Adab Khilaf    

Kesalahan bisa saja terjadi pada  manusia termasuk para imam  ketika memahami 
hukum-hukum Islam. Hal ini disebabkan karena manusia itu bersifat lemah 
sebagaimana firman Allah ,â ...dan manusia itu diciptakan bersifat lemah.`` 
(An-Nisaa`: 28).

          Kelemahan manusia dari segi ilmu dan pengetahuannya, karena dari awal 
Allah  mengingatkan bahwa ilmu manusia itu terbatas, sebagaimana firman-Nya,â 
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. 17:85). 
Setidaknya ada enam hal yang membuat orang salah dan khilaf dalam memahami 
Islam diantaranya: 

1.  Dalil belum sampai padanya.

2.  Dalil sudah sampai padanya tetapi ia lupa.

3.  Dalil sudah sampai padanya tetapi ia memahaminya lain dengan yang dimaksud 
dalil itu.

4.    Hadits telah sampai padanya namun telah dihapus hukumnya sedang ia belum 
tahu.

5.  Ia yakin bahwa dalil itu bertentangan dengan nash atau ijma` yang lebih 
kuat.

6.  Orang alim itu memegangi hadits dha`if atau mengambil hujjah dengan hujjah 
yang lemah.

Sebab pertama: Bila dalil belum sampai pada orang yang keliru, yang salah dalam 
menentukan hukum ini, atau dalil itu sampai namun dalam bentuk yang tidak 
meyakinkannya.

Pertama, yaitu adanya dalil belum sampai pada pembicara. Kami ketahui hal itu 
dalam hadits shahih di Shahih Bukhari dan lainnya ketika Amirul Mu`minin Umar 
bin Khathab RA pergi ke Syam, dan di tengah jalan, disebutkan padanya bahwa di 
sana ada wabah penyakit yaitu tho`un (wabah sakit sampar/ pes). Maka dia (Umar) 
berhenti dan mulai minta petunjuk pada para sahabat RA.  Ia minta petunjuk pada 
para sahabat Muhajirin dan Anshar, dan mereka berselisih dalam hal itu atas dua 
pendapat...Dan yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan agar pulang. Dan 
di tengah perbincangan dan musyawarah ini datanglah Abdur Rahman bin Auf, yang 
tadinya ia tidak hadir karena ada keperluan, lalu ia berkata: Sesungguhnya aku 
punya pengetahuan tentang hal itu, aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: 
``Apabila kamu sekalian mendengar tentangnya (tho`un, wabah sakit) pada suatu 
tempat di bumi maka kalian jangan datang padanya. Dan apabila telah terjadi 
sedang kalian ada di dalamnya maka janganlah kalian keluar lari darinya.`` 

Jadi hukum ini adalah samar bagi para pembesar sahabat dari Muhajirin dan 
Anshar, sampai datangnya Abdur Rahman yang kemudian  mengkhabarkan kepada 
mereka tentang hadits ini.

Contoh yang lain: 

Ali bin Abi Thalib RA dan Abdullah bin Abbas RA berpendapat  bahwa wanita hamil 
apabila suaminya meninggal maka si wanita itu ber`iddah (masa tunggu, tidak 
boleh nikah selama masa itu) dengan waktu yang terpanjang dari dua masa, yaitu 
4 bulan 10 hari, atau sampai waktu melahirkan kandungan.  Apabila ia melahirkan 
kandungan sebelum 4 bulan 10 hari, maka iddahnya belum gugur, dan masih tersisa 
sampai habisnya masa 4 bulan sepuluh hari. Sedang kalau telah selesai masa 4 
bulan 10 hari namun belum lahir kandungannya, maka ia tetap masih dalam 
`iddahnya sampai lahirnya kandungan. Karena Allah Ta`ala berfirman; 

`` Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu `iddah mereka itu ialah sampai  
mereka melahirkan kandungannya.`` (At-Thalaq: 4).

Dan Allah berfirman:

``Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu sekalian dengan 
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan diri mereka 
(ber`iddah) 4 bulan 10 hari.`` (Al-Baqarah: 234).

          Dua ayat itu ada yang umum dan ada yang khusus arahnya. Jalan 
mengumpulkan antara kedua ayat, umum dan khusus arahnya itu dipegangi dengan 
bentuk pengumpulan (menjama`) keduanya. Tidak ada jalan ke arah itu kecuali 
yang ditempuh oleh Ali  dan Ibnu Abbas RA; tetapi As-Sunnah adalah di atas yang 
demikian itu. Sungguh telah ditetapkan dari Rasulullah SAW dalam Hadits Sabi`ah 
Al-Aslamiyah bahwa ia nifas setelah meninggal suaminya dalam beberapa malam, 
maka Nabi SAW mengizinkan padanya untuk menikah/ bersuami``. Yang demikian itu 
artinya kita memegangi ayat Surat At-Thalaq yang dinamai Surat An-Nisaa` 
As-Shughraa, yaitu keumuman firman-Nya: `` Dan perempuan-perempuan yang hamil, 
waktu `iddah mereka itu ialah sampai  mereka melahirkan kandungannya.`` 
(At-Thalaq: 4).

