Radar Mojokerto                
            
        
        
        
        
        
          
                [ Selasa, 20 Januari 2009 ]
        
          
                
  Menilik Sisa-Sisa Situs Majapahit di Desa Klinterejo, Sooko 
        
        
        
        
          
  Berserakan, Banyak yang Tergeletak di Lokasi Pembuatan Batu-bata 


Ditengah sorotan publik terhadap pembangunan Pusat Informasi
Majaphit (PIM) di Trowulan, di sisi lain ternyata banyak ditemukan
situs di beberapa desa yang kondisinya kini tak terawat. Bahkan
perlahan-lahan sudah banyak yang hilang karena terjual. Seperti sebuah
bangunan kuno mirip pagar berada di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko,
Mojokerto.


  MOCH. CHARIRIS, Mojokerto


---

JIKA boleh ditebak, siapa yang banyak menemukan atau
menemui benda purbakala di wilayah Kecamatan Trowulan dan sekitarnya?
Jawabannya adalah para pembuat batu-bata di sawah. Di sadari atau
tidak, setiap hari mereka dihadapkan dengan sebidang tanah liat yang
siap di pasarkan dalam bentuk batu bata merah. 

Sebuah cangkul,
gancu dan ember seakan tidak bisa dipisahkan dari mereka. Karena dengan
alat sederhana itu, mereka bisa bekerja dan menggali tanah selanjutnya
di bentuk persegi yang dijadikan rupiah. Terkadang secara tidak sengaja
saat menggali tanah mereka kerap menemui benda purbakala peninggalan
Kerajaan Majapahit yang pernah jaya pada abad 14. 

Diantaranya berbentuk gentong, gerabah, batu lumpang, candi, hingga situs yang 
berbentuk pagar dan puthuk
(gapura kecil). Seperti yang kerap ditemui warga sekaligus pembuat
batu-bata di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto.
Tepatnya sebelah barat situs Kahuripan yang terdapat batu berukuran
lebar. 

''Sebenarnya dari dulu sudah banyak ditemukan
situs-situs di area tempat pembuatan batu-bata ini," ujar salah satu
warga yang kesehariannya bekerja membuat batu-batu. 

Pria
bertubuh rada kekar dan berambut pendek itu mengaku, peninggalan cagar
budaya di lokasi tempatnya bekerja jika dihitung lebih dari lima jenis.
Ada yang berbentuk batu lumpang, puthuk makam, sumur dan sebuah bangunan 
menyerupai pagar peninggalan Kerajaan Majapahit. ''Setahu saya bangunan kuno 
seperti puthuk
itu sudah ada dari beberapa tahun lalu. Tapi untuk pagar dan sumurnya
baru diketahui lima tahun terakhir ini. Tepatnya saat ada pembuatan
batu-bata," ujarnya sembari mencetak tanah dalam bentuk bata. 

Bila
diamati lebih dalam, tidak hanya situs, namun berbagai artefak juga ada
di sebidang tanah milik perangkat desa yang disewakan kepada para
pembuat batu-bata. Salah satunya berbentuk batu lumpang, setinggi 50
sentimeter dengan lebar 1 meter. 

''Setelah itu semua ditemukan
sebenarnya lokasi ini sudah dikunjungi sama orang BPPP," terangnya.
Meski begitu purbakala berharga yang semestinya mendapat perlindungan,
kini kondisinya cukup memprihatinkan. Sedikitnya ada enam batu lumpang
seakan tak bernilai. Berserakan, tak terjaga dan tergeletak liar di
sekitar linggan (bangunan tempat membakar batu-bata, Red).  

Sebagian
lainnya malah menyedihkan karena terkapar di tepi sungai kecil. Bahkan
oleh warga ada yang difungsikan untuk menyeberang wangan (sungai kecil). 

Akan
tetapi yang lebih mengenaskan saat ini, situs berbentuk pagar berada di
sebelah barat tempat pembuatan batu bata dalam kondisi rusak berat.
Tidak hanya tergerus akibat pembuatan batu bata, melainkan sebagian
sudah hilang. 

Ada yang menyebut hilangnya bagian bangunan
berharga itu ada yang menjual. Dalam bentuk bijian batu batu memiliku
ukuran 20 sentimeter kali 60 sentimeter, dengan ketebalan 5 sentimeter.
Untuk satu buah batu bata dihargai Rp 500 rupiah. 

Kendati
demikian sejauh ini tidak dieketahui jelas, siapa yang menjual dan
siapa yang membeli bagian bangunan yang memiliki panjang sekitar 500
meter. Namun jika ada pemesan yang masuk ke kawasan tersebut beberapa
orang siap melayani sesuai pesanan. Asalkan harganya cocok.

''Memang
selama ini warga sudah banyak yang tahu, kalau di kawasan pembuatan
batu bata itu banyak situs. Tapi kami belum tahu jika kerusakannya
semakin parah," kata Sekretaris Desa Bidin, saat ditemui di rumahnya
tidak jauh dari lokasi. 

Mendengar ada kerusakan atau bahkan
praktik jual beli benda sejarah, pria yang hobi sepak bola itu mengaku
miris. Sebab selaku perangkat dan atas nama warga, dia menyayangkan
kalau ada orang dengan sengaja memesan batu-bata kuno berakibat
kerusakan. ''Kalau warga yang merusak kami rasa mereka tidak bisa
disalahkan karena urusannya perut. Tapi kemungkinan ada orang di
belakang itu," dugaan Bidin. 

