Jurnal Toddopuli:
 
 
PANTURA
 
 
Pada tanggal 10 Januari 2009, kemarin malam, Koperasi Restoran Indonesia SCOP 
Fraternité, Paris kami, mendapat kehormatan dengan 
kedatangan rombongan tamu-tamu spesial. Mereka berjumlah 21 orang lebih. 
 
"Siapakah mereka itu, Ayah?"  tanya anak-anakku yang selalu minta didongengi 
sebelum tidur  sambil berbaring santai di pangkuan ibu mereka yang asyik 
sendiri dengan buku novel di tangan. 
 
Mereka itu sebagian besar adalah para Tenaga Kerja Wanita [TKW] yang tinggal 
dan bekerja di Paris. Ada yang tinggal secara gelap. Ada pula yang legal. Saya 
sendiri tidak tahu bagaimana TKW-TKW ini mengurus kartu izin tinggal mereka di 
sini pada saat pemerintah Sarkozy memperketat jumlah imigran, bahkan berencana 
membuat Perancis sebagai negeri "imigran nol". Artinya tidak menutup pintu pada 
imigran-imigran baru. Sebagai ganti dari politik imigrasi yang terbuka,  selain 
melaksanakan politik "imigran selektif" yaitu hanya menerima tenaga-tenaga 
imigran yang ahli. Politik ini sudah diterapkan oleh Nicolas Sarkozy sejak ia 
menjadi Menteri Dalam Negeri. Sejak itu di bandara Charles de Gaulle terdapat 
sebuah "penjara" untuk para imigran gelap sebelum mereka dipulangpaksakan ke 
negeri masing-masing dengan pesawat khusus, dikawal oleh polisi hingga ke 
negeri mereka. Mereka dipulangkan dengan pesangon. 
 
Guna menangani imigran-imigran legal, yang tidak sedikit jumlahnya dalam 
masyarakat Perancis dan kemudian mengambil kewarganegaraan Perancis, sehingga 
berpengaruh terhadap komposisi demografis, politik, ekonomi dan kebudayaan, 
ketika menjadi Presiden pada tahun 2002,  Sarkozy membentuk kementerian khusus 
yang disebutnya "Menteri Indentitas Nasional" ditambah dengan 
kebijakan "diskriminasi positif". Menyerapkan politik terakhir ini, Sarkozy 
mengangkat pejabat-pejabat tinggi lokal warga negara Perancis asal imigran. 
Barangkali dalam hubungan ini pulalah maka dalam komposisi menteri kabinetnya, 
terdapat menteri-menteri kunci asal imigran. 
 
Dalam masalah imigrasi ini, Sarkozy waktu menjabat Menteri Dalam Negeri banyak 
mendapat kritik berbagai kalangan karena pada masa "Pemberontakan Banlieu" 
[pinggiran kota, yang umumnya dihuni oleh para imigran dari Afrika dan negeri 
Afrika Utara], Sarkozy menamakan anak-anakmuda warganegara Perancis asal 
imigran ini sebagai "sampah masyarakat" [la racaille]. Sebutan ini menyulut 
kemarahan lebih besar. Polisi yang patroli dalam grup-grup kecil disergap 
secara fisik sehingga menimbulkan korban nyawa dan luka-luka. Malam pertama 
ketika terpilih sebagai presiden, Paris dan kota-kota lainnya diterpa oleh 
pembakaran dan berbagai bentuk vandalisme. Untuk meredakan keadaan ini, semua 
partai politik dan tokoh-tokoh mengeluarkan seruan dengan mengatakan bahwa 
vandalisme bukan cara beroposisi yang sehat. Sejak itulah maka popularitas seni 
rap meningkat dengan lirik-lirik yang terkadang sangat penuh kekerasan. 
Warganegara Perancis imigran inilah agaknya yang
 merupakan dasar sosial rap  Prancis dan mencerminkan keadaan sosial-ekonomi 
dasar sosial seni rap ini. 
 
