JURNAL TODDOPULI: "BENANG DINDING" Katingan, salah sebuah sungai di Kalimantan Tengah, propinsi yang didirikan paa tahun 1957 dan disebut juga sebagai "propinsi ribuan sungai", adalah sungai di mana aku dilahirkan dan kemudian diasuh oleh hutan yang tak tertembus cahaya matahari, arus dan sungai gelombang, bukit dan busut-busut jantan serta betinanya, dibuai oleh suara burung dan pekik siamang siang-malam sahut-menyahut dengan denting dawai kecapi, irama sansana para penakik karet dan pemotong rotan atau nelayan pulang subuh. Hanya sebelas tahun secara efektif aku hidup di sungai berbentuk lipat siku ini. Karena begitu selesai Sekolah Rakjat (SR) --sekarang disebut Sekolah Dasar -- aku harus keluar rumah orangtua untuk mencari sekolah di kota lain. Di Kasongan, sekarang ibukota Kabupaten Katingan, yang terletak di bibir sungai Katingan, sekolah tertinggi hanyalah sampai tingkat SR. SMP apalagi SMA sama sekali tak ada. Daerah sangat kaya raya, tapi tidak mempunyai sekolah yang padan untuk mengembangkan sumber daya manusia setempat. Kekayaannya mengalir semua ke Banjarmasin sebagai ibukota Kalimantan Selatan. (Waktu itu Pulau Kalimantan sebagai pulau ketiga terbesar di dunia sesudah Pulau Hijau, Australia) dibagi dalam tiga propinsi: Barat, Timur dan Selatan. Kalteng merupakan bagian dari Kalsel. Sebagai bagian dari Kalsel maka semua kekayaan yang dihasilkan Katingan terhenti dan ditumpuk serta digunakan oleh Banjarmasin, tanpa ada yang kembali ke Katingan. Oleh keadaan inilah, pada usia 11 tahun, maka orangtua mengirimku ke Sampit untuk melanjutkan sekolah di SMP Kristen -- satu-satunya SMP di daerah yang sekarang disebut Kalteng bersangukan pesan-pesan berat yang tak bisa kujawab: "obah cawat dengan dasi", "jangan kembali jika tak bisa mengobah nasib Katingan", "jangan menangis saat kapal meninggalkan tepian". Sebagai anak diasuh alam yang merasa tak tenggelam di tengah gelombang yang selalu memabokkan dan menggoda ingin menerjuni menantangnya, sebelum masuk kapal, bersembunyi di perut kapal, agar tak nampak bahwa aku sedih berangkat dari tepian, sejenak aku menatap langit. Kepada langit, kuacungkan kepalan kecilku mau berkata: "Awas kau akan kutonjok, dan kau akan kalah!", kebiasaan yang kulakukan saban melihat gelombang sungai Katingan. Aku pun masuk ke perut kapal mengintip para pengantar dari balik kaca dengan mengelola perasaan yang campur-aduk. Jika diukur dari masa hidup seseorang, masa 11 tahun bukanlah waktu yang panjang. Tapi ia meninggalkan kesan mendalam padaku dan menancap tak pernah pupus di kenangan bocahku. Salah satu dari kenangan dalam itu adalah kegiatan ibu. Tokoh ibuku yang mengesankan karena kepribadian, tanggungjawabnya, sikap kemandiriannya serta tangannya yang tak pernah dari melakukan sesuatu. Salah satu kegiatannya yang meninggalkan kesan sampai sekarang adalah keteunannya dalam melakukan sesuatu, menganyam dan melakukan sesuatu sampai tuntas. Tak pernah ia melakukan sesuatu secara kepalangtanggung. Kalau ia membuat pakaian untuk ayah dan anak-anaknya, sisa kain dari segala warna dan ukuran yang dipotongnya, ia simpan. Kemudian pada waktu senggang, ia jahit. Tak ada yang terbuang di tangan ibu. Hasil jahitannya kemudian menjelma menjadi sebuah lembaran kain warna-warni yang bisa digunakan sebagai selimut atau korden pintu kamar kami. Benang warna-warni yang dijahit rapi dan kemudian menjadi selembar kain, dalam bahasa Dayak disebut "bénang dinding". "Tambalan", tembelan" dalam bahasa Jawa atau mungkin patch work dalam bahasa Inggris. Kalau kurenung ulang soal bénang dinding ini, maka aku melihat kreatifian, ketekunan dan sikap berhemat dari para perempuan di rumah tangga. Perempuan Dayak, yang tentu juga terdapat pada perempuan etnik dan bangsa-bangsa lain. Terbukti adanya istilah-istilah untuk bentuk kreativitas ini dalam berbagai bahasa. Barangkali, bénang dinding juga bisa