Agar tidak berkelanjutan, Bidin
dan perangkat desa lain akhirnya memutuskan untuk mengamankan cagar
budaya yang tersisa. Baik dalam bentuk lumpang artefak berkeliaran,
atau pagar besar yang susunan batu-batanya banyak yang hilang.
''Belakangan warga belum sadar kalau benda-benda itu memiliki nilai
sejarah tinggi. Tapi yang pasti bersama warga kita akan amankan
situs-situs itu," paparnya. (yr)


    ============================================================
 Radar Mojokerto                
            
        
        
        
        
        
          
                [ Rabu, 21 Januari 2009 ]
        
          
                
  Menilik Sisa-Sisa Situs Majapahit di Desa Klinterejo, Sooko 
        
        
        
        
          
  Batu Berharga Itu Beralih Fungsi Jadi Penyeberangan 


Pengetahuan warga tentang benda cagar budaya peninggalan
Kerajaan Majapahit memang cukup minim. Dari mengenal benda dan cara
memperlakukan. Manfaat dan cara melestarikan hingga, cara melindungi
dan mengamankan. Tidak heran jika di Dusun/Desa Klinterejo, berbagai
bentuk dan model situs banyak yang terbengkalai dan tak terawat. 


  MOCH. CHARIRIS, Mojokerto 


---

LIHAT saja dua batu dengan posisi
berdampingan berada di sebuah aliran sungai kecil itu. Ukuranya
memiliki lebar 73 sentimeter, tinggi 73 sentimeter dan ketebalan tidak
lebih dari 33 sentimeter. 

Meski memiliki nilai sejarah dan
bernilai tinggi, namun benda keras tak bergerak itu seperti tak
berharga. Bahkan letak batu di sungai kecil yang memisahkan antara Desa
Panggih, Kecamatan Trowulan dengan Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko,
sekarang beralih fungsi menjadi tempat pijakan menyeberangan warga
sekitar. 

''Dua batu itu biasanya digunakan warga menyeberang
dari Desa Panggih ke Desa Klinterejo atau sebaliknya," ujar Bambang
Hariawan warga setempat, saat ditemui siang kemarin di tempat pembuatan
batu-bata. 

Tidak hanya dua batu biasa disebut orang batu umpak
atau lumpang, di sekitar lahan pembuatan batu-bata seluas 2 hektare
milik seorang perangkat desa, ternyata banyak ditemukan batu berbentuk
serupa. Hanya tinggi, lebar dan ketebalannya berbeda. Ada yang
menyerupai lumpang ada pula yang lebih kecil dan berbentuk lesung. 

Kalau dihitung jumlahnya mencapai 10 buah. Posisinya ada yang masih ansitu
(alami dan di tempat semula), ada pula yang berserakan. ''Tapi yang
banyak lumpangnya berserakan. Sejak ada pembuatan batu-bata banyak
warga yang menemukan benda itu," terangnya. 

Sebagai warga,
Bambang menuturkan pada tahun 1995 tepat kali pertama warga membuka
lokasi pembuatan batu-bata, tidak sedikit batu berjenis sama ditemukan.
''Setidaknya kami pernah menemukan 40 buah batu lumpang. Tapi lokasinya
berpencar-pencar," jelasnya. 

Dibanding saat ini, penuturan
Bambang memang terkesan ironis. Sebab, tidak ada satupun warga yang
mengetahui persis berapa jumlah yang masih tersisa. Karena warga tidak
tahu fungsi dan manfaat. ''Makanya yang bisa dilakukan warga hanya
membiarkan. Bahkan kalau ada yang hilang kita tidak tahu," bebernya. 

Hal
serupa juga dituturkan Mukri, salah satu pembuat batu-bata. Tidak
jarang pria bertubuh kekar itu menemukan batu umpak, saat menggali
tanah sebagai bagan batu-bata. Dari ukuran besar sampai lesung setinggi
30 sentimeter kali 40 sentimeter. ''Di linggan (tempat
pembakaran batu-bata, Red) saya ada dua batu besar. Itu sudah lama,
karena hanya berbentuk batu kami sengaja membiarkanya di tengah sawah,"
ujarnya. 

Menyusutnya jumlah batu umpak dan lesung memang tidak
diketahui jelas, apakah sengaja dicuri atau berpindah tempat. Namun
jika melihat lokasinya yang ada di setiap sudut lahan pembuatan
batu-bata, tidak mudah jika benda cagar budaya itu dicuri. 

Terlebih praktik pencurian itu dilakukan pada malam hari. ''Tinggal dipindahkan 
saja ke atas  gledekan (gerobak, Red) atau mobil sudah beres. Kan gak ada yang 
tahu," urainya. 

Untuk
menekan aksi pencurian, pernah pada tahun 2008 kemarin warga dipelopori
perangkat desa mengumpulkan dan memindahkan lokasinya, ke situs
Kahuripan (watuombo) atau makam Tribuana Tunggadewi. ''Kurang lebih ada
sekitar 16 batu yang berhasil kami kumpulkan. Dan sekarang kami amankan
di watuombo," ungkap Sekretaris Desa Klinterejo Zainal Abidin. Didasari
banyaknya temuan batu umpak dan lesung, Abidin menduga di lahan
pembuatan batu-bata tersebut adalah bekas perumahan penduduk. Sebab
selain batu, warga juga kerap kali menemukan sumur kuno. 

''Tapi
karena tidak ada yang tahu sejarah sebenarnya selama ini kami hanya
menebak saja. Soal kepastian tempatnya apa kami tidak tahu," imbuhnya. (yr)




      Lebih bergaul dan terhubung dengan lebih baik. Tambah lebih banyak teman 
ke Yahoo! Messenger sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/invite/

Kirim email ke