FIR DAN SIS
Soeprijadi Tomodihardjo
 

SEJAK September lalu pada acara Hari Raya Idulfitri sebenarnya telah terdengar 
omongan dari mulut ke mulut tentang diri Sisbandi. Fir agak khawatir sesuatu 
telah terjadi pada diri lelaki itu, namun selama ini belum sempat dia 
menengoknya di rumahnya. Dan tiba-tiba Sis muncul kembali di kedai langganannya 
tanpa diduga. Begitu Fir mendekat ke tempat duduknya, Sis menatapnya hanya 
sekejap lalu berpaling ke samping, kanan dan kiri ganti-berganti. Apatis. Raut 
layu wajah yang sayu. Tak ada tanda-tanda Sis mengenalnya. Dingin yang 
mencengangkan. 

"Perlu apa Sis? Ada soal apa?" tanya Fir.

"Soal... entah, soal saya... mau entah."   

Fir geleng kepala menatapnya. Itu bukan jawaban dan pasti bukan  kelakar, sebab 
Sis mengucap dengan bibir gemetar, senyum terkulum tanpa ceria. Namun Fir coba 
bertanya apakah dia masih mengenalnya, dan Sis tampak ngah-ngoh seperti orang 
bodoh. Tidak. Dia tidak bodoh. Setidaknya pernah tamat SMA sebelum 1965 meski 
kemudian patah kuliah jurusan Sinologi di UI.  Kini agaknya ada yang onstel 
pada jaringan syaraf otaknya. Tersendat-sendat. Seperti gerigi arloji yang 
lepas dari asnya. Fir baru percaya omongan orang, dia bukan saja jadi pelupa 
tapi sudah benar-benar demens: d-é-m-è-n-s! Sungguh keterlaluan, pikir Fir.  
Seusianya tentu belum waktu lelaki itu mengidap gangguan ingatan. 

Semula Fir tak melihatnya sedang makan, sebab pada jam itu para pelanggan 
berkerumun menanti luang kursi. Kebanyakan mereka adalah pegawai rendah 
perkantoran di seputar Wiener Platz yang sedang istirahat setengah jam saja 
buat makan siang. Gudzel si pemilik kedai, buru-buru memanggil Fir di kassa 
ketika Sis bengong tak ada uang di kantong setelah melahap kebab1). Fir 
percaya, dia tak akan menyelonong tanpa bayar sesudah perutnya kenyang. Dia 
bilang pada Gudzel, lelaki itu cuma lupa koceknya saat meninggalkan rumah. 
Sebagai kawan tentu saja Fir menanggungnya. Gudzel percaya karena dia 
sahabatnya. 

Fir menggandengnya keluar. Di pinggir tempat parkir dia berpura tanya siapa 
namanya. Fir merasa nelangsa ketika mendengar jawabnya. Bahkan nama sendiri Sis 
lupa. Tak ada senyum melingkar pada wajahnya. Wajah kosong seorang lelaki yang 
kehilangan kemudi diri. 

Fir sendiri sering lupa nama orang, bahkan nama besar semisal almarhum mantan 
presiden Prancis sebelum Chaque Chirac pada petak-petak segi-empat sebuah 
halaman teka-teki silang. Tetapi Sisbandi tak ubahnya dengan Firman, dua-duanya 
pseudonym, tempat mereka  mengubur indikasi diri berupa segumpal stigma: 
Gestapu-PKI. Seperti Pater Wisanggeni yang menjelma Saman dalam roman Ayu 
Utami. Seorang pater yang terlibat gerakan perlawanan petani karet ketika kebun 
mereka ditebang pemodal multi-nasional yang mengubahnya jadi perkebunan kelapa 
sawit. Sis tentu bukan jenis Saman yang melarikan diri hingga Singapura, New 
York, Manhattan, sebagai buron preman bayaran. Dia cuma dongkolan mahid2) yang 
kabur-kanginan menyusul Fir sampai di Westfalia Utara di mana mereka meminta 
suaka. 