Dan kami mengetahui secara ilmul yaqin bahwa hadits ini kalau telah 
sampai pada Ali dan Ibnu Abbas pasti keduanya berpegang padanya secara pasti, 
dan mereka berdua tidak menggunakan pendapatnya.

Kedua, kadang hadits telah sampai pada orang alim tetapi penyampaian kutipan/ 
riwayatnya tidak tsiqqoh (terpercaya) dan orang alim itu berpendapat bahwa 
hadits itu menyelisihi dalil yang lebih kuat , maka ia memegangi dalil yang 
dipandang lebih kuat. Kami mencontohkan juga, bukan dalam kalangan orang 
setelah sahabat tetapi di  dalam sahabat sendiri.

Fathimah binti Qois RA ditalak suaminya pada talak tiga yang terakhir, lalu 
suaminya mengirimkan padanya (Fathimah) --sejumlah gandumâsebagai nafakah 
baginya selama `iddah., tetapi ia marah dan tidak mau mengambil gandum itu, 
lalu keduanya mengangkat (masalah itu) kepada nabi SAW, maka Nabi mengkhabarkan 
padanya: Bahwasanya tidak ada nafakah baginya dan tidak ada tempat tinggal 
(dari bekas suami). Hal itu karena ia (suami) mentalak ba`in (talak yang ketiga 
kalinya), sedangkan talak ba`in itu tidak ada padanya nafakah dan tempat 
tinggal yang diwajibkan atas suaminya kecuali kalau yang ditalak itu dalam 
keadaan hamil. Karena firman Allah Ta`ala:

``Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka 
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin...``  (At-Thalaq:6).

Umar RA atas sunnah ini ia samar, maka ia berpendapat bahwa bagi wanita 
tertalak ba`in itu memperoleh nafakah dan tempat tinggal, dan ia menolak hadits 
Fathimah karena memungkinkan bahwa Fathimah telah lupa, maka Umar berkata: 
Apakah kita akan meninggalkan firman Tuhan kita karena perkataan seorang 
perempuan yang  kita tidak tahu apakah ia ingat atau lupa? Ini artinya bahwa 
Amirul Mu`minin Umar bin Khathab RA tidak yakin terhadap dalil ini, dan ini 
seperti yang terjadi pada Umar dan orang selainnya dari para sahabat dan 
lainnya dari Tabi`in (generasi setelah sahabat Nabi SAW), terjadi pula bagi 
orang setelah mereka dari para pengikut Tabi`in. Dan demikian seterusnya sampai 
hari ini bahkan sampai hari Qiyamat, akan ada orang  yang tidak yakin terhadap 
sahihnya dalil. 

Betapa banyak kita lihat pendapat ahli ilmu, di dalamnya ada hadirts-hadits, 
lalu sebagian ahli ilmu memandang bahwa itu shahih maka mereka memeganginya, 
dan sebagian ahli yang lain memandangnya dha`if (lemah) maka mereka tidak 
memeganginya dengan memandang karena tidak adanya keterpercayaan pada 
penukilannya (periwayatan) dari Rasulillah SAW. 

Sebab kedua: Hadits telah datang pada sang ahli ilmu tetapi ia lupa. Maha 
Agung, Allah yang tidak pernah lupa. Betapa banyak manusia yang lupa suatu 
hadits, bahkan kadang lupa suatu ayat. Rasulullah SAW  ``Beliau shalat pada 
suatu hari di dalam (mengimami) sahabat-sahabatnya maka ia gugur suatu ayat 
dalam keaadaan lupa``. Dan beliau itu bersama Ubay bin Ka`ab RA. Maka ketika 
beliau telah beranjak dari shalatnya, Ubay berkata: ``Tidakkah engkau yang 
telah mengingatkanku tentang ayat``, sedangkan beliaulah yang diituruni wahyu, 
dan sungguh Allah telah berfirman kepada beliau:  

``Kami akan membacakan (Al-Quran) kepadamu (Muhammad)  maka kamu tidak akan 
lupa, kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang 
dan yang tersembunyi.`` (Al-A`laa: 6-7).

