Assalamu'alaikum wa rahmatullohi wa barokatuh,
Bismillah, jazakumullohu khairan katsiro bagi Akhi Abu Abdillah atas
kiriman artikelnya. Sangat menarik memang untuk mengkritisi praktik
perbankan syariah yang ternyata (mungkin) belum sepenuhnya syar'i meskipun
diawasi oleh Dewan Penasehat Syariah di manajemennya dan Bank Indonesia-MUI
di tingkat nasional.
Selanjutnya, mohon bagi ikhwan yang berdomisili di Jogja atau yang
mengikuti Seminar Nasional "Masih Adakah Riba di Bank Syariah?" yang
diadakan di UIN Sunan Kalijaga Jogja pada tanggal 24 Oktober 2012 yang lalu
yang mana salah satu pembicaranya adalah Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri
MA untuk berbagi informasi bagaimana tanggapan praktisi dalam hal ini Prof.
Dr. Muhammad (Dewan Pakar Masyarakat Ekonomi Islam DIY) dan pihak
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia yang juga menjadi pembicara
dalam acara tersebut.
Syukron, wassalam,
Rizky
2012/3/28 Abu Abdillah
> **
>
>
> PRAKTIK RIBA MERAJALELA
> Oleh
> Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri MA
> http://almanhaj.or.id/content/3236/slash/0
>
> PENDAHULUAN
> Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Ta’ala. Shalawat dan salam
> semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
> sallam keluarga, dan sahabatnya. Amin
>
> Kehidupan umat manusia terus berjalan dinamis sesuai dengan perjalanan
> waktu dan kemajuan teknologi. Kondisi ini tentu mempengaruhi gaya hidup
> umat manusia dalam segala aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam hal
> bermaksiat. Karena itu, sudah sepantasnya bila anda mengenali kondisi dan
> fenomena yang terjadi disekitar anda. Dengan demikian, anda dapat mengambil
> yang positif dan menghidari yang buruk serta tidak terperangkap oleh bujuk
> rayu para penjajanya.
>
> Di antara bentuk kemaksiatan yang mengalami modernisasi pola dan
> aplikasinya ialah praktik riba. Biang kehancuran ekonomi umat ini telah
> dimodifikasi sedemikian rupa, sampai-sampai diyakini sebgai “pilar utama”
> perekonomian umat manusia. System riba yang bertumpu pada pertumbuhan mata
> uang tanpa dibarengi dengan perputaran barang dan jasa, di zaman sekarang
> diimani dan ditetapkan di seluruh penjuru dunia. Sebab itu, wajar bila
> ekonomi dunia saat ini rapuh namun kejam. Yang kuat memakan yang lemah
> sehingga yang lemah semakin bertambah lemah.
>
> Untuk menumbuhkan kewaspadaan terhadap ancaman riba, melalui tulisan ini
> kami berupaya utuk mengupas beberapa praktik riba yang telah merajalela dan
> mengalami modernisasi. Harapan kami, anda semakin waspada dan tidak
> terperdaya dengan sebutan dan berbagai propaganda manisnya.
>
> PRAKTIK PERTAMA : KREDIT SEGITIGA
> Praktik riba berupa piutang yang mendatangkan keuntungan sering kali
> dikemas dalam bentuk jual beli walaupun sejatinya jual beli yang terjadi
> hanyalah kamuflase belaka. Di antara bentuk kamuflase riba dalam bentuk
> jual beli ialah dalam bentuk perkreditan yang melibatkan tiga pihak :
> pemilik barang, pembeli dan pihak pembiayaan.
>
> Pihak pertama sebagai pemilik barang mengesankan bahwa ia telah menjual
> barang kepada pihak kedua, sebagai pemilik uang dengan pembayaran tunai.
> Selanjutnya pembeli menjualnya kepada pihak ketiga dengan pembayaran
> diangsur, dan tentunya dengan harga jual lebih tinggi dari harga jual
> pertama.
> Sekilas ini adalah jual beli biasa, namun sejatinya tidak demikian.
> Sebagai buktinya :
>
> • Barang tidak berpindah kepemilikan dari penjual pertama.
> • Bahkan barang juga tidak berpindah tempat dari penjual pertama
> • Segala tuntutan yang berkaitan dengan cacat barang, penjual kedua tidak
> bertanggung jawab, namun penjual pertamalah yang bertanggung jawab.
> • Sering kali pembeli kedua telah membayarkan uang muka (DP) kepada
> penjual pertama
>
> Indikator-indikator tersebut membuktikan bahwa sejatinya pembeli pertama,
> yaitu pemilik uang hanyalah memiutangkan sejumlah uang kepada pihak ketiga.
> Selanjutnya dari piutangnya ini, ia mendapatkan keuntungan.
>
> Jauh-jauh hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang
> praktik semacam ini, sebagaimana disebutkan pada hadits berikut.
>
> عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى
> اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَنْ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى
> يَقْبِضَهُ) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : وَأَخسِبُ كُلَّ
> شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ
>
> “Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menuturkan, “Rasulullah
> Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa membeli bahan makanan,
> maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya’. “Ibnu
> Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, “Dan saya berpendapat bahwa segala
> sesuatu hukumnya seperti bahan makanan”. [Riwayat Bukhari hadits no. 2025
> dan Muslim no. 3913]
>
> Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menjelaskan alasan dari larangan
> ini kepada muridnya, yaitu Thawus. Beliau menjelaskan bahwa menjual barang
> yang belum diserahkan secara penuh adalah celah terjadinya praktik riba.
>
> قُلْتُ لاِبْنِ عَبَّ