Jurnal Toddopuli:
 
 
 
KEINDONESIAAN DAN ETNISITAS
 
[Cerita Untuk Anak-anakku]
 
 
 
Tanggal 20 Januari 2009 pukul 13:00 WIB siang tadi , di Palmerah Selatan 17, 
Jakarta telah dilangsungkan sebuah diskusi bertajuk "Keindonesiaan Dan 
Ketionghoaan: Menuju  Harmoni Identitas dan Budaya"bertempat di BBJ. Diskusi 
ini diselenggarakan oleh  Komunitas Lintas Budaya Indonesia dan Bentara Budaya 
Jakarta. Menyertai diskusi, digelarkan juga pameran "Warisan Budaya Tionghoa 
Peranakan" yang berlangsung di Bentara Budaya dari  15-25 Januari 2009.
 
Yang berbicara dalam diskusi dengan tema di atas adalah Mona Lohanda, penulis 
buku "Growing Pains", Prof. Dr. Gondomono, antropolog budaya Tionghoa Jakarta,  
Ester Indahyani Jusuf, penerima hadiah Yap Thiam Hien Award, 2001, Ariani 
Darmawan, sutradara filem "Anak Naga Beranak Naga" dan Dr. Naniek Widyati P, 
arsitek ,  penulis buku "Candra Naya".
 
Dari komposisi pembicara  dan tema yang dibahas,  nampak bahwa diskusi panel 
ini diselenggarakan dengan niat sangat serius,  apalagi jika kita ingat bahwa 
tema-teman sejenis pernah juga dibahas oleh organisasi Indonesia-Tionghoa 
melalui beberapa seminarnya di Jakarta, jauh sebelum acara panel yang 
disponsori oleh Komunitas Lintas Budaya dan Bentara Budaya. Saya hanya melihat 
kegiatan-kegiatan begini merupakan usaha sadar di paparan pemikiran yang sangat 
berguna dalam usaha menegakkan rasa berkeindonesiaan secara sadar melalui 
bidang kebudayaan. Ia juga menunjukkan arti penting kebudayaan dan kesadaran 
dalam usaha berbangsa, benergeri dan bernegara di tengah kondisi bangsa yang 
sangat majemuk dan peka terhadap adudomba dan perpecahan. Hasil-hasil, entah  
ia berupa teks makalah atau pun kesimpulan dari diskusi begini,  akan sangat 
baik jika disebarluaskan, bahkan diterbitkan sebagai sebuah buku sehingga bisa 
jadi acuan anak bangsa dan negeri ini
 untuk sama-sama sadar memiliki rasa berkeindonesiaan dan ber-republik -- dua 
hal tak terpisahkan. Barangkali dengan pemahaman sadar dan hakiki sebagai buah 
renungan dan pemikiran bersama, hasil-hasilnya bisa menjadi sangu 
pikiran bersama dalam menghadapi masalah-masalah berbangsa, bernegeri dan 
ber-republik.
 
Sebelum masuk ke masalah lain, saya ingin mengomentari soal istilah Tionghoa 
dan Tionghoa Peranakan, serta etnik Tionghoa, yang kalau tak salah ingat pernah 
dilansir dalam seminar Inti beberapa tahun silam. Dalam hubungan ini, 
barangkali berguna juga dikaitkan dengan masalah atau istilah "warga negara 
keturunan", bumiputera, Indonesia  Asli dan minoritas.
 
Tionghoa, barangkali sebuah istilah yang menunjukkan kepada semua mereka, dari 
warganegara mana pun, yang mempunyai darah Tionghoa. Sedangkan Tionghoa 
Peranakan, digunakan untuk melukiskan orang Tionghoa campuran, misalnya melalui 
perkawinan dengan orang setempat di mana mereka bermkim atau dengan etnik atau 
bangsa lain.  Mereka ini di Indonesia sering disebut "warganegara keturunan". 
Istilah ini sering dihadapkan dengan istilah "bumiputera" atau Indonesia 
Asli. Sering juga "warganegara keturunan" ini dipandang sebagai minoritas di 
Indonesia.
 
