Kronik Sairara: 
 
 
"PERLUNYA 'FORUM KEBUDAYAAN INDONESIA'" 
 
1.
  
Pada tanggal 23 Juni 2008, melalui milis artculturindonesia @yahoogroups.com ,  
Luluk Sumiarso menyiarkan tulisan  berikut:
 
"Teman2 yang Peduli Budaya,

Tentu kita tergelitik dgn berbagai tulisan yang dimuat Kompas Minggu tgl 22 
Juni 2008 yang menyangkut kebudayaan Indonesia, utamanya yang berjudul "Secara 
Kultural   Kita Sedang Kalah",   tulisan Frans Sartono yang mengulas pendapat 
Saini KM, yang budayawan, penyair, penulis drama, penulis esai yang 
memprihatinkan budaya bangsanya yang tengah jatuh dan kehilangan arah. ' 
....Karena dalam gelombang globalisasi, bangsa yang tidak punya karakter akan 
lenyap....', kata Saini.

Saya berpendapat bahwa kita perlu mempunyai Visi Budaya yang jelas yang dipakai 
sebagai arah perjalanan (budaya) bangsa kita. Kelihatannya selama ini kita 
sibuk dan jalan sendiri-sendiri,  masing-masing  mungkin baik, tetapi kita 
kurang bersinergi. Meminjam judul sebuah sinetron terkenal, "Ibarat Serpihah 
Mutiara Retak". Beberapa kalangan bahkan ada yang mengartikan dan meredusir 
seolah budaya itu hanyalah sebatas Seni-Budaya. Padahal unsur budaya lebih dari 
itu, mencakup pula antara lain adat istiadat dan bahkan teknologi. Hasil proses 
budaya inilah yang akan berupa peradaban suatu bangsa.

Terus terang, saya bukan budayawan dan juga bukan pelaku industri budaya. Saya 
hanyalah satu diantara mereka-mereka yang peduli budaya bangsanya dan 
menggiatkan kegiatan budaya, khususnya budaya tradisional. Tahun lalu, tepatnya 
tanggal 5 Juli 2007 di Balai Kartini, Jakarta, kami bersama Lintas Budaya 
Nusantara dan Media Grup menyelenggarakan Sarasehan Budaya dalam rangka 
memperingati Kongres Kebudayaan Pertama yang diselenggarakan di Solo tanggal 5 
Juli 1918, sepuluh tahun setelah lahirnya Boedi Oetomo. Konggres ini , walaupun 
pada tahap awal merupakan Konggres Kebudayaan Jawa, tetapi kemudian diperluas 
menjadi Kongres Kebudayaan Nasional pada tahun-tahun, yang kemudian berujung 
juga dengan diselenggarakannya Sumpah Pemuda 10 tahun kemudian. Sarasehean 
dibuka oleh menbudpar Jero Wacik , menampilkan pembicara antara lain Dr. Edi 
Sedyawati, Jakob Oetama dan Christine Hakim. Salah satu butir kesimpulan adalah 
perlunya dibentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia'
 untuk menggalang semua potensi budaya bangsa, tanpa harus mengilangkan 
identitas masing-masing.

Untuk itulah, memanfaatkan momentum yang tepat, yaitu 100 Tahun Kebangkitan 
Nasional, 90 Tahun Konggres Kebudayaan Pertama dan 80 Tahun Sumpah Pemuda, kami 
bersama beberapa tokoh budaya dan mereka-mereka yang peduli budaya, akan 
membentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia" pada tanggal 5 Juli 2008 pukul 
10.00.Tempatnya adalah di Studio Radio Republik Indonesia, jalan Merdeka Barat 
Jakarta. Forum ini adalah Non-Politik, akan dipakai sebagai sarana komunikasi 
semua unsur budaya, tanpa mengurangi/meredusir identitas peran masing-masing, 
juga untuk membantu pemikiran-pemikiran mengenai visi budaya bangsa Indonesia 
ke depan. Harapanya, ke depan 'forum' ini dapat berkembang menjadi 'semacam 
KONI' untuk Kebudayaan Nasional Indonesia. 
 
Mohon email ini disebarkan ke teman-teman yang perduli budaya. Karena tempat 
terbatas, teman-teman yang berminat mohon mendaftar ke pedulimajapahit@ 
gmail.com

Mudah-mudahan forum ini bermanfaat.

Jakarta, 24 Juni 2008

Salam Budaya
Luluk Sumiarso
Pembina Paguyuban Puspo Budoyo/
Ketua Yayasan Peduli Majapahit 
 
Beberapa soal yang ingin saya angkat dari tulisan ini adalah masalah yang 
diangkat oleh Frans Sartono [Kompas Minggu, 22 Juni 2008]  yang mengatakan 
bahwa "Secara Kultural Kita Sedang Kalah" yang oleh  Saini KM, yang budayawan, 
penyair, penulis drama, penulis esai yang memprihatinkan budaya bangsanya yang 
tengah jatuh dan kehilangan arah. ' ....Karena dalam gelombang globalisasi, 
bangsa yang tidak punya karakter akan lenyap....'. 
 