Fir mulai sadar dan khawatir akan simtoma serupa di masa depan dirinya. Sebab 
dia dan Sis hampir sebaya, juga kian pelupa dan sama-sama orang buangan. 
Perihal membina keluarga hanya dalam satu hal saja mereka berbeda: Fir adalah 
Firman yang sempat menikah sedangkan Sis tetap jejaka tua. 

Setelah pertemuan singkat di kedai itu Fir mengantar Sis pulang karena lelaki 
itu tak tahu lagi di mana rumahnya. 

Malam itu Fir coba menelepon Sis. Didengarnya suara hampa seorang kawan lama 
yang tak tahu lagi siapa dirinya,

"Halo. Siapa situ?"

"Ya Sis, aku Firman, suami Rukmi. Kamu Sisbandi bukan?" 

"Siapa Firman? Siapa..."

"Ah, masak lupa? Bukankah aku yang mengantarmu pulang tadi siang?"

"Emm mm. Siapa? Pulang ke mana?"

Lupa pasti bukan bakatnya. Namun trauma, keterasingan dan kekosongan dalam 
hidupnya di luar Tanahair selama puluhan tahun, telah menguras tandas telaga 
bawah sadarnya, tetes demi tetes. 

"Kamu siapa?" ulang Sis.

"Aku Kala Srenggi! Ingat bukan? Kala Srenggi!" cetus Fir jengkel.

"Hus!" dengus istri Fir. "Orang sakit kok digodain. Kasihan dong!"

"Bolpen dan kertas siap ya?" lanjutnya.  "Oke, tulis yang benar: kosong dua dua 
kosong tiga - lima tiga satu kosong lima. Aku ulangi ya, 
kosong...dua...dua...kosong...tiga- lima...tiga...satu...kosong...lima. Jadi, 
tinggal ngebel saja. Kalau kau mau, silakan nginap, kami tak keberatan asal 
seadanya. Fajar bisa menjemputmu kapan saja."

"Fajar? Siapa Fajar?" 

Kian jengkel Fir meladeninya: "Tulis ya, Fajar itu anakku!  Masak lupa? Waktu 
kecil kau suka meniumangnya..." 

Bermenit-menit Fir menunggu. Telepon genggam hampir dibungkam ketika 
didengarnya lagi suara Sisbandi,

"Halo. Siapa situ?"

"Ya, ini aku lagi Sis, bapaknya Fajar! Kok masih tanya!"

"Fajar? Siapa Fajar?"

"Sudahlah Sis, selamat tidur. Lain kali aku menelepon lagi." 

Fir tak sabar lagi lalu membungkam telepon genggamnya. Ganti istrinya 
menegurnya, "Enggak bisa terus begitu! Mesti mendapat perawatan dokter. 
Sebaiknya psikiater. Jangan suka menunda, Mas! Dia memerlukan bantuan kawan 
dengan segera."

Fir tak tahu pasti sejak kapan Sis hilang ingatan. Mungkin sejak dia pindah ke 
rumah sosial yang sewanya murah di pinggiran kota tapi tetap Westfalia Utara. 
Sejak itu semakin jarang dia ketemu kawan. Berbulan-bulan. Namun belum setahun. 
Begitu cepat lelaki itu berubah. Begitu terlambat Fir mengetahui kondisi mental 
sahabatnya itu. Lelaki itu cuma berkomunikasi dengan diri sendiri, bersitatap 
muka di depan kaca dengan bayangan. Tanpa sekerat kata. Lelaki yang kian 
pendiam.

Barangkali itu salahku juga, pikir Fir. Sebab selaku kawan dekat  begitu lama 
dia telah melupakannya. Hidup di kota besar sebuah negeri industri yang sibuk 
dan memabukkan itu telah memaksa manusia, juga dirinya, menjadi mesin saing 
yang kejam dalam berebut sumber penghidupan selama tinggal di negeri orang. Fir 
bertahan jadi pelayan restoran selama masih bisa. Sebaliknya Sis telanjur jadi 
penganggur, terpental di pinggiran kota, hidup bersandar pada bantuan sosial. 