Pertama-tama saya ingin mempertanyakan mengapa dalam suatu seminar dengan para 
pembicara beken dan keren dengan pajangan gelar akademi Prof. Dr dan perolehan 
jasa demikian, dalam iklan pengumuman tidak ada kesergaman istilah? Padahal 
pada tiap istilah, kiranya mengandung kandungan konsep dan latar 
tertentu.Selain latar belakang pemikiran , tentu menyimpan latar sejarah dan 
filosofi tertentu. 
 
Terhadap masalah ini, saya sendiri cenderung pada penggunaan istilah "orang 
Indonesia asal etnik Tionghoa" atau disingkat menjadi etnik Tionghoa.  Alasan 
saya: Yang namanya warganegara itu di depan hukum status mereka sama. Tak 
perduli asal etnik mereka.  Istilah-istilah di atas, barangkali mengandung 
kandungan wacana yang tak jelas, simpang-siur kalau dilihat dari berbagai 
disiplin, terutama ilmu politik .  Dari segi ilmu kenegaraan, apa dasar 
membeda-bedakan warganegaranya dengan sebutan yang tak bisa 
dipertanggungjawabkan?   Dilihat dari segi nilai republiken dan 
berkeindonesiaan, bagaimana penjelasannya, kalau kita sepakat bahwa republik 
dan Indonesia adalah suatu rangkaian nilai yang juga merupakan program dan 
cita-cita berbangsa, bernegeri dan bernegara? Entah kalau republik dan 
Indonesia merupakan dua kata yang tak mengandung makna apa pun. 
 
Penggunaan istilah etnik Tionghoa , saya kira bisa dipertanggungjawabkan karena 
memang warganegara Republik Indonesia [RI] memang terdiri dari berbagai etnik. 
Salahsatu adalah etnik Tionghoa. Dari segi kebudayaan, saya kira, warganegara 
RI dari etnik Tionghoa juga bukan lagi berkebudayaan seperti yang terdapat di 
Republik Rakyat Tiongkok [RRT] atau pun Taiwan. Mereka berkebudayaan Indonesia 
bercirikan kebudayaan etnik Tionghoa. Misalnya masakan Tionghoa Indonesia 
berbeda dari masakan  Tionghoa di RRT baik yang di utara atau pun yang di 
selatan sunga Yang Tse. Tidak sedikit dari mereka yang tidak bisa berbahasa Phu 
Thung Hwa tapi fasih berbahasa Indonesia. 
 
Mengenai masalah minoritas dan mayoritas, artinya kita memasuki perbandingan 
jumlah. Apakah etnik Tionghoa merupakan etnik minoritas di Indonesia? 
Dibandingkan dengan etik mana etnik Tionghoa merupakan minoritas? Kalau 
dibandingkan dengan etnik Jawa, etnik mana pun di Indonesia akan menjadi 
minoritas.  Tapi dibandingkan dengan etnik Dayak, Kubu, Gayo, etnik Arab, etnik 
IndoEropa, apakah etnik Tionghoa, merupakan etnik minoritas? Dengan 
pertimbangan begini, maka saya meragukan pengakuan, perasaan atau sebutan bahwa 
etnik Tionghoa merupakan etnik minoritas, paling minoritas  di Indonesia dari 
segi fisik atau matematika.
 
Istilah atau konsep lain yang saya juga ragukan ketepatannya, adalah bumiputera 
dan idigenous people  [penduduk asli]. Barangkali masalah ini merupakan masalah 
antropologis dan etnografis yang kemudian merambat ke bidang politik. Apakah 
warganegara RI dari etnik Jawa, Batak,Minang, Bugis, Papua,  Dayak dan apalagi 
dari etnik Arab merupakan warganegara Bumiputera?
 