          Dari siniâyakni hadits telah sampai pada seseorang tetapi ia 
lupaâada satu kisah, Umar bin Khathab bersama Ammar bin Yasir RA ketika 
keduanya diutus oleh Rasulullah SAW dalam suatu keperluan, lalu dua-duanya, 
Amar dan Umar semuanya junub (berhadats besar). Adapun Ammar maka ia berijtihad 
dan berpendapat bahwa bersuci dengan debu itu seperti bersuci dengan air. Maka 
ia berguling-guling di atas tanah seperti bergulingnya binatang melata, agar 
supaya debu meratai badannya, seperti air meratai badannya, dan ia shalat. 
Adapun Umar RA maka ia belum shalat.. Kemudian keduanya datang kepada 
Rasulullah Saw maka beliau menunjuki keduanya kepada yang benar. Dan beliau 
bersabda kepada Ammar: ``Sesungguhnya kamu cukup hanya menepukkan kedua tapak 
tanganmu beginiâdan beliau memukulkan kedua tapak tangannya ke bumi satu 
kaliâkemudian yang kiri mengusap atas yang kananâdan luar dua tapak 
tangannya dan wajahnya. 

Dan Ammar RA menceritakan hadits ini dalam masa kekhalifahan Umar, dan masa 
sebelumnya, tetapi Umar mengundangya pada suatu hari dan berkata padanya 
(Ammar): Hadits apakah yang kamu ceritakan ini? Lalu Ammar mengabarinya dan 
berkata: Apakah Engkau tidak ingat ketika Rasulullah SAW mengutus kita (berdua) 
dalam suatu keperluan, lalu kita berdua junub, maka adapun engkau belum shalat, 
sedangkan aku maka berguling-guling di atas tanah, maka Nabi SAW bersabda: 
``Sesungguhnya cukup kamu hanya menepuk begini dan begini``. Tetapi Umar tidak 
ingat yang demikian itu, dan ia berkata: Bertaqwalah kamu kepada Allah wahai 
Ammar. Lalu Ammar berkata kepada Umar: ``Kalau kamu menghendaki orang yang 
dijadikan Allah untuk taat padamu ini agar tidak menceritakannya (hal itu tadi) 
maka kerjakanlah.`` Lalu Umar berkata kepadanya: ``Kami kuasakan padamu apa 
yang kamu kuasaiâartinya maka ceritakanlah hal itu pada orang-orang--``  Maka 
kalian melihat sekarang bahwa Umar lupa kalau Nabi SAW menjadikan tayammum di 
dalam keadaan jinabat itu seperti dalam keadaan hadats kecil. 

Dalam hal ini Abdullah bin Mas`ud telah mengikuti Umar. Dan terjadi tukar 
pendapat (munadharah) antara dia (ibnu Mas`ud) dan Abu Musa Al-Asy`ari RA dalam 
perkara ini, maka Abu Musa mengemukakan kepada Ibnu Mas`ud ucapan Ammar kepada 
Umar. Lalu Ibnu Mas`ud berkata, apakah kamu tidak memandang bahwa Umar tidak 
puas dengan perkataan Ammar. Lalu Abu Musa berkata: Kita tinggalkan perkataan 
Ammar, lantas apa yang kamu katakan dalam hal ayat ini, yakni ayat Al-Maaidah: 
6 (``....dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam 
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, 
lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik 
(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.``) Maka Ibnu Mas`ud 
tidak mengatakan sesuatupun, tetapi tidak diragukan lagi bahwa yang benar itu 
adalah yang bersama jama`ah yang mengatakan bahwa junub itu bertayamum, 
sebagaimana orang yang berhadats kecil bertayamum. Dan yang dimaksud itu adalah 
bahwa manusia itu kadang lupa maka ia samar terhadap hukum syar`i. Lalu bila ia 
mengatakan suatu perkataan  maka  pendapatnya itu ma`dzur (tidak bisa dijadikan 
hujjah). Tetapi orang yang mengetahui dalil  maka dia kuat. Inilah pembicaraan 
mengenai dua sebab terjadinya perbedaan pendapat. 

Sebab yang ketiga: dalil telah sampai padanya (ahli ilmu) tetapi ia memahaminya 
berbeda dengan yang dimaksud dalil itu.

    Kami akan mengambil dua contoh untuk masalah ini, pertama dari Al-Quran, 
dan yang kedua dari As-Sunnah.

1. Dari Al-Quran: Firman Allah Ta`ala:

 ``Dan jika kamu sakit atau sedang dalam  musafir atau kembali dari tempat 
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat 
air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)...``(An-Nisaa`: 43). 

    Para ulama rahimahumullah berbeda pendapat dalam makna ``au laamastumun 
nisaa``` (An-Nisaa`:43). Sebagian mereka memahami bahwa yang dimaksud itu 
adalah mutlaknya menyentuh, sedang yang lain memahami bahwa yang dimaksud lafal 
itu adalah menyentuh yang membangkitkan syahwat, dan  ulama yang lain lagi 
memahami bahwa yang dimaksud lafal itu adalah jima` (bersetubuh), dan pendapat 
ini adalah pendapat Ibnu Abbas RA.