Lalu  dengan demikian bisakah disimpulkan bahwa suatu sasatra-seni  itu 
mempunyai basis sosial dan mencerminkan keadaan basis sosial seni tersebut? 
Tanpa menggunakan dasar teori sastra-seni itu, jika kita memperhatikan 
lirik-lirik rap Perancis, maka dengan jelas nampak kepada siapa ia berpihak dan 
untuk apa ia diciptakan serta dipentaskan.
  
Dari segi jumlah TKW-TKW Indonesia di Paris khususnya, Perancis umumnya belum 
merupakan suatu jumlah yang perlu diperhitungkan. Bahkan tidak tertera dalam 
daftar yang KementerianTenaga Kerja yang disiarkan di koran-koran. 
 
Bagaimana TKW-TKW ini bisa sampai di Paris? 
 
Koperasi Restoran Indonesia, pada masa Orba masih berkuasa pernah didatangi 
oleh TKW-TKW dari Timur Tengah yang menyertai majikan-majikan Arab mereka  
berkunjung ke Paris. Kesempatan ini oleh TKW-TKW Indonesia ini dimanfaatkan 
untuk lari dari majikan mereka. Disamping itu, Koperasi kami juga pernah 
didatangi oleh mantan Legiun Asing [Légion Etrangère], sebuah batalion khusus 
tentara Perancis yang terdiri dari orang-orang asing. Semacam tentara bayaran. 
Anggota Legiun Asing asal Indonesia ini datang ke Koperasi atas dasar petunjuk 
KBRI Paris. Tentu saja kami tidak bisa menerima sembarang orang bekerja di 
Koperasi, sesuai dengan latar sejarah, visi dan misi koperasi nasional Perancis.
 
Sedangkan terhadap TKW-TKW yang ke Koperasi Restoran minta pertolongan,  
penanganan lebih  lanjut,  kami serahkan kepada organisasi Perancis "Lembaga 
Anti Perbudakan Modern". Organisasi kemanusiaan inilah yang selanjutnya 
menangani kasus mereka. Barangkali TKW-TKW angkatan pertama ini kemudian yang 
merupakan janin hadirnya kelompok TKW Indonesia di Paris yang jumlahnya masih 
belum diketahui dengan pasti. Sekali pun terdapat  peraturan-peraturan  ketat 
Sarkozy tentang masalah imigran, tapi tetap saja peraturan-peraturan tersebut  
tidak bisa menutup semua celah bagi kehadiran imigran gelap yang sejak lama 
mempunyai jaringan kuat mereka sendiri di berbagai negeri. Imigran-imigran 
gelap yang telah mendapat pekerjaan legal, membayar pajak ini kemudian disebut 
"les sans papiers" [orang-orang yang tak mempunyai kertas]. Les Sans Papiers 
ini sampai sekarang menimbulkan masalah politik tersendiri bagi pemerintah dan 
masyarakat. Untuk menghindar dari
 tangkapan dan pengusiran paksa, mereka sering menduduki gereja-gereja yang 
mempunyai kekebalan terhadap penyerbuan polisi. TKW-TKW Indonesia di Paris 
belum sampai ke tingkat begini. 
 
Saya duga, untuk mendapatkan kertas legalitas, mereka menikah dengan lelaki 
Perancis tanpa mengindahkan kelanggengan pernikahan itu atau melakukan "les 
marriages blanches" [kawin kertas, kawin putih]. 
 
Sebenarnya, jauh sebelum masalah TKW-TKI ini muncul jadi pembicaraan di 
masyarakat, Ashwab Mahasin alm. salah seorang pimpinan Majalah Ilmiah Indonesia 
"PRISMA", Jakarta, ketika berjumpa di New York pernah menganjurkan saya untuk 
melakukan suatu telaah ilmiah megenai soal ini. Oleh berbagai keterbatasan 
harapan Ashwab yang ternyata jeli dan jauh, tidak bisa saya lakukan. Tapi saya 
kira, persoalan dan usul yang Ashwab ajukan tetap relevan sampai sekarang.
 
