ASAHAN:

Komentar sastra (singkat)

                                               " PUISI-PUISI DARI PENJARA"

                           Sabar Anantaguna             

                           Penerbit: Ultimus Bandung; 2009


Sabar Anantaguna adalah salah seorang penyair senior Lekra yang kini telah 
berusia di atas 80 tahun. Di tahun-tahun ahir 59-nan hingga permulaan 60-han 
kadang-kadang  saya membaca sajak-sajaknya dan saya suka dan menikmatinya 
karena menurut selera saya waktu itu, Anantaguna menulis sajak yang mudah 
dimengerti tapi tetap memperthanakan segi-segi keindahan puisi atau dengan kata 
lain estetika puisi yang pada sebagian penyair Lekra lainnya terasa kurang 
diperhatikan dan terlalu menekankan isi serta politik dan ideologi (itu tidak 
salah hanya saja kurang indah).Dan di umurnya yang sekarang, puisi-puisi 
Anantaguna masih tetap terasa indah tanpa harus merubah pendirian atau menjadi 
desertir yang merapat ke selera puisi penyair-penyair borjuasi untuk bisa dapat 
pengakuan agar bisa "berdiri sama tegak" serta bersanding dalam majalah-majalah 
yang dianggap bergengsi dengan royalty yang lebih baik dan nama yang lebih 
bersinar. Meskipun puisi adalah juga barang dagangan yang seharusnya seorang 
penyair bisa menjadi professional dan hidup dari puisi-puisinya atau 
karya-karya sastra lainnya, namun ideologi dan pandangan politik tidak 
seharusnya ikut diperdagangkan dan dikomersilisiasikan. Dan hal ini tidak 
dilakukan oleh Sabar Anantaguna.

Sebagian besar puisi Anantaguna yang diproduksi dalam penjara-penjara dan 
buangan ini, semula saya duga akan menimbulkan kelelehan bagi para pembacanya. 
Dalam salah satu sajaknya Anantaguna menulis:

PENJARA ITU KETERBATASAN
KETERBATASAN ITU PENJARA

Dari sajak: "Catatan dalam Ingatan". 

Sebuah pernyataan puitis dan puisi yang berfilsafat. Dengan pernyataan ini, 
Anantaguna telah lebih meluaskan arti dan pengertian tentang penjara itu 
sendiri. Kita akan cepat merasa, dalam sebuah negara yang tidak atau kurang 
demokratis, adalah juga sebuah penjara besar atau negara penjara.Tapi penjara 
yang lebih kecil, yang dalam cel-cel yang kotor dan berjeruji besi yang pernah 
didiami Sabar Anantaguna , keterbatasan itu punya arti yang lebih mutlak, lebih 
berkesan. Namun Sabar menganggap jeruji-jeruji besai yang mengurungnya adalah 
juga tali-tali kecapi yang dipetiknya setiap hari, begitu akrab, begitu merdu 
yang mengalahkan suara bentakan para sipir, interogator bahkan rontaan 
teman-temannya yang disiksa dan siksaan terhadap dirinya sendiri. Di sini kita 
merasakan kekuatan puisi diluar puisi itu sendiri. Kelahiran sebuah puisi 
adalah juga sebuah proses dan proses itu sering-sering diartikan orang sebagai 
ilham atau inspirasi atau ada juga yang menyebutnya sebagai moment-moment 
puitis. Proses lahirnya sebuah puisi bisa sangat berlainan pada tiap penyair. 
Dan pada Sabar, proses itu sangat istimewa atau tak biasa datangnya. Dan Sabar 
dengan jelas memberitahu kita dengan segera sebagaimana judul kumpulan pusinya 
itu sendiri: "Puisi-Puisi Dari Penjara". Tapi saya tidak merasa pengap, tidak 
merasakan keterbatasan bahkan saya merasa dibebaskan oleh puisi-puisi Sabar 
Anantaguna. Bebas dari dugaan bahwa seorang Sabar itu akan kapok, akan kompromi 
dan akan berpaling sesudah menjalani hidup yang serba terbatas, serba 
direndahkan, serba diabaikan. Puisi-puisi Sabar Anantaguna sebagaimana juga 
puisi-puisi Sutikno WS mempunyai nyawa yang sama: Kesetiaan  dan tanpa 
penyesalan meskipun cara pengungkapannya sangat berlainan dan mempunyai ciri 
khusus sendiri-sendiri.