                                         **

Dulu, beberapa puluh tahun lalu, mereka pernah lama menghuni sebuah koloni. 
Satu-satunya daerah bebas bekas tangsi tentara Kuomintang. Di sana Firman 
bertemu Sisbandi di antara sekian banyak orang buangan. Sebuah pertemuan tak 
terduga yang tampaknya memang dirancang. Belum pernah dalam hidupnya Fir merasa 
bagian tak terpisahkan dari satu nusa satu bangsa satu bahasa, seperti ketika 
itu. Setidaknya etnis Jawa (mayoritas), Sunda, Madura, Minang, Batak, Dayak, 
Aceh, Ambon, juga Tionghoa, menghuni koloni ini. Entah sampai kapan. Betapa 
ideal jika orang gemar berkhayal. Betapa menjemukan bila orang tak bisa tahan.

Kini Fir kembali menguak masa lalu lelaki itu. Dialah orang pertama yang 
melompat karena kaget, sebab Sis teriak-teriak secara mendadak sedangkan kamar 
mereka berdempetan. Fir gagal  menggedor kamarnya untuk memaksa pemuda itu 
keluar, sebab pintunya dikunci dari dalam. Tetapi beberapa kawan cepat datang 
mendongkel engsel pintu kamarnya. Maka dilihatnya lelaki itu melompat-lompat 
mencoba buka jendela. Histeris. Panik. Andai mereka terlambat masuk ke kamar 
Sis, barangkali lelaki itu telah meloncat terjun dari jendela. Dan dia bakal 
terkapar, terjengkang dan patah tulang di bawah tembok tangsi. 

"Sis, tenang Sis! Kenapa teriak-teriak? Ada apa?" tanya seseorang.

"Lari! Lari! Mereka sudah di sini!"

Sis meronta ketika orang-orang meringkusnya. Saat itu tampak Kawan Chang,  
pengawas koloni itu, telah berada di kamarnya. Bersama Firman mereka memapahnya 
keluar menuju klinik kecil yang tersedia di kompleksnya. 

Tak ada psikiater di klinik itu. Hanya ada dokter jaga tetapi bukan ahli pada 
bidangnya. Sis terpaksa dilarikan ke rumah sakit pusat. Fir dan seorang kawan 
ikut mengantarnya dengan jip bersama dokter jaga. Lelaki itu mulai agak tenang 
meski tampak masih agak gelisah. Tetapi di depan pintu rumah sakit tiba-tiba 
tubuhnya lunglai bagai daging tak bertulang. Mereka memapahnya. Sis menyeret 
kedua kakinya.

"Kenapa Sis?" tanya Fir.

"Pusing. Pusing..."

"Sing!" sahut dokter jaga.

"Pusing!" ulangnya.

"Sing!" bantah dokter.

Sing dan pusing memang memusingkan. Sebab dalam bahasa Tionghoa pu berarti 
tidak, dan sing berarti bisa.  Sis bilang tidak bisa dan dokter jaga bilang 
bisa. Mereka seolah saling berbantah. Sing dan pusing bagi Fir sama-sama 
memusingkan. Tetapi Sis lantas terbaring di ruang isolasi setelah mendapat 
suntikan obat penenang.

Pada malam terakhir sebelum meninggalkan koloni bekas tangsi tentara Kuomintang 
itu Fir sempat menengoknya. Dia temukan sepucuk pisau di bawah bantalnya. 

"Apa ini Sis?" usutnya.

Sis kaget, "Biar. Biar di situ!"

"Tidak boleh, Bung. Entar dikira kamu mencuri." 

"Aku bukan pencuri. Aku perlu simpan itu."

"Mereka lebih memerlukan buat merajang berambang dan sayuran."