Soal lain adalah masalah perlunya kita "mempunyai Visi Kebudayaan  yang jelas 
yang dipakai sebagai arah perjalanan (budaya) bangsa kita. Kelihatannya selama 
ini kita sibuk dan jalan sendiri-sendiri,  masing-masing  mungkin baik, tetapi 
kita kurang bersinergi. Meminjam judul sebuah sinetron terkenal, "Ibarat 
Serpihah Mutiara Retak". Beberapa kalangan bahkan ada yang mengartikan dan 
meredusir seolah budaya itu hanyalah sebatas Seni-Budaya. Padahal unsur budaya 
lebih dari itu, mencakup pula antara lain adat istiadat dan bahkan teknologi. 
Hasil proses budaya inilah yang akan berupa peradaban suatu bangsa".
 
Lalu atas dasar tersebut, Luluk Sumiarso mengusulkan pembentukan  "Forum 
Kebudayaan Indonesia" berangkat dari hasil Sarasehan Budaya 5 Juli 2007 di 
Balai Kartini Jakarta yang diselenggarakan oleh Grup Luluk Sumiarso bersama  
Lintas Budaya Nusantara dan Media Grup  dalam rangka memperingati Kongres 
Kebudayaan Pertama yang diselenggarakan di Solo tanggal 5 Juli 1918, sepuluh 
tahun setelah lahirnya Boedi Oetomo.  Direncanakan Forum Kebudayaan Indonesia 
ini akan dibentuk pada 5 Juli 2008 pukul 10.00.Tempatnya adalah di Studio Radio 
Republik Indonesia, jalan Merdeka Barat Jakarta. Forum ini adalah Non-Politik, 
akan dipakai sebagai sarana komunikasi semua unsur budaya, tanpa 
mengurangi/meredusir identitas peran masing-masing, juga untuk membantu 
pemikiran-pemikiran mengenai visi budaya bangsa Indonesia ke depan. Harapannya, 
ke depan 'forum' ini dapat berkembang menjadi 'semacam KONI' untuk Kebudayaan 
Nasional Indonesia. 
 
 
"KALAH SECARA KULTURAL" 
 
 
Tentang soal ini, saya jadi teringat akan apa yang dilakukan oleh kolonialis 
Belanda untik menduduki Tanah Dayak. Pertama-tama Belanda melakukan agresi 
kebudayaan untuk menghancurkan kebudayaan Dayak dengan mengatakan bahwa 
"Dajakers" adalah lambang segala kejahatan dan keburukan, lalu melancarkan 
politik "ragi usang"  yang mengatakan bahwa kebudayaan Dayak adalah tidak lain 
dari "ragi usang" yang harus dicampakkan dan diganti dengan kebudayaan baru.  
Penyebaran kebudayaan baru ini disebut  sebagai misi suci" [la mission sacrée] 
dan ditopang secara teori oleh para antropolog mereka.   
 
Praktek begini melalui lembaga kebudayaan Sticusa,  kemudian dilanjutkan ketika 
anak negeri dan bangsa ini berjuang membela dan mempertahankan  Republik 
Indonesia yang baru diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 dengan menyebarkan ide 
"humanisme universal" [ide ini sebenarnya mempunyai berbagai penafsiran],  
berintikan bahwa karena semua anak manusia maka tak ada lawan dan kawan. 
Semuanya anak manusia. Ide ini kemudian  memecah barisan sastrawan dan seniman 
Indonesia. 
 
Apabila agresi kebudayaan ini berhasil maka pihak agresor tidak perlu lagi 
melancarkan agresi militer karena dengan kemenangan agresi kebudayaan, mereka 
sudah berhasil menduduki wilayah, bangsa atau negeri tersebut. Karena itu 
setelah mengagresi Irak dan mendapat perlawanan sengit sampai sekarang dari 
rakyat Irak, George Bush Jr. dan panglima-panglima militernya   mengajukan 
teori yang disebut "merebut hati" menyusul teorinya "poros baik dan jahat", 
"poros diktatur dan demokrasi" atau hak mengetitervensi negeri lain atas nama 
HAM dari Bernard Kouschner , menlu Perancis sekarang.  
 
Untuk melawan politik agresi kebudayaan Belanda, orang Dayak berhimpun di 
sekitar budaya Kaharingan dan melakukan perlawanan. Sumpah Pemuda Oktober 1928, 
saya pahami sebagai salah satu bentuk perlawanan kebudayaan berbagai etnik di 
wilayah yang sekarang bernama Repulik Indonesia guna melawan politik kebudayaan 
"devide et impera" Belanda.  Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, selain 
kemenangan politik, saya kira juga merupakan kemenangan kebudayaan 
nasionalistik terhadap politik "devide et impera" ini. 
 
