Jurnal Toddopuli: KETIKA EROS DJAROT DILARANG SYUTING [Ceriita Untuk Anak-anakku] Kalian tahu Eros Djarot, bukan? Pertama-tama ia dikenal sebagai seorang sutradara filem di negeri kita, kemudian berkembang menjadi politisi dan sekarang menjabat sebagai Ketum Partai Nasional Benteng Kemerdekaan Indonesai (PNBKI), tanpa meninggalkan profesi lamanya sebagai seorang seniman filem. Perkembangan dan perluasan wilayah profesi ini, barangkali disebabkan oleh pandangan seni Eros Djarot [yang selanjutnya aku singkatkan dengan Eros] yang di Perancis disebut sebagai "seni berpihak" [l'art engagée]. Seperti kalian ketahui, seorang seniman berpihak pada umumnya adalah seorng seniman, seorang pemikir yang pemimpi. Mimpi yang aku maksudkan di sini adalah mimpi tentang kemasyarakatan, dan tentu saja masyarakat yang manusiawi. Seniman berpihak berharap melalui karya-karyanya, ingin memberikan sumbangan sebisanya untuk pengejawantahan mimpinya agar mimpi tidak tinggal mimpi. Dan mimpi ini tak obah pedoman bagi kapitan pini di laut. Bagaikan mercu suara bagi kapal yang sedang dermaga. Umumnya seniniman berpihak ini, seperti halnya pinisi, sanggup dengan segala resikonya menarung badai pelayaran. Termasuk mempertaruhkan nyawa dan kepala. Berkembangnya Eros menjadi politisi dan bahkan ketua umum PBBKI, barangkali bisa dibaca sebagai penegasan keberpihakan mimpinya. Ia ingin mencari topangan dan sarana baru guna mewujudkan mimpi-mimpi manusiawinya. Hanya saja, dengan menjadi partisan dari sebuah partai politik, apalagi menjadi orang pertamanya, bolehjadi yang berbuat demikian akan menghadapi resiko baru. Resiko itu kita bisa lihat apabila kita membandingkan watak profesi sebagai seniman dan profesi sebagai politisi, apalagi sebagai orang pertama sebuah partai politik. Dalam pemahamanku, watak pekerjaan seniman sekalipun memang memerlukan disipilin. Disiplin berkaarya. Tapi barangkali sifatnya lain dengan disiplin suatu organisasi, apalagi partai politik. Partai politik mempunyai disiplin --terkadang disiplin mati --, minoritas tunduk ppada mayoritas, sementara di dunia keseniman, barangkali disiplin demikian rasanya kurang berfungsi dalam pekerjaan kreatif. Seniman patuh pada mimpi manusiawinya, bukan pada suatu partai politik, bukan pada orang-perorang seperti ketua, sekjen atau pengurus partai politik. Seniman bekerja tanpa hirarki. Ia seorang pencari dan menjaga kebebasannya mencari serta bertanya sebebas ia mencari jawab dan mengungkapkan pendapatnya sebagai buah pencariannya. Dalam posisi inilah ia menjadi seorang republik merdeka sastra-seni, yang sering hadap-hadapan dengan republik politik formal. Tapi justru dengan posisi ini ini pulalah seniman bisa dipandang sebagai pengawas sosial, melakukan pengawasan masyarakat, apalagi jika ia bisa menjadi "jiwa bangsa dan jiwa rakyat"nya seperti halnya dengan Aimé Cesaire darn Martinique yang sanggup menolak kedatangan Nicolas Sarkozzy yang waktu itu menjadi Menteri Dalam Negeri Perancis. Penolakan penyair ini disokong penuh oleh rakyat Martinik dan Guadaloupe. Kemerdekaan seniman merupakan suatu keniscayaan dalam berkarya. Disiplinnya berbeda dengan disiplin partai politik atau suatu organisasi. Disiplinnya adalah disiplin kreator. Disiplin seorang pemimpi. Tapi ia pun bukan seseorang yang tidak paham politik. Ada keniscayaan baginya untuk paham politik tapi tanpa menjadi partisan. Buah pencariannya ia tuangkan dengan menggunakan bahasa atau sarana artistik yang berbicara dengan hati dan kepala. Seniman partisan, kukira seniman yang berjudi dengan profesi kesenimanannya. Tidak sederhana mengelola disiplin seniman dengan disiplin partai politik. Salah-salah kelola, bisa terjadi seniman merasa dirinya terkungkung di rumah tanahan yang terpaksa membungkamkan renungan dan hasil pencariannya demi disiplin organisasi. Apalagi tidak