hersri setiawan

  
Membangun Kedaulatan Kebudayaan Rakyat*
 
  
1.  Kebudayaan bukan Anak-Bawang Kehidupan 
  
Walaupun kata benda “kebudayaan” atau “budaya” selalu disebut paling akhir 
dalam urutan pasangannya, politik-ekonomi- kebudayaan (di jaman penataran 
Suharto dulu dikenal istilah “ipeloksesbud” ), tapi tidak bisa dipungkiri bahwa 
peranan kebudayaan tidak lebih kecil atau lebih rendah dari kata-kata 
pasangannya itu. 
  
Contoh: (a) menyadari kekalahannya di Indonesia, Belanda (1950) segera berusaha 
merebut kembali jajahannya yang hilang dengan jalan ‘penetration pacifique’ 
dalam bentuk Sticusa dan MMB (Misi Militer Belanda); (b) Gang-4 Ziang Chin 
mencoba mempertahankan RRT melalui “Revolusi Kebudayaan”. Tapi kedua-duanya 
gagal. Yang pertama karena perlawanan rakyat, yang kedua  karena terlambat 
diintrodusir. 
  
Rejim militer Orba Indonesia dbp Jendral Suharto lebih cerdik dan pandai 
menangkap dan memanfaatkan momentum. Segera sesudah jenasah lima jendral dan 
satu perwira pertama dimakamkan, ketika tanah kubur masih merah dan emosi masih 
teraduk-aduk, segera dilakukan berbagai manuver kebudayaan yang jitu, antara 
lain (a) Uril (Urusan Moril) di departemen AD diperluas bidangnya dengan 
mengambil model dan peranan Lekra; (b) Pepadi, organisasi pedalangan, dikuasai 
dan diserahkan kepemimpinannya bukan pada Ki Dalang Nartosabdo atau dalang 
lainnya, tapi pada seorang Jendral Sudjono Humardani; (c) menghancurkan 
simbol-simbol budaya lama dan membangun yang baru – paling mencolok dalam 
contoh ini dihitamkannya nama Jameela Aljazair , simbol kebangkitan dan 
perlawanan rakyat Asia-Afrika (lagu komposisi Mochtar Embut), dihancurkan dan 
diganti dengan Jamilah pekerja seks Ps Senin yang konon “penari harumbunga”. 
  
2.  Sikon Kebudayaan Indonesia Pasca-G30S-65 
  
Sesudah '65, kebudayaan menjadi milik penguasa, kaum modal dan para elite. 
Situasi dan kondisi semacam itu sebenarnya masih terus berlangsung sampai 
sekarang. Timbul alienasi antara kebudayaan di satu pihak dengan rakyat di lain 
pihak, karena rakyat sudah tidak lagi “the owner”, juga bukan “the partner”, 
melainkan sudah menjadi samasekali “the other” – “liyan” (Jawa) “yang lain” 
(Indonesia).  Pemikiran ini barangkali juga melanda sementara para cendekiawan, 
budayawan, dan aktivis LSM, mereka tampil seakan-akan punya mandat untuk 
mewakili rakyat merumuskan kebudayaan. Tanpa pernah merumuskan terlebih dahulu 
apa itu “kebudayaan” dan apa itu “rakyat”. 
  
Kebudayaan rakyat atau kebudayaan yang berasal dari rakyat pun lalu dianggap 
sebagai "liyan”, atau “lain" atau "the other". Sadar atau tidak sadar pemikiran 
kebudayaan yang ekslusif ini dan kadang dengan mengatasnamakan “kebudayaan 
kiri” itu (apa itu “kiri” dan “kanan”?), justru mendukung penguasa dan modal 
untuk tidak memperhatikan kebudayaan rakyat. Padahal dahulu, tepatnya tahun 
1960 di depan Kongres Nasional Lekra di Taman Sri Wedari Solo, Presiden 
Soekarno menegaskan, bahwa kebudayaan harus untuk rakyat dan dari rakyat. Lebih 
tegas ia dari Lekra yang berkredo “kebudayaan (untuk) rakyat”.  Bung Karno 
sangat benar. Karena jika hanya “untuk”, maka berarti menempatkan rakyat 
sekedar sebagai obyek. Tapi jika “dari” dan “untuk”, maka rakyat ialah subjek 
dan sekaligus objek. Ia samasekali bukan “liyan” (other) atau “rekan” 
(partner), tapi dialah si Empunya (the Owner). 
  