***
 
Yang datang makan tanggal 10 Januari lalu, adalah kelompok TKW-TKW Indonesia 
yang tinggal di Paris guna merayakan ulangtahun salah seorang mereka sekaligus 
bermalm minggu bersama-sama di rumah Indonesia bernama Koperasi Restoran 
Indonesia yang mereka kenal lama. Mereka menari dan bernyanyi di ruang bawah 
yang khusus mereka blokir untuk keolompok mereka -- hal jamak terjadi di 
Koperasi kami. Teman-teman anggota Koperasi yang bekerja malam itu bergantian 
mendatangi menyalami serta berbincang dengan mereka. Berbagi kue-kue 
ulanngtahun yang mereka bawa.  Sementara anggota Koperasi yang sedang tidak 
tugas bekerja,  malah khusus datang membantu menyemaraki pertemuan ini sampai 
selesai. Setelah selesai pertemuan , beberapa mereka turut dengan sukarela 
membersihkan dan menata kembali ruangan yang mereka pakai. Saya berkesan bahwa 
mereka merasa "di rumah" berada di Koperasi.  
 
Mengapa tidak? Dalam rapat Koperasi pernah disepakati bahwa Koperasi 
seniscayanya memperlakukan orang Indonesia secara lain. Jangan sampai terkesan 
bahwa Koperasi hanya menjadi memburu uang lupa orang sebangsa dan tanahair.
 
Saban naik dari ruang bawah dan masuk dapur, seorang perempuan muda, pekerja 
Koperasi, mahasiswi Akademi Musik di Paris, tersenyam-senyum berkata "Pantura, 
Bu. Ada Pantura di Koperasi kita", ujarnya pada salah teman-teman perempuan 
yang bekerja di dapur. Mendengar kata "pantura" ini secara bolak-balik dengan 
senyum, saya akhirnya bertanya:
 
"Apa sih pantura dan pantura saja dari tadi?"
 
"Kakek ini nggak tahu pantura ya? Ah keterlaluan ah Kakek ini", ujar 
Nana,mahasiswi Akademi Musik itu.
 
"Ya, nggak keterlaluan. Wong orang tidak tahu. Tidak tahu bukan kesalahan 
apalagi Kakek kan bertanya ingin tahu", jawabku. Teman-teman biasa mendengar 
cara menjawabku dan cara jawab ini pun menular kepada yang muda-muda dalam 
berbahasa. Mereka terkesan lebih cermat menggunakan kosakata dan menyusun 
kalimat dibandingkan dengan hari-hari pertama mereka bergabung di Koperasi.
 
"Dengar ya, Kek ya", Nana mulai menjelaskannya.
 
"Pantura itu singkatan dari pantai utara. Sebuah jalur bus jarak jauh di pantai 
utara Jawa. Untuk melepaskan lelah sejenak, biasanya mereka singgah di sebuah 
warung remang-remang di bawah alunan musik tertentu. Lirik lagu-lagu Oma 
Irama sangat populer di kalangan mereka. Di warung ini mereka menyanyi dan 
menari melepaskan ketegangan dan kelelahan perjalanan jarak jauh. Mereka 
mempunyai kelompok-kelompok sendiri. Nana pernah menelaah soal ini waktu di 
Indonesia. Kalau Kakek melihat di pintu belakang truk, kendaraan, misalnya 
kata-kata seperti "Papah jarang pulang, Mama kawin lagi" atau "Kutunggu 
jandamu",  nah itu dia, nama kelompok-kelompok mereka. Biasanya didampingi oleh 
foto-foto perempuan berpenampilan sexy. Barangkali perempuan yang dilukiskan 
itu adalah kekasih Pak Sopir", lanjut Nana.
 