jarang kita menyaksikaan bahwa partai politik terasing dari kehidupan, tidak aspiratif, sibuk dengan masalah kekuasaa yang bukan urusan seniman.. Gejala Eros, yang selain sebagai seniman [filem], di segi lain kubaca bahwa ada kemungkinan di negeri kita tumbuh angkatan politisi yang mengerti budaya dan budayawan yang mengerti politik. Jika pembacaanku benar melalui gejala Eros ini maka gejala ini akan menggirangkan. Di Tiongkok Kuno disebutkan bahwa seorang pemimpin itu niscayanya mengerti masalah militer, budaya dan politik. Contoh agak mutakhir terdapat pada tokoh Mao Zedong yang selain seorang politisi, juga seorang strateg & jendral dari semua jendral, dan seorang penyair, budayawan serta pemikir. Aapakah Eros sampai dan mengarah ke jurusan ini? Adakah politisi dan seniman tipe begini di negeri kita? Suara hingar-bingar deras kudengar adalah gaung-gema narsisme hampa sehingga sampai ada yang berkata:"Aku malu menjadi Indonesia", sumpah-serapah tanpa mendorong kreativitas, dan mauke mana sertai mau apa, ungkapan yang berkata banyak untuk melukiskan keadaan negeri dan bangsa ini di berbagai bidang dan karakter suatu angkatan. Keadaan yang membuatku bertanya-tanya: Apakah kita tidak sedang menggantang asap dengan pola pikir dan mentalitas begini? Sekarang Eros sedang membuat filem Lastri, filem engagé tipe Eros, "sebuah film kisah percintaan dengan latar waktu suasana tahun 1965 itu rencananya akan dilakukan di sekitar Pasar Gede, kota Solo, kemudian daerah kecamatan Wedi, kabupaten Klaten, dan kawasan Colomadu, kabupaten Karanganyar".
"Tapi sayang, belum dimulai, sudah gagal di tengah jalan karena tidak mendapatkan izin dari yang berwewenang. "Jadwal syuting di Wedi, Klaten gagal, karena kami tidak mendapat izin. Begitu halnya jadwal di Colomadu, Karanganyar dan Solo. Secara resmi saya belum mendapatkan pelarangan itu," iujar Eros. Apa yang dikatakan oleh berita ini? Seperti diketahui, dalam beberapa kali pemilu sejak 1950an, kabupaten Klaten, 99% warganya menusuk tanda gambar palu arit. Hanya satu kecamatan saja , kalau tidak salah Jatinom yang dimenangi secara tipis oleh PNI. Karena itu pada masa Tragedi Nasional September 1965, di daerah ini merupakan tempat pembunuhan massal yang sangat besar. Sungai, selokan , sawah, merupakan kuburan tak bertanda. Kepala orang-orang dimasakre ini sering muncul ke permukaan tanah. Bahkan ada jembatan kecil dari jurusan Penggung ke arah Jatinom, yang sekitarnya dinaungi oleh pepohonan bambu oleh penduduk disebut sebagai "Jembatan Hantu PKI", karena pada larut malam yang sepi orang-orang yang lewat sering melihat sosok-sosok ajaib silang-siur? Sedangkan aku sendiri, saban melayangkan pandang ke ladang-ladang tebu, tembakau dan sawah terhampar di bawah kela-kelip listrik yang merata di seluruh desa Klaten, hanya bisa merasakan sisa sunyi duka setelah berlangsungnya masakre tahun-tahun 65an. Kesenyapan ^getir duka ini juga kudengar dari gonggong anjing memecah malam mencari tuannya yang hilang tak tahu rimba, tenggalam tahu lubuk sungainya. Cerita percintaan dengan latar masakre beginilah yang diolah oleh Eros dalam filemnya Lastri. Karena itu Eros dituduh menyebarkan ide komunisme. Di sini aku tidak membicarakan masalah komunisme, masalah Marxisme-- yang di negeri ini, yang aku pun ragu sekali , apakah angkatan sekarang dan orang-orang benar paham apa bagaimana "mahluk" Komunisme dan Marxisme itu yang dikutuk "tujuh turunan" itu dan diperkokoh oleh Ketetapan MPRS no.25 tahun 1966, dan Instruksi Mendagri No.30 tahun 1981,sebagai dasar legalnya. Jika keraguanku ini benar, maka ia hanya menunjukkan bahwa ini hasil indoktrinasi yang menumpulkan daya pikir dan kebebasan berpikir serta bertanya sehingga latah dan kelatahan, ilmu kuping dan mentalitas budak berkembang. Kalian, anak-istriku, berhak menolak Marxisme, tapi