    Jika Anda renungkan ayat itu maka Anda dapati bahwa yang benar itu adalah 
orang yang berpendapat bahwa lafal `laamastum` itu artinya jima` (bersetubuh). 
Karena Allah Tabaraka wa Ta`ala menyebutkan dua macam dalam bersuci pakai air, 
yaitu bersuci dari hadats kecil dan besar. Dalam hal hadats kecil, firman-Nya:  
``...maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu 
dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki..`` (Al-Maaidah:6). 

Adapun hadats besar maka firman-Nya: ``..dan jika kamu junub maka 
mandilah..(Al-Maaidah: 6).

    Dan yang dikehendaki oleh ilmu balaghah dan  bayan (ilmu sastra Arab) 
hendaknya disebutkan pula kewajiban bersuci dua hadats dalam bersuci  pakai 
tanah/ dengan tayammum. Maka firman Allah Ta`ala :``atau kembali dari tempat 
buang air`` itu menunjukkan kepada kewajiban bersuci hadats kecil. Dan 
firman-Nya:``atau kamu telah menyentuh perempuan`` (al-Maaidah:6) menunjukkan 
kepada kewajiban bersuci dari hadats besar.. Kalau kita jadikan 
``almulaamasah`` (saling bersentuhan) di sini dengan arti ``allams`` 
(menyentuh), maka pastilah dalam ayat itu disebutkan dua kewajiban bersuci, 
dari hadats kecil dan besar. Sedangkan di sini tidak disebutkan sama sekali 
tentang kewajiban bersuci dari hadats besar, maka pemahaman ini menyelisihi apa 
yang dituntut oleh balaghahnya (kejelasan makna) Al-Quran. Maka orang-orang 
yang memahami ayat itu bahwa maksudnya adalah mutlaknya menyentuh, mereka 
mengatakan: kalau lelaki menyentuh kulit wanita maka batallah wudhu`nya, atau 
jika menyentuhnya karena syahwat maka batal, sedang tanpa syahwat maka tidak 
batal. Yang benar adalah tidak batal dalam dua keadaan itu (menyentuh ataupun 
menyentuh dengan syahwat). Sungguh telah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW 
mencium salah satu isterinya, kemudian beliau pergi ke shalat dan tidak 
berwudhu. Riwayat itu datang dari berbagai jalan yang saling kuat menguatkan.

   2. Dari As-Sunnah: Ketika Rasulullah SAW pulang dari perang Ahzab, dan 
beliau meletakkan beberapa tombak maka didatangi Jibril lalu berkata pada 
beliau: Sesungguhnya kami belum meletakkan senjata maka keluarlah ke Bani 
Quraidhah. Lalu Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya untuk keluar, dan 
bersabda: 

  ÙØ ÙØÙÙÙ ØØØ ØÙØØØ ØÙØ ÙÙ ØÙÙ ÙØÙØØ

  ``Janganlah sekali-kali seseorang shalat ashar kecuali di dalam Bani 
Quraidhah``. (al-Hadits). Maka telah terjadi perbedaan para sahabat dalam 
memahaminya. Sebagian mereka ada yang memahami bahwa maksud Rasul agar 
cepat-cepat untuk keluar sehingga tidak datang waktu `Ashar kecuali mereka 
telah berada di Bani Quraidhah. Maka ketika masuk waktu `Ashar sedang mereka di 
tengah jalan, maka mereka shalat `Ashar dan tidak mengakhirkannya sampai keluar 
waktunya.

    Sebagian lainnya ada yang memahami bahwa maksud Rasulullah agar mereka 
tidak shalat kecuali jika mereka telah sampai di Bani Quraidhah, maka mereka 
mengakhirkan shalat hingga mereka sampai di Bani Quraidhah, maka mereka 
mengeluarkan shlat dari waktunya.

    Tidak diragukan lagi bahwa kebenaran di pihak orang-orang yang shalat 
`Ashar pada waktunya, karena nash-nash (teks) dalam hal wajibnya shalat pada 
waktunya itu muhkamah (jelas hukumnya), sedangkan sabda beliau ini tadi nashnya 
musytabihah (samar). Jalan ilmu (yang benar) adalah membawa yang mutasyaabih 
(samar) ke muhkam (yang jelas hukumnya). Jadi, termasuk faktor penyebab 
perbedaan adalah kalau memahami dalil tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh 
Allah dan Rasul-Nya, dan ini adalah sebab yang ketiga.