"Oooo, jelas sekarang. Kakek ingat sekarang bahwa sering melihat kata-kata 
demikian di buritan truk dan kendaraan-kendaraan besar. Kakek memang 
tertegun-tegun membacanya dan berpikir. Tahu mengapa? Mengapa mengesankan?".
 
"Mengapa, Kek?" tanya Nana.
 
"Kalimat-kalimat itu pasti mencerminkan realita. Selain itu, kalimat-kalimat 
itu mengungkapkan suatu romantika, kerinduan, harapan yang tak tercapai tapi 
membekas di hati sebagai kenangan tak terpupus. Lebih dari itu, terselip 
keberanian menertawakan diri dan kehidupan mereka yang keras yang berjalan 
berdampingan dengan ajal. Karena itu ada kata-kata "Kutunggu jandamu".
 
"Begitu ya Kek?"
 
"Ya. Kata-kata dan lukisan buritan kendaraan itu adalah suatu bentuk kesenian 
pada pengendara. Juga musik yang kau sebut sebagai pantura tadi. Artinya 
sastra-seni itu bagian dari kehidupan dan diperlukan kehidupan ". 
 
"Kau tahu dangdut kan?"
 
"Ya. Ada apa dengan dangdut, Kek".
 
"Dangdut dan filem-filem layar tancap tadinya jamak didengar di daerah lampu 
merah seperti misalnya di Pasar Kembang kalau di Yogya. Dangdut kemudian diolah 
dan diangkat oleh musisi kita seperti halnya musisi-musisi mengangkat jazz 
jalanan ke tingkat lebih tinggi. Perkembangan beginilah yang oleh orang Lekra 
dulu dinamakan jalan "meluas dan meninggi" sebagai jalaran mengembangkan 
kesenian. Contoh lain dalam bidang sastra".
 
"Gimana itu, Kek?"
 
"Kau pernah ke pasar atau berangkat dengan kapal ke pulau lain di tanahair?
 
"Ke pasar sudah, menggunakan kapal belum".
 
"Sebelum masuk kapal biasanya kita menunggu di ruang tunggu pelabuhan. Kita 
ditawari buku-buku cerita yang orang bilang porno. Misalnya karya Freddy. Pola 
ceritanya sama, kurang bervariasi walau pun ada selipan-selipan soal politik, 
sosial  dan ekonomi. Kakek tidak merendahkan novel-novel jenis ini.Kakek pernah 
mengoleksinya sebagai bahan telaah. Kakek anggap ini bentuk sastra yang 
dilahirkan oleh lapisan masyarakat tertentu. Dijual dengan harga sangat 
terjangkau oleh lapisan masyarakat tersebut. Pantura, musik dan budaya pantura, 
Kakek kira perlu dilihat pada proporsinya.  Adanya pantura di Koperasi kita 
malam ini , Kakek anggap justru suatu penghargaan pada kita. Kita dipandang 
sebagai bagian dari mereka.Keluarga mereka. Koperasi mereka rasakan sebagai 
Rumah Indonesia mereka. Pantura adalah suatu gejala permukaan. Hadirnya TKW-TKW 
ke mari pun hanyalah gejala dari sesuatu yang hakiki."
 
Nana tersenyum dan nampak berpikir. 
 
"Dapur khoq jadi tempat kuliah dan diskusi sastra-seni dan politik", gumam 
seorang teman perempuan.
 
"Ibu ini gimana sih. Kan sejak lama" , ujar Nana. Semua yang mendengar 
mesam-mesem sendiri
meneruskan pekerjaan masing-masing.
 
"Yuk, bobo sekarang, besok lagi ayah cerita", ujar ibu anak-anakku sambil 
menggendong yang terkecil ke ranjang diikuti oleh abangnya. Pipi mereka kucium 
bergantian mengucapkan selamat malam.***
 
Toddopuli, 2009
---------------------
JJ.Kusni


      Get your preferred Email name!
Now you can @ymail.com and @rocketmail.com
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

Kirim email ke