Kronik Sairara: 
 
 
2.
 
 
VISI KEBUDAYAAN:
 
 
Soal lain adalah masalah perlunya kita "mempunyai Visi Kebudayaan  yang jelas 
yang dipakai sebagai arah perjalanan (budaya) bangsa kita. Kelihatannya selama 
ini kita sibuk dan jalan sendiri-sendiri,  masing-masing  mungkin baik, tetapi 
kita kurang bersinergi. Meminjam judul sebuah sinetron terkenal, "Ibarat 
Serpihan  Mutiara Retak". Beberapa kalangan bahkan ada yang mengartikan dan 
meredusir seolah budaya itu hanyalah sebatas Seni-Budaya. Padahal unsur budaya 
lebih dari itu, mencakup pula antara lain adat istiadat dan bahkan teknologi. 
Hasil proses budaya inilah yang akan berupa peradaban suatu bangsa", demikian 
tulis Saudara Luluk Sumiarso.
 
Pertanyaan saya: Apakah selama ini, kita tidak "mempunyai visi kebudayaan 
nasional yang jelas yang dipakai sebagai arah perjalanan [budaya] bangsa kita"? 
 
Jawaban pertanyaan ini barangkali bisa didapat jika kita melihat sejarah 
perkemangan Republik Indonesia dari periode ke periode berdasarkan siapa yang 
menjadi pemegang kekuasaan politik di negeri ini. 
 
Periode Soekarno agaknya bisa dipilah dalam dua tahap, yaitu periode demokrasi 
parlementer, di mana presiden tidak menjadi penyelenggara negara, tapi lebih 
menjadi simbol. Periode ini berlangsung sampai 1959 menyusul kegagalan Sidang 
Konstituante di Bandung, sehingga Soekarno mengunakan kedudukannya sebagai 
Kepala Negara mengumumkan "kembali ke UUD 1945" dan mengawali Demokrasi 
Terpimpin-nya serta presiden langsung bertanggungjawab atas penyelenggaraan 
negara sampai pada 1966, ketika ia dijatuhkan.  
 
Seperti sudah menjadi pengetahuan umum, setelah Soekarno dijatuhkan maka 
Soeharto dengan Orbanya naik ke panggung kekuasaan hingga 1998, lalu 
dilanjutkan oleh Habibie, Gus Dur, Megawati dan sekarang oleh Susilo Bambang 
Yudhoyono [SBY]. 
 
Kalau masalah pendidikan yang menggambarkan corak manusia Indonesia yang 
diinginkan oleh  RI , serta menelaah ulang konsep Pancasila [bukan Pancasila 
Orba Soeharto!] dan pasal khususnya tentang masalah kebudayaan Indonesia, saya 
kira  pada periode demokrasi parlementer, RI mempunyai visi kebudayaannya. Visi 
ini [lepas dari kita setuju atau tidak] lebih jelas lagi pada periode Demokrasi 
Terpimpin yang mula-mula dituangkan dalam Manipol,  kemudian dijadikan arahan 
bagi kegiatan nasional di bidang kebudayaan. Orientasi itu  menginginkan agar 
kebudayaan kita mempunyai kepribadian nasional.  
 
Visi ini menjadi tidak jelas begitu Orba Soeharto mengendalikan negeri. Yang 
nampak di daerah-daerah adalah adanya gejala Jawanisasi feodal [yang di sini 
rinciannya tidak saya masuki]. Rasa dan semangat republiken dan 
berkeindonesiaan kemudian merosot dan makin merosot yang ujudnya sampai 
sekarang masih nampak. 
 
Dari paparan sangat singkat di atas, kiranya bisa nampak bahwa sesungguhnya 
secara visi, kita sudah mempunyai visi kebudayaan yaitu yang bersifat 
republiken dan berkeindonesiaan. Visi tersebut, kiranya, tidak lain dari 
republik dan berkeindonesiaan karena saya memandang republik dan 
berkeindonesiaan adalah suatu visi dan program kebudayaan sekaligus. 
 
 
Ketika Saudara   Luluk Sumiarso mengatakan  "bahwa kita perlu mempunyai Visi 
Budaya yang jelas yang dipakai sebagai arah perjalanan (budaya) bangsa kita. 
Kelihatannya selama ini kita sibuk dan jalan sendiri-sendiri,  masing-masing  
mungkin baik, tetapi kita kurang bersinergi. Meminjam judul sebuah sinetron 
terkenal, "Ibarat Serpihah Mutiara Retak", terkesan pada saya seakan-akan kita 
tidak "mempunyai Visi Budaya yang jelas yang dipakai sebagai arah perjalanan 
[budaya] bangsa kita". Lain halnya jika Saudara Luluk Sumiarso dari Pembina 
Paguyuban Puspo Budoyo/ Ketua Yayasan Peduli Majapahit, memandang bahwa 
Republik dan Indonesia bukan sebuah visi budaya dan bukan politik kebudayaan 
sekaligus. 
 