     Sebab keempat: Hadits telah sampai tetapi dimansukh (hukumnya dibatalkan) 
sedang si ahli ilmu belum tahu  pembatalan itu, maka hadits itu sendiri shahih 
tetapi dibatalkan isinya, sedangkan si orang alim itu tidak tahu pembatalannya. 
Maka dalam keadaan ini ada kemaafan bagi si alim, karena hukum asalnya adalah 
tidak adanya pembatalan sehingga ia tahu pembatalannya.

    Dari sini Ibnu Mas`ud RA berpendapat... apa yang orang perbuat dengan 
tangannya ketika ia rukuk? Dulu pada awal Islam, disyari`atkan bagi orang yang 
shalat agar melipat kedua tangannya  (tathbiiq baina yadaihi)  dan meletakkan 
keduanya di antara dua lututnya. Ini adalah syari`at di awal Islam, kemudian 
dihapus. Dan jadilah yang disyari`atkan adalah meletakkan kedua tangan di  dua 
lutut. 

    Penghapusan itu telah ditetapkan, ada di shahih Al-Bukhari, sedangkan Ibnu 
Mas`ud RA dulu belum tahu naskh/ penghapusan hukum itu, maka ia  melipat  dua 
tangannya (yuthobbiqu baina yadaihi), lalu ia shalat di sisi `Alqomah dan 
Aswad, kedua orang itu meletakkan dua tangan mereka di lutut mereka, tetapi 
Ibnu Mas`ud RA melarang mereka berdua dari yang demikian, dan menyuruhnya untuk 
melipat.... kenapa? Karena ia (Ibnu Mas`ud) belum tahu penghapusan hukum itu, 
sedangkan manusia itu tidak dibebani kecuali sekadar usaha dirinya... Allah 
Ta`ala berfirman:``Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan 
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia 
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.`` (Al-Baqarah: 286).

   Sebab kelima: Si `alim meyakini bahwa dalil itu bertentangan dengan dalil 
yang lebih kuat berupa nash atau ijma` (teks ayat/ hadits atau kesepakatan 
ulama) . Artinya, dalil itu sudah sampai pada si alim yang mencari dalil, 
tetapi ia memandang bahwa dalil itu bertentangan dengan nash atau ijma` yang 
lebih kuat. Dan ini banyak dalam hal perbedaan para imam. Betapa seringnya kita 
dengar orang yang menukil ijma` tetapi dia jika merenungkannya sebenarnya bukan 
ijma`.

    Di antara yang paling aneh, apa yang dinukil dalam hal ijma`, bahwa 
sebagian mereka berkata: Mereka telah sepakat atas diterimanya kesaksian 
budak.. sedang  orang-orang yang lain berkata: Telah mereka sepakati bahwa 
kesaksian budak itu tidak diterima. Ini di antara yang aneh penukilannya, 
karena sebagian manusia apabila orang di sekitarnya telah sepakat atas suatu 
pendapat maka ia mengira bahwa tidak ada perbedaan bagi mereka, karena 
keyakinannya bahwa hal itu sesuai kehendak nash, maka terkumpul dalam 
perasaannya dua dalil, nash dan ijma`. Dan kadang ia memandangnya sebagai telah 
sesuai tuntutan qiyas/ analogi yang benar dan teori yang benar, maka ia 
menghukumi bahwa hal itu tidak ada perbedaan. Dia yakin tidak ada perbedaan 
terhadap nash yang tegak di sisinya ini dengan qiyas shahih di sisinya, padahal 
sebenarnya perkara itu bertentangan.

    Bisa kami contohkan hal itu dengan pendapat Ibnu Abbas RA dalam masalah 
riba fadhl (tambahan). 

    Telah ada ketetapan/ shahih dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: 

  ØÙÙØ ØÙØØØ ÙÙ ØÙÙØÙØØ

``Sesungguhnya riba itu hanyalah dalam hal nasii`ah (lipat ganda).`` 

  Dan telah tetap dari Nabi SAW dalam hadits Ubadah bin Shamit dan lainnya:

   ØÙ ØÙØØØ ÙÙÙÙ ÙÙ ØÙÙØÙØØ ÙÙÙ ØÙØÙØØØ

 ``Bahwa riba itu ada dalam nasii`ah dan dalam ziyadah (penambahan).`` 

    Dan telah sepakat para ulama setelah Ibnu Abbas bahwa riba itu ada dua 
bagian: riba fadhl dan riba nasii`ah. Adapun Ibnu Abbas maka ia menolak kecuali 
riba dalam nasii`ah saja. Contohnya, kalau kamu menjual satu sho`a (kati) 
gandum (dibeli) dengan dua kati dari tangan ke tangan (seketika langsung) maka 
bagi Ibnu Abbas tidak apa-apa. Karena ia memandang bahwa riba itu hanya 
nasii`ah saja. Dan jika kamu jual --misalnya-- satu mitsqol emas  (dibeli 
orang) dengan dua mitsqol emas secara langsung tangan dengan tangan maka bagi 
Ibnu Abbas itu bukan riba.  Tetapi jika pengambilannya itu ditunda, kamu 
memberiku satu mitsqol sedangkan aku belum memberikan gantinya kecuali setelah 
berpisah maka itu riba. Karena Ibnu Abbas RA memandang bahwa pembatasan ini 
mencegah jatuhnya riba dalam hal selainnya. Dan sudah diketahui bahwa: 
``innamaa`` itu memberi pengertian batasan (hashr) maka menunjukkan bahwa 
selain itu berarti bukan riba. Tetapi sebenarnya apa yang ditunjuk oleh Hadits 
Ubadah itu menunjukkan bahwa fadhl (kelebihan dari penukaran barang yang sama) 
itu termasuk riba. Karena Rasulullah SAW bersabda:

   ÙÙ ØØØ ØÙ ØØØØØØ ÙÙØ ØØØÙ

``Barangsiapa menambah atau minta tambah maka sungguh ia telah meribakan.``

   Jadi, bagaimana sikap kita terhadap hadits yang dijadikan dalil oleh Ibnu 
Abbas? Sikap kita hendaknya membawa hadits itu ke arah yang bisa untuk 
dicocokkan dengan hadits lain yang menunjukkan bahwa riba itu ada juga dalam 
hal fadhl (kelebihan), dengan kita katakan: Sesungguhnya riba yang keras itu 
yang disandarkan padanya ahli jahiliyah dan yang terdapat dalam firman Allah 
Ta`ala:    ``Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan 
berlipat ganda.`` (Ali Imran: 130). Sesungguhnya itu hanyalah riba nasii`ah. 
Adapun riba fadhl maka ia bukan riba yang keras lagi besar. Oleh karena itu 
Ibnu Qoyyim berpendapat dalam kitabnya I`laamul Muwaqqi`ien bahwa pengharaman 
riba fadhl itu termasuk bab pengharaman sarana, bukan dari bab pengharaman 
tujuan.

Sebab keenam: Si alim memegangi hadits dha`if atau mengambil hujjah dengan 
dalil yang lemah. Ini banyak sekali. Di antara contoh berdalil dengan hadits 
dha`if adalah pendapat sebagian ulama tentang disunatkannya  shalat tasbih. 
Yaitu agar manusia shalat dua raka`at, membaca Al-Fatihah di dalamnya, dan 
bertasbih 15 kali. Demikian pula dalam ruku` dan sujud sampai akhir shalat. Itu 
yang tidak saya lakukan, karena saya tidak  meyakininya dari segi syara`. Ulama 
lain memandang bahwa shalat tasbih itu bid``ah yang dibenci/ makruh, dan 
haditsnya pun tidak sahih. Termasuk yang berpendapat demikian itu Imam Ahmad 
Rahimahullah, dan ia berkata: Sesungguhnya shalat tasbih itu tidak benar dari 
Nabi SAW. Dan Syeikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, sesungguhnya 
haditsnya (tentang shalat tasbih) itu berdusta atas nama Rasulullah. 

   Sebenarnya orang yang merenungkannya akan mendapati bahwa di dalamnya ada 
keanehan-keanahan (syudzudz) hingga  pada  penisbatannya pada syara`. Karena 
sesungguhnya ibadah itu, kalau itu ada manfaatnya untuk hati, --dan pastilah di 
antaranya untuk memperbaiki hati-- maka disyari`atkan di setiap waktu dan 
tempat. Ataupun kalau tidak ada manfaatnya maka tidak disyari`atkan. Tetapi ini 
dalam hadits tentang shalat tasbih  yang dilakukan orang itu shalatnya tiap 
hari atau tiap minggu atau tiap bulan atau sekali dalam sepanjang hidupnya. Ini 
tidak ada yang setara dengannya dalam syara`, maka itu menunjukkan atas 
keganjilan-keganjilannya sacara matan (teks hadits) dan sanad (pertalian 
riwayat).

    Sesungguhnya orang yang mengatakan bahwa shalat tasbih itu bohong, seperti  
perkataan Syeikh Islam Ibnu Taimiyyah maka dia itu betul. Oleh karena itu 
Syeikh Islam berkata: Sesungguhnya tidak ada satu imampun yang  mensunnatkannya.

