pilkada Banten 2006 yang lalu di PN Tangerang, Banten. Namun jawaban yang saya peroleh sangat mengagetkan karena sangat ketus dan menurut saya yang memiliki banyak sahabat para wartawan Kompas grup yang lebih senior, masya Allah… kurang bebudaya. Untungnya saya telah melaui perjuangan selama hamper 2 tahun dan telah melalui berbagai asam-manis-pahit perlakuan diskriminatif dari oknum media. Dan saya berhasil membeuktikan kebenaran dari teori media massa The Framing Analysis yang mengatakan bahwa didalam era indutri media seperti sekrang ini, tidak ada media yang benar-benar seputih kapas. Semua media membawa misi dan visi sang pemilik / pemodal dibelakangnya. Semua menuju satu arah, yaitu growth only. Dalam koridor teori ekonomi pembangunan artinya adalah mengejar keuntungan setingi-tingginya, dan sebagian dari pelaku industi media terperosok dalam jebakan economic drive ini sehingga melupakan idealisme media sesungguhnya. Tentu tidak berlaku umum, karena konteks di Indonesia masih banyak yang tidak seperti itu dan perhati ini terpaksa harus berurusan dengan pengadilan karena sedang melakukan jurnalisme perang atas oknum preman berdasi yang dimasa lalu – diduga masih berlaku sampai hari ini – masih seakan aman-aman saja berjalan “dijalur sutra dan masuk surga.” Saya telah memamafkan sang wartawan perempuan yunior tersebut setelah dengansangat ‘sadis’ mengatakan kepada saya:”… saya tidak tertarik mengabarkan dimedia saya apa yang kamu lakukan karena kamu sudah kalah.” Sejujurnya sebagai manusia perempuan biasa saya sangat sedih atas dua kata dia yang terakhir, yaitu “sudah” dan “kalah.” Jawaban saya untuk dia semoga tidak mengecewakan almarhum ayah dan ibuku sebagai berikut: “Hi mbak ‘…’ Bagi saya kekalahan itu hanyalah pernyataan didalam pikiran kita, tidak lebih. Terimakasih banyak atas balasan smsnya, namun tidak akan mempengaruhi jihad saya didalam menjujurkan keadilan dan membingkai politik dengan hukum. Kegagalan hanyalah kemenangan yang tertunda. Juga menang adalah kemampuan mengalahkan diri sendiri. Saya akan tetap apa adanya dengan perjuangan saya ini, karena saya yakin Allah SWT selalu bersama langkah kanan saya – being blessed by God the Almighty, Allah SWT. Bismillaaaah... Salam kasih, Marissa.” Demikian kurang lebih is isms saya dengan upaya nada bersahabat dan tidak ingin terpancing emosi. Pertanyaan selanjutnya adalah: “Apakah saya ingin dikatakan pahlawan dengan perjuangan melelahkan di Banten ini?” Hari ini dan seterusnya kedepan, saya harus meyakinkan diri saya bahwa sebagai menantunya wong Banten saya hanya melakukannya hanya karena Allah SWT semata, untuk menjadi KEkasih-Nya. Tidak lebih dan tidak kurang… Allahu Akbar, merdeka! �
Oleh: Dr. Hj. Marissa Haque Fawzi, SH, MHum. � ___________________________________________________________________________ Dapatkan alamat Email baru Anda! Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain! http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/