kukira yang kuharapkan kalian mengerti benar apa yang kalian tolak itu. Bisa menjelaskan secara nalar berdata apa yang kalian tolak itu. Aku tak ingin kalian menjadi beo atau burung tiung, ujar orang Dayak, yang berbicara sesuai dengan apa yang didengar atau menjadi orang-orang latah. Untuk memberdayakan dan membangun republik dan rangkaian nilai Indonesia, negeri dan bangsa ini tidak memerlukan orang-orang latah walau pun orang-orang latah dan kelatahan itu ada. Syuting filem Lastri di salah satu daerah masakre terdahsyat di kabupaten Klaten ini oleh pihak yang berwenang sayangnya "tidak mendapatkan izin dari yang berwewenang. Jadwal syuting di Wedi, Klaten gagal, karena kami tidak mendapat izin. Begitu halnya jadwal di Colomadu, Karanganyar dan Solo" , ujar Eros. Apakah makna dari "itdak mendapatkan izin dari yang berwenang" ini di negeri yang yang menyebut diri Republik dan Indonesia pada era di mana diktatur dan militerisme sedikit demi sedikit digusur dan kita mulai belajar berdemokrasi? Aku memahaminya bahwa kita memang sedang belajar berdemokrasi, keniscayaan memahami republik dan Indonesia sebagai rangkaian nilai perekat berbangsa, bernegeri dan bernegara. Republik dan Indonesia adalah sebuah cita-cita yang "hanya boleh berhasil " diujudkan, jika meminjam istilah Salim Said, sekarang Dubes RI untuk Praha, Republik Ceko, pecahan dari Cekoslowakia. "[..... ] tidak mendapatkan izin dari yang berwenang", ini juga menunjukkan pada sisa-sisa diktaturialisme dan militerisme yang menyeragamkan segala, padahal Indonesia kita beragama dalam segala rupa, memperlihatkan sisa budaya takut, "sanuwun dawuh", "duli tuanku", budaya "minta restu", budaya latah dan ketakutan sisa dari pendekatan "keamanan dan stabilitas nasional" yang militeristik. [ Kalian catat benar: Aku tidak anti militer, yang aku tentang adalah militerisme. Anti militer adalah suatu kekeliruan. RI kita memerlukan militer, militer yang republiken dan berkeindonesiaan, bukan yang militersitik]. "[....] tidak mendapat izin dari yang berwenang" juga kupahami sebagai bukti tambahan, betapa lambatnya perobahan "bangunan atas" [super-sntrcture] dan perkembangan "bangunan bawah" [base structure] sering tidak rasuk atau lambat untuk menjadi rasuk. Hal ini juga memperlihatkan, budaya dominan jenis apa yang menguasai negeri dan bangsa kita sekarang serta menunjukkan betapa masih berliku dan jauhnya "jalan ke Cordoba", jika meminjam istilah penyair Federico Garcio Lorca yang dibunuh oleh fasis Franco pada masa Perang Saudara di Spanyol [1936] . "[....]tidak mendapat izin dari yang berwenang" memperlihatkan padaku ada semacam anarkhi hirarikis dari segi ketatanegaraan. Ada semacam chaos. Penyelenggara negara pusat seperti tidak berwibawa, hukum menjadi relatif dan tidak menentu. "[.....] tidak mendapat izin dari yang bersenang", juga menunjukkan keadaan mentalitas kita yang takut pada kenyataan sejarah. Kita ngeri sendiri dengan apa yang kita pernah lakukan sendiri. Aku seperti sedang melihat seseorang yang sampai sekarang masih dalam posisi impunity berteriak histeri: "Jangan tunjukan itu kepadaku". Aku seperti sedang melihat seseorang yang takut melihat wajah dirinya di kaca. Secara psikhologis bisa disebut sikap "eskapisme" [escapism]. Takut pada diri sendiri, sikap yang lebih rendah dari pengecut. Apakah ini yang juga disebut hukum karma, menurut orang Budha yang mengiring pembom Nagasaki dan Hiroshima akhirnya bunuh diri?. Kita takut pada sejarah, takut pada alam,takut pada gunung, pada sungai, pada hutan, pada laut, pada gua-gua,pada sawah dan ladang tembakau serta tebu, takut pada jembbatan dan pepohonan bambu, sebagai pencatat jujur dan setia sejarah, takut pada manusia jujur dan pencari untuk bertutur. Sehingga orang-orang begini pun akhirnya menjadi manusia-manusia sakit . Malangnya, manusia-manusia