Dengan demikian, jika mengamati sikon kebudayaan dewasa ini, sejatinya ternyata 
telah terjadi perubahan isi dan/atau pergantian nilai-nilai budaya. Isi dan 
nilai budaya “the leisure class” lalu menjadi isi dan nilai budaya bangsa. 
Tidak salah sebenarnya pendapat kaum marxis ketika mengatakan, bahwa 
“kebudayaan suatu bangsa ialah kebudayaan klas yang berkuasa”. Sedemikian rupa 
pergantian nilai atau perubahan isi budaya itu, sampai berdampak pada 
pemiskinan sekaligus pendangkalan jatidiri kosakata. Misalnya, kata “aktor” dan 
“aktris” sekarang nyaris hilang karena terdesak oleh kata “artis” yang rancu 
arti dengan “selebritis”.  Padahal “artis”, yaitu ahli seni atau 
seniman/seniwati, yang semestinya sebagai kata cakupan untuk “aktor” dan 
“aktris”, sekarang tinggal menjadi sesempit dan sedangkal kata “selebritis” 
alias “bintang”, yang lebih menunjuk pada penampilan (outer appearance) 
ketimbang isi atau bobot (inner
 value). Seniman atau seniwati susut nilai dan isinya tinggal menjadi sekedar 
“pelipur lara” atau, pinjam istilah Jacques Leclerc,  “kaum suka hibur” belaka. 
  
Tirani otoritarian bukan hanya terdedahkan dalam tindak kekerasan di dunia 
kasatmata, tapi bahkan juga berimbas pada dunia yang nirkasatmata, seperti 
dunia linguistik misalnya. Perhatikan saja dunia kosakata sport yang justru 
penuh dengan kata-kata yang samasekali tidak sportif! Misalnya: Rafael Nadal 
gebuk Federer, Jatim sabet tuan rumah, Rusia lumatkan Belanda ... dsb dst. 
  
3.  Kebudayaan Kuda Troya Tirani Modal 
  
Rezim militer Orde Baru Suharto bukan hanya kekejamannya saja yang menarik 
diamati. Tapi juga karena terbukti ia seorang dalang yang cerdik – atau kalau 
menjadi dalang terlalu pintar, maka setidaknya ia robot yang handal. Sesudah 
dengan efektif berhasil membersihkan kaum kiri, dimainkannya (atau 
dipermainkannya? ) kelompok ekonom muda Indonesia yang dikenal dalam sebutannya 
“Mafia Berkeley”. Kelompok inilah yang mengemban tugas rezim untuk menyusun 
blueprint pembangunan ekonomi masadepan Indonesia. Tentu saja kelompok ini 
bukan ibarat “bayi tiban” yang datang sekonyong-konyong tanpa diketahui dari 
mana asal-muasalnya. 
  
Kelompok Mafia Berkeley adalah bagian dari manuver kapital untuk mempersiapkan 
hegemoni kebudayaan, melalui pembangunana elemen-elemen kebudayaan dan kelompok 
yang akan menjadi alat untuk melancarkan ekspansi kebudayaan kapitalis. Mafia 
Berkeley sudah disiapkan sebagai bagian dari program yang dimulai tahun 1956 
dan didanai oleh Ford Foundation. Langsung atau tidak langsung, sadar atau 
tidak sadar, kebudayaan rakyat mati dilanda oleh kebudayaan ekonomi kapitalis 
dari kelompok Mafia Ekonomi ini. Kelompok ‘Manikebu’ dan media massa yang 
anti-Soekarno dan anti-gerakan kiri saat itu pasti tidak bisa dipisahkan dari 
strategi global kaum modal internasional. Dalam kerangka ini bisa ditambahkan 
banyak lagi, antara lain: politik “massa mengambang”, orpol-ormas dilarang 
masuk ke tingkat di bawah kabupaten, sambil sementara itu digalakkan “ABRI 
Masuk Desa”. Barangkali tidak bisa diabaikan juga dalam hubungan ini ialah 
politik “normalisasi kampus”
 Daoed Joesoef yang sambil memberlakukan NKK sekaligus melarang eksistensi Dema 
(Dewan Mahasiswa). 
  
Dengan demikian pengaruh tirani modal bukannya baru muncul sekedar sebagai 
kecenderungan saja, melainkan sudah merupakan bukti kasatmata, yaitu dengan 
dimatikannya elemen-elemen kebudayaan rakyat dan pendukungnya. Suara dan ruang 
hidup rakyat dimatikan, dan jeritnya yang lemah tinggal terdengar melalui suara 
sementara kaum budayawan, intelektual, dan aktivis LSM yang merasa peduli 
terhadap haridepan rakyat dan budayanya. Sekarang ini budaya leisure class yang 
tanpa akar itu melanda sampai ke pedesaan dan pegunungan, melalui produk-produk 
mutakhir teknologi. Budaya konsumtif yang sesaat dan tanpa ruh itu bukan hanya 
subur di mal-mal di kota besar saja, tapi juga sudah menyusup di pasar-pasar 
tradisional dan pasar desa yang nyaris tergusur “kemajuan jaman” . Ingatlah 
peristiwa ditukargulingkannya sebuah SMP di Pematang Siantar pada sebuah 
penguasa besar beberapa hari lalu.Kalau anak-anak itu berdemo tentu bukan 
karena mereka sontoloyo. Karena yang
 sontoloyo ialah orang-orang yang berkuasa itulah! 
  