Dalam banyak sajak-sajak Sabar Anantaguna saya menemui banyak personafikasi 
yang menggelora yang adalah juga metafora penghias segar dan menarik dalam 
banyak puisi-puisinya. Tapi tidak hanya itu. Sinisme Sabar bertebaran di sana 
sini tapi tidak menimbulkan antipatik atau iritasi pada pembacanya. Dan  
sinisme itu juga  adalah sebagai pengganti  makian kasar atau kutukan pada 
musuh yang kejam dan biadab. Puisi protes tidak mesti harus selalu gamblang dan 
frontal. Sabar menempuh jalan lain yang tidak lagi mengikuti sajak-sajak 
perlawanan segolongan penyair Lekra di jaman kejayaannya. Sajak-sajak Sabar 
sudah sangat berlainanan dengan sajak-sajak perlawanan Agam Wispi pada jamannya 
yang bisa frontal hadap berhadapan dengan para musuhnya (para jendral 
umpamanya). Namun sinisme Sabar terasa mempunyai kekuatan magis meskipun juga 
tidak sengaja mengajak orang lain berpihak atau bertimbang rasa padanya. Sabar 
membuat sajak-sajak bukan hanya untuk orang-orang yang sehaluan dengannya tapi 
memang secara sengaja atau tidak, untuk orang seperasaan dengannya karenanya 
dia bisa menjengkau hati nurani manusia yang lebih luas lingkungannya.

Mimpi, cinta, sunyi, rindu dan bahkan hingga bulan turut mewarnai sajak-sajak 
Sabar Anantaguna. Cinta bagi Sabar adalah kesetiaan, mimpi adalah nostalgia 
sedangkan sunyi adalah suasana hatinya dalam keterpencilan dan kurungan dinding 
semen dan jeruji besi. Tapi dari semua ini tidak hanya mengalir nyanyian derita 
dan kesengsaraan semata. Dalam puisi, meskipun Sabar menyuarakan berita-berita 
kepiluan dan kerinduan, namun kepiluan Sabar Anantaguna adalah kepiluan dan 
kerinduan yang indah, dan kerinduan yang indah itu pada gilirannya adalah juga 
keindahan  yang dipuisikan oleh Sabar yang bermuatan kerinduan dan kepiluan 
sambil menitipkan butir-butir kekuatan optimisme yang tidak bersorak . Atau 
dengan kata lain, dalam keindahan selalu terselip kepiluan sedangkan kepiluan 
itu sendiri selalu ada muatan keindahannya sendiri. |emua itu bisa ditemukan 
dalam puisi-pusi Sabar Anantaguna sekarang ini.

Dalam kumpulan ini juga ada terlampir ( saya berpendapat sebaiknya diterbitkan 
tersendiri dan tidak disatukan dalam satu kumpulaan) ada Puisi Melodrama: 
"PASIR-PASIR DI HATI" dengan tokoh-tokoh sentral: Tampan, Ayu, Juragan(tuan 
tanah), si Manis dll. Temanya cukup menarik yaitu nasib dramatis seorang buruh 
tani (Tampan)yang tidak mau menerima lamaran seorang keluarga tuan tanah di 
mana dia bekerja agar menikahi putrinya yang hamil dari lelaki lain selama 
belajar di kota . Tampan setia pada seorang kekasihnya (Si Manis) dan ahirnya 
mati dibunuh oleh Juragannya yang dia tolak lamarannya untuk mengawini purtinya 
yang sedang mengandung tanpa bapa atau di luar perlawinan. Sebagai puisi dia 
menarik karena alur ceritanya juga menarik. Di sini Sabar Anantaguna kembali 
menunjukkan kemampuannya dalam menulis puisi panjang dan kita dengan senang 
hati membacanya.  Singkat kata, kumpulan puisi-puisi Sabar Anantaguna yang 
sekarang adalah juga sebuah karya ulang tahunnya yang ke 80 (meskipun tidak 
persis dan juga tidak dikatakannya sendiri) namun adalah juga sebuah kumpulan 
puisi yang saya anggap berhasil, sangat patut untuk diterbitkan dan disebar 
luaskan dan dinikmati banyak pembaca.

Hoofddorp, 19 Desember 2009
Asahan,
penggemar sastra.

                                            

Kirim email ke