Dalam legenda dan sastra lisan Dayak, disebutkan adanya Banama Tingang 
[miniaturnya banyak dijual di toko-toko suvenir di Kalimantan Tengah]. Banama 
artinya perahu. Tingang adalah  enggang. Dikisahkan bahwa orang Dayak datang ke 
Kalimantan dengan menggunakan Banama  Tingang [Perahu Enggang]. Artinya manusia 
Dayak itu adalah tergolong pendatang di Kalimantan. Tentu saja sebagai 
pendatang lebih awal. Pada zaman pendudukan Jepang, ayah membawa kami mengungsi 
di hutan. Dalam perjalanan ke kampung dari hutan, ayah berpapasan perahu dengan 
seorang hitam [Negrito] . Kejadian serupa adalah keterangan saudara saya yang 
sedang bepergian di Jawa Timur di mana ia bertemu juga dengan orang Negrito. 
 
Saya mempercayai keterangan ayah saya. Karena sejauh pengetahuan saya ia tidak 
pernah berbohong termasuk tidak berbohong tentang ketakutannya. Jika demikian 
maka sebelum manusia Dayak datang ke Kalimantan orang Negrito datang lebih 
dahulu dari manusia Dayak dengan Banama Tingangnya. Perjalanan manusia Dayak ke 
Kalimantan masih bisa ditelusuri dari segi lain yaitu  segi lingusitik dan 
tari. Banyak kosakata penduduk yang menghuni  pegunungan Thai Nguyen, Vietnam , 
dan Tagalog, Philipina, mempunyai banyak kesamaan. Adanya banyak kesamaan ini 
barangkali bisa merupakan indikasi tentang adanya perpindahan penduduk, 
termasuk manusia Dayak.,
 
Jika demikian apa-siapakah yang disebut "bumiputera" dan atau indigenous people 
itu? Tidakkah lebih bisa dipertanggungjawabkan jika menggunakan istilah 
pendatang lebih awal dan belakangan?
 
Denys Lombard dan Claudine Salmon banyak menulis tentang etnik Tionghoa di 
Indonesia di samping Leo Suryadinata yang lama bermukim di Singapura. D.Lombard 
dan Claudine lama menunjukkan musbab dan muasal kedatangan etnik Tionghoa ke 
Indonesia. Tidak bisa dibantah bahwa mereka adalah pendatang baru dibandingkan 
dengan manusia Dayak, misalnya.  Tapi sekarang mereka merupakan bagian dari 
warganegara RI dengan hak dan wajib  sama di depan hukum.  Mengapa lalu ada 
SBKRI, disebut warganegara keturunan, ada semacam tekanan pada suatu periode 
untuk "mengindonesiakan" nama,  mengapa harus ada bumimputera dan indigenous 
people, penduduk asli dan tidak asli? 
 
Dengan tuturan di atas yang ingin saya katakan bahwa ada kekaburan serta 
kesimpangsiuran istilah sebagai cerminan kekaburan dan kesimpangsiuran 
konseptual atau wacana telah kita gunakan. Salah kaprah ini malangnya diterima 
sebagai keniscayaan. Kejamakan. Padahal tingkatnya lebih rendah dari jargon. 
Apakah kesimpangsiuran wacana ini tidak terdapat pada panel bertemakan : 
"Keindonesiaan Dan Ketionghoaan: Menuju  Harmoni Identitas dan Budaya". 
Mudah-mudahan tidak. Untuk mengetahuinya secara persis, saya akan 
berterimakasih jika bisa memperoleh makalah-makalah yang telah disampaikan dan 
laporan tentang diskusi panel para pakar itu.
 
Selanjutnya saya mau berkomentar sekedar tentang tema: "Keindonesiaan Dan 
Ketionghoaan: Menuju  Harmoni Identitas dan Budaya". Mengapa tema dirumuskan 
secara demikian? Apakah antara keindonesiaan dan ketionghoaan, kedayakan, 
kebugisan, kebatakan, kejawaan, kesundaan, dan lain-lain merupakan hal yang tak 
harmoni? Mengkalutkan identitas dan budaya? ***
 
 
Winter 2009
-----------------
JJ. Kusni


      Get your preferred Email name!
Now you can @ymail.com and @rocketmail.com
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

Kirim email ke