Konstatasi Saudara Luluk Sumiarso barangkali bisa dipahami sebagai lukisan 
keadaan sekarang, tapi tidak berarti bahwa kita yang mengakui dan menerima 
Republik dan Indonesia sebagai sebuah cita-cita, tidak mempunyai visi budaya. 
Konstatasi Saudara Luluk Sumiarso jika demikian, bisa dipandang sebagai 
pernyataan bahwa sekarang kita tidak mengindahkan republik dan Indonesia 
sebagai visi dan politik kebudayaan. Jika benar demikian, maka masalahnya, 
apabila kita sepakat dengan republik dan Indonesia sebagai rangkaian nilai, 
visi dan politik kebudayaan, mengapa tidak kita kembali melaksanakannya? Jadi 
bukan mencari visi dan politik kebudayaan baru karena kita sudah mempunyainya 
tapi kita tidak indahkan saja seperti halnya OrbaSoeharto memerosokan RI 
menjadi sebuah imperium feodal keluarga. Konstatasi Saudara Luluk  Sumiarso 
bisa dipahami juga sebagai bias dari pemerotan Republik dan Indonesia menjadi 
imperium feodal keluarga itu yang dampaknya nampak sampai
 sekarang.  Apakah tidak demikian? Secara formal negara ini masih berbentuk 
Republik dan negeri ini masih menggunakan nama Indonesia, tapi pada 
kenyataannya Republik dan Indonesia sebagai cita-cita masih sedang menjadi dan 
sedang terus diujudkan. Barangkali keadaan demikian salaah satu faktor untuk 
memahami apa yang dikonstatasi oleh Saudara Luluk Sumiarso. Jika tidak, maka 
ada baiknya kita mendengar tawaran visi budaya baru dari Saudara Luluk Sumiarso 
selain dari visi Republik dan Indonesia.  ***
 
 
Paris, Juni 2008
-----------------------
JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris.
 
[Bersambung.....] 
 
 
LAMPIRAN:
 

Pada tanggal 23 Juni 2008, melalui milis artculturindonesia @yahoogroups.com ,  
Luluk Sumiarso menyiarkan tulisan  berikut:
 
"Teman2 yang Peduli Budaya,

Tentu kita tergelitik dgn berbagai tulisan yang dimuat Kompas Minggu tgl 22 
Juni 2008 yang menyangkut kebudayaan Indonesia, utamanya yang berjudul "Secara 
Kultural   Kita Sedang Kalah",   tulisan Frans Sartono yang mengulas pendapat 
Saini KM, yang budayawan, penyair, penulis drama, penulis esai yang 
memprihatinkan budaya bangsanya yang tengah jatuh dan kehilangan arah. ' 
....Karena dalam gelombang globalisasi, bangsa yang tidak punya karakter akan 
lenyap....', kata Saini.

Saya berpendapat bahwa kita perlu mempunyai Visi Budaya yang jelas yang dipakai 
sebagai arah perjalanan (budaya) bangsa kita. Kelihatannya selama ini kita 
sibuk dan jalan sendiri-sendiri,  masing-masing  mungkin baik, tetapi kita 
kurang bersinergi. Meminjam judul sebuah sinetron terkenal, "Ibarat Serpihah 
Mutiara Retak". Beberapa kalangan bahkan ada yang mengartikan dan meredusir 
seolah budaya itu hanyalah sebatas Seni-Budaya. Padahal unsur budaya lebih dari 
itu, mencakup pula antara lain adat istiadat dan bahkan teknologi. Hasil proses 
budaya inilah yang akan berupa peradaban suatu bangsa.

Terus terang, saya bukan budayawan dan juga bukan pelaku industri budaya. Saya 
hanyalah satu diantara mereka-mereka yang peduli budaya bangsanya dan 
menggiatkan kegiatan budaya, khususnya budaya tradisional. Tahun lalu, tepatnya 
tanggal 5 Juli 2007 di Balai Kartini, Jakarta, kami bersama Lintas Budaya 
Nusantara dan Media Grup menyelenggarakan Sarasehan Budaya dalam rangka 
memperingati Kongres Kebudayaan Pertama yang diselenggarakan di Solo tanggal 5 
Juli 1918, sepuluh tahun setelah lahirnya Boedi Oetomo. Konggres ini , walaupun 
pada tahap awal merupakan Konggres Kebudayaan Jawa, tetapi kemudian diperluas 
menjadi Kongres Kebudayaan Nasional pada tahun-tahun, yang kemudian berujung 
juga dengan diselenggarakannya Sumpah Pemuda 10 tahun kemudian. Sarasehean 
dibuka oleh menbudpar Jero Wacik , menampilkan pembicara antara lain Dr. Edi 
Sedyawati, Jakob Oetama dan Christine Hakim. Salah satu butir kesimpulan adalah 
perlunya dibentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia'
 untuk menggalang semua potensi budaya bangsa, tanpa harus mengilangkan 
identitas masing-masing.

Untuk itulah, memanfaatkan momentum yang tepat, yaitu 100 Tahun Kebangkitan 
Nasional, 90 Tahun Konggres Kebudayaan Pertama dan 80 Tahun Sumpah Pemuda, kami 
bersama beberapa tokoh budaya dan mereka-mereka yang peduli budaya, akan 
membentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia" pada tanggal 5 Juli 2008 pukul 
10.00.Tempatnya adalah di Studio Radio Republik Indonesia, jalan Merdeka Barat 
Jakarta. Forum ini adalah Non-Politik, akan dipakai sebagai sarana komunikasi 
semua unsur budaya, tanpa mengurangi/meredusir identitas peran masing-masing, 
juga untuk membantu pemikiran-pemikiran mengenai visi budaya bangsa Indonesia 
ke depan. Harapanya, ke depan 'forum' ini dapat berkembang menjadi 'semacam 
KONI' untuk Kebudayaan Nasional Indonesia. 
 
Mohon email ini disebarkan ke teman-teman yang perduli budaya. Karena tempat 
terbatas, teman-teman yang berminat mohon mendaftar ke pedulimajapahit@ 
gmail.com

Mudah-mudahan forum ini bermanfaat.

Jakarta, 24 Juni 2008

Salam Budaya
Luluk Sumiarso
Pembina Paguyuban Puspo Budoyo/
Ketua Yayasan Peduli Majapahit 


      New Email names for you! 
Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail. 
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

Kirim email ke