     Saya  mencontohkan shalat tasbih ini hanyalah karena banyaknya pertanyaan 
tentang itu, maka aku takut kalau bid`ah ini menjadi perkara yang 
disyari`atkan. Dan sesungguhnya aku hanyalah mengatakan bid`ah. Tetap aku 
katakannya (bahwa shalat tasbih itu bid`ah) walaupun sebenarnya berat bagi 
sebagian manusia. Karena kami yakin bahwa setiap orang yang mendekati Allah SWT 
dari jalan yang tidak ada di dalam Kitabullah atau sunnah Rasulillah maka 
sesungguhnya adalah bid`ah. 

    Demikian pula orang yang memegangi dalil yang dha`if/ lemah dari segi 
dijadikan hujjah --dalil itu kuat tetapi dari segi kehujjahannya dia lemah, 
seperti yang dipegangi sebagian ulama mengenai hadits ``Sembelihan janin 
(kandungan) adalah sembelihan ibunya...`` Maka yang dikenal oleh ahli ilmu dari 
makna hadits itu bahwa ibu janin apabila disembelih maka penyembelihan ibunya 
itu adalah penyembelihan bagi janin itu pula -- artinya tidak perlu 
penyembelihan lagi bila janin itu dikeluarkan dari induknya seteleh 
penyembelihan. Karena janin itu telah mati dan tidak ada gunanya penyembelihan 
setelah mati.

   Sebagian ulama ada yang memahami bahwa maksud hadits ini... penyembelihan 
janin itu seperti penyembelihan ibunya, yaitu dengan memotong dua urat leher 
dan mengalirkan darah --tetapi ini jauh, dan yang menjauhkannya adalah tidak 
mendapati pengaliran darah setelah mati. 

   Rasulullah Saw bersabda: 

   ÙØ ØÙÙØ ØÙØÙ ÙØÙØ ØØÙ ØÙÙÙ ØÙÙÙ ÙÙÙ

``Apa (sembelihan) yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah atasnya maka 
makanlah``. Dan telah maklum bahwa tidak mungkin mengalirkan darah setelah 
mati. Inilah sebab-sebab yang aku senang untuk mengingatkannya di samping  
banyaknya hal yang lain, bagai lautan tak bertepi... tetapi setelah pembicaraan 
ini semua, apa sikap kita ?

    Manusia lantaran banyaknya sarana informasi audio visual (didengar dan 
dilihat) dan bacaan, dan berbeda-bedanya ulama atau perselisihan antara 
ahli-hali kalam (teologi) dalam media-media ini maka para manusia ragu-ragu dan 
berkata, siapakah yang akan kita ikuti?

    Ketika hal itu terjadi maka kami katakan sikap kita terhadap perbedaan ini- 
maksud saya perbedaan para ulama yang kami ketahui mereka itu terpercaya secara 
agama dan keilmuannya, bukan orang yang dianggap berilmu padahal mereka bukan 
ahlinya, karena kami tidak menganggap mereka itu ulama, dan tidak menganggap 
ucapan mereka itu termasuk yang dikategorikan perkataan ahli ilmu.. tetapi kami 
maksudkan dalam hal ini adalah ulama yang dikenal karena ketulusannya pada 
ummat, Islam, dan ilmu; maka sikap kami terhadap mereka itu ada dua  arah:

   1. Bagaimana mereka para imam itu menyelisihi apa yang dikehendaki Kitab 
Allah dan sunnah Rasul-Nya? Dan ini bisa diketahui jawabnya dengan apa yang 
telah kami sebutkan tadi berupa sebab-sebab terjadinya perbedaan, dan yang 
tidak kami sebutkan. Sebab-sebab itu banyak, dan akan tampak bagi penuntut ilmu 
walaupun tidak sampai luas ilmunya.  

   2. Bagaimana sikap kita terhadap pengikut-pengikut mereka? Lalu siapa yang 
akan kita ikuti dari para ulama itu? Apakah manusia akan mengikuti seorang imam 
dan tidak akan keluar dari pendapat imamnya walaupun kebenaran berada pada 
ulama lainnya, seperti kebiasaan orang-orang fanatik madzhab? Ataukah akan 
mengikuti yang dalilnya lebih kuat walaupun menyeleisihi apa yang dinisbatkan 
kepada para imam? Jawabnya adalah yang kedua itu. Wajib bagi orang yang 
mengetahui dalilnya untuk mengikuti dalil walaupun menyelisihi imam, apabila 
tidak menyelisihi ijma` (kesepakatan) ummat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa 
seseorang selain Rasulullah SAW itu wajib dipegangi ucapannya, baik berbuatnya 
maupun tidak berbuatnya pada setiap keadaan dan setiap waktu, maka sungguh ia 
telah bersaksi  kepada selain Rasul dengan ketentuann-ketentuan kerasulan. 
Karena seseorang tidak bisa perkataannya itu menjadi hukum kecuali Rasulullah 
SAW dan tidak ada seorangpun ucapannya wajib dipegangi dan larangannya harus 
ditinggalkan kecuali Rasulullah SAW.  