Contoh-contoh pergulatan di bidang kebudayaan antara agresor kebudayaan dan 
kaum nasionalis ini masih bisa kita pungut dari berbagai negeri di mana pun.  
Intinya tetap satu: sebelum melakukan agresi fisik, kaum penjajah terlebih 
dahulu melakukan agresi kebudayaan. Dan ketika mereka melancarkan agresi fisik, 
agresi kebudayaan tetap dilanjutkan karena sadar bahwa pendudukan fisik 
bukanlah penguasaan sesungguhnya. 
 
Menggunakan perbandingan pengalaman Tanah Dayak dan Sumpah Pemuda di atas, yang 
muncul di benak saya adalah pertanyaan seperti yang dikatakan oleh Frans 
Sartono: benarkah kita "Secara Kultural Kita Sedang Kalah"? Benarkah kita 
seperti yang dikatakan oleh Saini K.M: "tidak punya karakter di hadapan 
globalisasi" kapitalistik? [karena ada globalisasi model Porto Allegre yang 
juga disebut sebagai "Le Monde Alternante], jika menggunakan istilah bulanan 
Perancis Le Monde Diplomatique, yang barangkali merupakan pengembangan dari ide 
"non-aligne] dan Dunia Ketiga]. Untuk lebih memahami agresi kebudayaan ini 
barangkali akan berguna jika menggunakan peta stasiun internet dan radio serta 
tekhnologi canggih yang dibuat oleh Majalah Science Sociale, Paris. Dari peta 
ini kita bisa melihat bagaimana Amerika Serikat menempatkan pusat-pusat stasiun 
tekhnologi canggihnya guna menjangkau semua negeri di dunia dalam usaha 
menyebarkan budaya Amerika. [Di sini saya tidak
 memasuki bagaimana sementara Eropa Barat melakukan perlawanan terhadap agresi 
kebudayaan Amerika Serikat].
 
Bagaimana dengan negeri kita? Secara kebudayaan, bagaimana perlawanan kita? 
Benarkah kita "secara kebudayaan sedang kalah"? 
 
Barangkali ketika membicarakan masalah ini, niscayanya kita melihat periode 
demi periode. Minim dua periode, yaitu periode pemerintahan Bung Karno dan 
Orba. 
 
Pada periode pemerintah Soekarno, politik berkepribadian nasional secara tandas 
dan jelas tetapkan sebaga politik kebudayaan nasional [tanpa memasuki 
kekurangan dan kekeliruannya]. Sedangkan pada periode Orba Soeharto, ketegasan 
ini tidak ada bahkan secara kebudayaan , apalagi politik dan ekonomi,  
Indonesia sebenarnya tidak lain dari negeri jajahan model baru Amerika Serikat. 
Pendidikan kita sangat berorientasi  Amerika. Sementara itu,  Soeharto mengobah 
Republik dan Indonesia menjadi sejenis imperium neo-feodal keluarga. Darat, 
laut dan udara mereka kangkangi. Sejak itu muncul istilah yang disebut KKN 
[korupsi, kolusi dan nepotisme] sebagai ciri negeri kita yang ujudnya masih 
kita lihat sampai sekarang. Keindonesiaan dirobah oleh Soeharto menjadi 
ketunggalan melalui Pancasila Soehartois dan politik kebudayaan Jawanisasi.  
Saya kira keadaan begini adalah keadaan kebudayaan dominan di negeri ini yang 
dampaknya dirasa hingga sekarang.  Jika asumsi
 ini salah,  mengapa negeri dan bangsa ini menjadi sakit dan begini lemah 
dilanda oleh krisis multi-dimensional tanpa henti? Jika asumsi ini salah, apa 
lalu ujud perlawanan budaya yang dilakukan untuk melawan Amerikainsasi, 
Baratisasi tanpa kendali selama Orba Soeharto berkuasa ? Dampaknya bukan hanya 
terlihat di bidang kebudayaan tapi juga di berbagai bidang. Karena itu, saya  
pribadi, cenderung menggarisbawahi pernyataan Frans Sartono  bahwa "Secara 
Kultural Kita Sedang Kalah" .  Suatu garis bawah yang bisa dirinci  hingga ke 
bidang sastra, misalnya. Saya juga prihatin pada canang Saini KM bahwa ".... 
dalam gelombang globalisasi, bangsa yang tidak punya karakter akan 
lenyap....'.  Akankah benar-benar Indonesia menjadi bangsa yang tidak punya dan 
memang tak punya karakter dan kemudian akan lenyap dalam gelombang globalisasi 
kapitalis? 
 
Sebuah pertanyaan cinta pada bangsa dan negeri ini, cinta pada Republik dan 
Indonesia sebagai sebuah cita-cita yang saya anggap bisa menjadi tempat di mana 
kita masih bisa berharap. ***
 
 
Paris, Juni 2008
---------------------- 
JJ.Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris. 
 
 
[Bersambung.....]


      ______________________________________________________________________
Search, browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel.
http://sg.travel.yahoo.com

Kirim email ke