sakit begini, untuk sementara masih menempati kedudukan sebagai pengambil keputusan dalam penyelenggaraan administrasi. Tidakkah Indonesia kita sekarang masih berada di bawah kelola orang-orang sakit begini? Oi, orang-orang tersayangku, kalian anak-istriku, Barangkali dari kasus Eros Djarot dengan filem Lastri-nya ini, kalian bisa melihat bahwa jalan ke Cordoba memang sayup dan sepi, ajal kadang menanti sebelum tiba di Cordoba, menyergap di tikungan tak terduga . Tapi yang republiken dan yang Indonesia memang seperti "eros yang yang dikutuk-sumpahi ahasveros". Apakah kalian memang sanggup menjadi seorang pencinta dan mencintai sesuatu, menghormati kata? Sanggup menjadi warga Republik Indonesia, sebuah cita-cita, serangkaian program dan tantangan? "Yang bukan penyair, minggir! ujar Chairil Anwar, penyair muda asal Medan yang mati muda pada usia 27 tahun, menyarikan mimpi manusiawinya tentang tanahair dan dunia. Rengan tingang nyanak jata [anak enggang putera-putri naga] dan "isen mulang" [tak pulang jika tak menang], ujar orang Dayak dahoeloe. "I have a dream", ujar Marthin Luther King Jr yang membayar mimpinya dengan nyawa. Jika boleh membuat varian pada ucapan Si Nandang dari sungai Asahan, Sumatera Utara kepada kalian, ooii orang-orang tersayangku, maka ingin kutulis baris-baris pertanyaan prosaik berikut: "Dung sinandung ale baya kunandung Ooii orang-orang yang kusinandung Apakah kalian mempunyai mimpi Apakah kalian menghargai makna Patut disenandung sansana sairara?"** * Perjalanan Pulang, Musim Dingin 2008 ------------------------------------------------------- JJ. Kusni LAMPIRAN: http://mediaindones ia.com/ SOLO--MI: Eros Djarot dilarang menggelar syuting film berjudul Lastri di Kota Solo dan sekitarnya, karena alur cerita atau isi filmnya dianggap bisa menyebarkan paham komunis. "Saya heran, di zaman reformasi kok masih ada larangan-larangan semacam ini. Seperti di zaman Orde Baru saja, larangan ini membuat kita kembali ke Orde Baru," protes sutradara film yang juga politisi ini saat dihubungi sejumlah wartawan Solo lewat telepon selularnya. Menurut dia, syuting film kisah percintaan dengan latar waktu suasana tahun 1965 itu rencananya akan dilakukan di sekitar Pasar Gede, kota Solo, kemudian daerah kecamatan Wedi, kabupaten Klaten, dan kawasan Colomadu, kabupaten Karanganyar. Tapi sayang, belum dimulai, sudah gagal di tengah jalan karena tidak mendapatkan izin dari yang berwewenang. "Jadwal syuting di Wedi, Klaten gagal, karena kami tidak mendapat izin. Begitu halnya jadwal di Colomadu, Karanganyar dan Solo. Secara resmi saya belum mendapatkan pelarangan itu," imbuhnya. Dia tambahkan, tuduhan penyebaran paham komunis itu sangat menyakitkan hati. Sebab Eros mengaku selama ini sebagai nasionalis dan pancasialis murni. Ia bahkan mengingatkan tentang perjalanannya semasa masih di PDIP pendukung Megawati Soekarnoputri. Lagi pula, lanjut dia lagi, mereka yang tidak mengizinkan sejauh ini belum melihat filmnya secara utuh, sebab di mulai saja belum. Lebih dari itu, yang berhak menilai dan mengoreksi film berjudul Lastri, nantinya adalah Badan Sensor Film. Ia menganggap, pelarangan itu terkesan sangat dipolitasasi. Sebab dasar larangannya hanya sebuah keberatan orang per orang setelah ada surat kaleng, yang kemudian dijadikan alat untuk mengeluarkan larangan. Eros yang kini duduk sebagai Ketum Partai Nasional Benteng Kemerdekaan Indonesai (PNBKI) ini mengaku tidak akan menyerah akan terus berusaha keras agar syuting film Lastri bisa digelar. Untuk itu, ia akan meminta dukungan dari seniman dan komunitas-komunitas pecinta seni di Solo. "Jika tidak dilawan modus pemberangusan seni bakal kembali marak," timpalnya. (WJ/OL-02) Get your preferred Email name! Now you can @ymail.com and @rocketmail.com http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/