"Tidak bisa! Kembalikan itu di situ."

"Di bawah bantal? Buat apa?"

"Jaga-jaga."

"Jaga-jaga? Terhadap siapa?"

"Jendral. Dewan jendral! Mereka kejar kita!"

Fir bilang kita tidak berada di Indonesia. Kita tinggal jauh di seberang 
lautan. Aman tenteram. Sejarah tidak berlangsung di sini dan kita tidak ambil 
bagian kecuali penonton. Itu pun dari jarak jangkauan otak kita saja. Cukup 
aman dan nyaman bukan? Fir bukan psikiater namun sok pinter menghibur dengan 
pitutur sekenanya bagi Sisbandi. Tak ada reaksi. Ibarat tong kosong berbunyi 
bising. Akhirnya hanya dengan obat psiko-farmaka,  dokter berhasil menjinakkan 
lelaki itu. 

                                            **

Demens! Apakah ini bekas sisa-sisa trauma yang kembali menyerang jaringan 
syaraf Sisbandi? Hanya psikiater bisa menjawabnya. Seperti saran Rukmi. Sejak 
dia tinggal jauh di luar kota, sebenarnya Fir pernah beberapa kali menengoknya. 
Kondisi fisiknya biasa saja, hanya kian pendiam. 

"Sering-seringlah datang ke rumah," pesan Firman pada sahabatnya itu. Dia 
meninggalkan secarik kertas dengan nomer telepon keluarganya. Namun Sis jarang 
mau datang meski diundang, apalagi dengan niat sendiri. Satu-satunya alasan, 
dia lupa di mana menyimpan catatan itu.

"Nganèh-anèhi, padahal kita ini sudah seperti saudara, makan tak makan kumpul. 
Tinggal ngebel saja apa sulitnya." Begitu celoteh istri Fir.

Hampir setahun Sis menghilang. Sampai suatu hari ketika dia nongol kembali di 
Kedai Turki tempat Fir bekerja. Tak terduga olehnya secepat itu Sis berubah. 
Fir masih mengenalnya sebagai kawan lama. Sis tak mengenalnya sebagai siapa pun.

                                       **    

Kini Fir tak bisa lagi menunda niatnya. Dia harus menengok sahabatnya itu 
sekarang. Berita luar biasa itu telah tersiar ke seluruh penjuru dunia. Tetapi 
Fir selalu khawatir, Sis telah lama kehilangan selera untuk mengikuti 
berita-berita penting di televisi. Dia mengajak istrinya mendatangi rumahya. 
Mereka kaget saat melihat rumah Sis berantakan. Begitu banyak koran dan 
kertas-kertas reklame maupun majalah lama terserak di tiap penjuru rumahnya. 
Toaletnya mampet, bau pesing air kencing dan kotoran manusia. Entah kertas apa 
saja menyumpal klosetnya. Mereka terpaksa memompa. Berkali-kali. Siang itu 
mereka tampil mengambil peran relawan di rumah Sis. Bukan maksud semula 
sebenarnya. Sis sendiri tampak ngah-ngoh dan semakin bodoh. Istri Fir tak sabar 
lagi,

"Sebenarnya kakus mampet itu bukan tugas kami, Mas. Hari ini kami datang hanya 
untuk memberi tahu ..."

"Hari ini, hari ini...."

"Ya ya, hari ini Minggu Mas! Mas dengar bukan...?"

"Dengar apa?"

"Hari ini Suharto lewat."

"Su su ...Suharto? Siapa Suharto? Lewat mana?"

Istri Fir terdiam. Suaminya menggumam,

"Sisbandi ah Sisbandi! Mengapa kau jadi begini? Kita semua kaum terhina, korban 
kebiadaban. Engkau boleh lupa segala. Tetapi Suharto..." 

Paran, akhir Januari 2008

__________

1) mahid - mahasiswa ikatan dinas

2) kebab - daging panggang campur sayur ala Turki

Kirim email ke