dilihat sebagai pembagian kerja antara lelaki dan perempuan secara alami. Karena tak pernah kulihat tangan ayah yang kasar menjahit sisa-sisa kain yang dikumpulkan ibu. Sementara ibu, bisa dan mampu melakukan apa saja yang ayah kerjakan, termasuk membuka ladang. Dalam masyarakat Dayak Kalteng, paling tidak sampai dengan masa bocah Katingan-ku, masalah kesetaraan lelaki dan perempuan bukan masalah yng harus diperjuangkan, tapi sudah menjadi kenyataan hidup sehari-hari. Penanggungjawab keluarga adalah suami-istri. Secara ekonomi, istri tidak tergantung pada suami. Salah satu tiang penyangga keluarga adalah istri. Sang ibu, keadaan yang dalam ungkapan Tiongkok Kuno disebut "perempuan adalah penyangga separo langit". Dalam masyarakat Dayak pada masa bocah Katingan-ku perempuan bukanlah "bunga rumahtangga", tidak pula "menjadi konco wingking" [teman di belakang atau dapur], atau orang "yang ke sorga ikut, ke neraka terbawa" [nyang sorga nunut, nyang neraka katut]. Inilah yang kulihat, yang tersirat dari adanya masalah bénang dinding, Nampak keunggulan perempuan dari lelaki. Orang yang punya kemampuan dan bukan mahluk yang pasif seperti tercermin pada kata wanita. Status setara ini nampak juga dari istilah "bawi" [perempuan] untuk kata perempuan. Istilah yang setara dengan "hatué" [lelaki], jika dilihat dari segi linguistik. Kesetaraan ini pun nampak dari panggilan "kau", "ikau" terhadap orang yang lebih tua, yang diperkenan dan dianggap sopan di kalangan masyarakat Dayak. Asal tidak menyebut nama. Nama adalah sakral. Karena alasan ini maka untuk sekian lama aku tidak berani menyebut nama ayah dan ibu. Dikatakan jika menyebutnya aku bisa "tulah". Kembali ke soal bénang dinding. Selain penafsiran ulang di atas, aku pun sekarang melihat kesejajaran antara bénang dinding dengan ide bhinneka tunggal ika sebagai politik kebudayaan. Sehelai kain baru yang terbentuk dari sobekan-sobekan kain yang dijahit aku lihat tak obah dari bangsa dan negeri kita yang bernama Indonesia. Sedangkan sobekan-sobekan kain yang dihimpun oleh ibu dengan tekun, kulihat sebagai lambang dari budaya lokal warna-sarni yang terdapat diberbagai pulau dan daerah. Dijahit menjadi satu dalam ujud bénang dinding. Tanpa adanya sobekan-sobekan kain yang dijahit jadi ke-ikaan itu maka tidak akan ada yang disebut bénang dinding alias budaya Indonesia. Artinya budaya Indonesia, atau helai kain bénang dinding itu terbentuk karena penjahitan lembaran-lembaran sobekan kain tadi. Bénang dinding tidak mungkin hanya terdiri dari satu warna. Ia tidak lagi disebut bénang dinding jika hanya terdiri dari satu warna. Bénang dinding adalah produk baru dari sobekan-sobekan kain yang dijahit jadi satu dan mempunyai fungsi tersendiri, baik sobekan itu besar atau kecil sebagaimana dikatakan oleh penyair Viêt Nam Ho Chi Minh dalam antologi puisinya "Catatan Harian Di Penjara" bahwa "bendera besar bendera kecil/punya arti sendiri-sendiri". Adanya bénang dinding adalah kesatuan di bawah nilai yang diisebut rangkaian nilai republiken dan berkeindonesiaan. Barangkali di sini pulalah terletak sari ide sastra-seni kepulauan itu. Dengan pemahaman dan tafsiran demikian, aku melihat bahwa bénang dinding selain mengisyaratkan suatu politik kebudayaan, sebuah filosofi, ia juga menawarkan suatu cara membangun kebudayaan Indonesia. Jika benar demikian, maka agaknya kita sering terlalu melihat ke Barat sedangkan diri sendiri tidak diindahkan atau melihat yang kita miliki sendiri dengan picingan mata karena komplek rendah diri dengan segala selubung. Akibatnya kita menjadi layang-layang putus tali, pohon yang yang busuk akarnya. "Ikan busuk mulai dari kepalanya", ujar orang Perancis.*** Paris, Musim Dingin 2008. ---------------------------------- JJ. Kusni
Get your preferred Email name! Now you can @ymail.com and @rocketmail.com http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/