4   Lalu bagaimana? 
  
Apa yang sekarang diperlukan ialah kebijakan pembangunan yang bisa menjamin 
masadepan yang adil, masuk-akal, dan demokratis. Itulah logika pembangunan. 
Pembangunan bukan untuk membantu beberapa gelintir orang menjadi kaya, 
membangun industri demi manfaat kaum elite, membukakan pintu ‘Sogo’ untuk orang 
kaya kota sambil mengabaikan kaum miskin di kampung dan pedesaan dalam 
kesengsaraan mereka. Pembangunan ialah masalah mengubah masyarakat, memperbaiki 
kehidupan si miskin, memungkinkan setiap orang untuk mempunyai kesempatan 
memperoleh sukses dan memperoleh akses untuk perawatan kesehatan dan 
pendidikan.    
  
            Sejalan dengan itu kebudayaan rakyat harus diberi tempat. Dalam hal 
ini peranan budayawan dan aktivis LSM menjadi tumpuan. Adapun caranya? Bung 
Yoshi dan kelompoknya di Yys Pondok Rakyat Yogya, dan Bung Ngurah Termana di 
Taman 65 Denpasar (tentu juga ada di daerah-daerah lain), telah memberi contoh. 
Antara lain dengan cara membuka “ruang negosiasi” antar-para pendukung 
kebudayaan, sehingga memori kolektif tentang kebudayaan rakyat setempat bisa 
dibangunkan, dan pemahaman bersama tentang persoalan kebudayaan yang aktual 
bisa dirumuskan bersama. 
  
Ruang negosiasi semacam itu memang harus dibuka sendiri atau “direbut”, dan 
tanpa menunggu kemudahan yang dikucurkan atau terkucur dari atas – yang tak 
lebih serba berupa remah-remah belaka: remah-remah kekuasaan politik (“pesta 
demokrasi”, misalnya), remah-remah kekuasaan ekonomi (Bantuan Langsung Tunai, 
misalnya), dan remah-remah kebudayaan (tontonan Indonesian Idol, misalnya). 
  
            Melalui “ruang negosiasi” itulah Ruh Kebudayaan Rakyat akan 
menemukan kembali jasad dan kekuatannya, raga dan dayanya. Jasad dan daya itu 
bisa terdapat di dalam lagu-lagu rakyat, dongeng-dongeng rakyat, 
ornamen-ornamen tradisional, dan berbagai kearifan lokal yang tak terbilang dan 
tak ternilai. 
            
Melalui “ruang negosiasi” kita juga bisa memerangi pembodohan dan pemiskinan 
rakyat, yang diakibatkan oleh kekuasaan kapital dan sistem yang anti-demokrasi; 
demikian juga bisa dicegah hilang-punahnya hasil budaya lokal, bahasa dan 
huruf. Berita punahnya tujuh bahasa lokal di Papua Barat belum lama ini, 
mestinya harus ditangkap sebagai “alarm budaya” yang mengerikan, dan bukan 
“disyukuri” karena memberi lahan subur untuk “bahasa persatuan”! Bahasa 
persatuan, bagaimanapun juga, di hadapan bahasa ibu, adalah bahasa asing. 
Bahasa-bahasa lokal atau suku justru harus dikembangkan, jika bahasa persatuan 
diinginkan agar tumbuh subur dan berakar kuat. Itulah maknanya wasiat kultural 
Empu Tantular “bhinneka tunggal ika”. 
  
            Melalui “ruang negosiasi” tentu juga akan cepat diketahui dan 
diatasi agar jangan sampai kecolongan lagi dan lagi, sesudah lagu Rasa Sayange 
dan Reyog Ponorogo!***  
  
*disampaikan pada Konperensi Warisan Otoritarianisme, Demokrasi dan Tirani 
Modal Asing, UI Depok 5 Agustus 2008
 
[Sumber: hersri setiawan [EMAIL PROTECTED], [HKSIS] Konperensi Demokrasi & 
Tirani Modal Asing , Tuesday, 5 August, 2008, 7:04 PM]


      New Email addresses available on Yahoo!
Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail. 
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

Kirim email ke