     Akan tetapi perkara itu masih menyisakan satu teori/ pandangan, karena 
kita masih tetap mempertanyakan siapa yang mampu untuk mengistinbatkan hukum 
(menarik kesimpulan) dari dalil-dalil? Ini suatu problema, karena setiap orang 
bisa mengatakan: Sayalah orangnya yang berhak. Dan ini sebenarnya tidak baik, 
dari segi tujuan maupun pokoknya. Yang baik yaitu kalau penuntun manusia itu 
kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya, tetapi keadaan kita membuka pintu bagi setiap 
orang yang mengerti untuk berbicara dengan dalil. Kalau seseorang tidak tahu 
makna dan kandungan dalil, maka kita katakan: Kamu mujtahid (orang yang 
berijtihad/ mencurahkan pikiran untuk menentukan hukum) tetapi kamu berkata 
semaumu. Inilah yang mengakibatkan timbulnya kerusakan syari`at dan keruskan 
makhluk dan masyarakat. Sedangkan manusia dalam hal ini terbagi menjadi 3 
golongan:

   1. Orang alim yang Allah beri rizqi ilmu dan kefahaman.

   2. Penuntut ilmu yang memiliki sebagian ilmu, tetapi ia belum sampai derajat 
yang mendalam itu.

   3. Orang awam yang tidak tahu apapun.

   Adapun yang pertama, ia berhak untuk berijtihad dan berkata, bahkan ia wajib 
mengatakan sesuatu yang dikehendaki oleh dalil sekalipun ia menyelisihi 
orang-orang yang menyelisihi dalil, karena ia diperintah untuk bersikap 
demikian. Allah Ta`ala berfirman:

 

  ÙØÙÙÙ ØÙØÙÙ ÙØØÙØØÙÙÙ ÙÙÙÙ.

``...tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) 
mengetahui dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). (An-Nisaa`: 83).

    Dan ini adalah termasuk ahli istinbath yang mengetahui pengertian yang 
diitunjukkan oleh Al-Quran dan Sunnah.

   Adapun yang kedua: Orang yang Allah beri rizqi ilmu dan kefahaman tetapi 
belum sampai derajat yang pertama itu maka dia tidak ada halangan apabila 
memegangi hal-hal yang umum, mutlak, dan yang telah sampai padanya. Tetapi ia 
wajib menjaga hal itu dan tidak boleh lengah untuk menanyakan kepada  orang 
yang lebih tinggi darinya yaitu ahli ilmu, karena ia (si tingkat kedua ini) 
kadang-kadang salah, dan kadang ilmunya tidak sampai pada suatu ketentuan 
khusus dari yang umum, atau yang terikat (muqoyyad) dari yang mutlak, atau 
telah terhapusnya apa yang ia pandang muhkam (jelas hukumnya). Sedang ia tidak 
tahu tentang itu.

   Adapun golongan yang ketiga: Yaitu orang yang tidak punya ilmu. Ia ini wajib 
bertanya kepada ahli ilmu. Karena Allah Ta`ala berfirman:``...maka tanyakanlah 
olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. 
(Al-Anbiyaa`/ 21: 7). Dan dalam ayat lain:``...maka tanyakanlah olehmu kepada 
orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui keterangan-keterangan 
(mu`jizat) dan kitab-kitab.`` (An-Nahl/ 16: 43-44).

    Tugas orang awam ini adalah bertanya, tetapi siapakah yang akan ditanya? Di 
dalam negeri itu banyak ulama, masing-masing berkata, bahwa dirinya alim, atau 
masing-masing dikatakan alim, maka siapakah yang akan ditanya? 

    Ada yang berpendapat: Wajib atas orang awam untuk bertanya kepada ulama di 
negerinya yang paling terpercaya dalam hal keilmuannya. Karena sebagaimana 
orang yang tertimpa penyakit di badannya maka ia mencari dokter yang paling 
ahli, maka demikian pula hal ini, karena ilmu itu adalah obat hati. Sebagaimana 
kamu pilih dokter paling ahli untuk penyakitmu maka wajib pula kamu pilih ulama 
yang paling ahli ilmu, jadi tiada beda.

   Ada yang berpendapat bahwa hal itu tidak wajib, karena orang yang paling 
ahli kadang tidak lebih tahu dalam setiap masalah secara sebenarnya. Pendapat 
ini  menguatkan bahwa manusia pada zaman sahabat RA mereka bertanya kepada 
orang-orang. yang tidak unggul padahal ada orang yang unggul. (alfadhil).

    Yang saya pandang dalam masalah ini bahwa  bertanya kepada orang yang 
dipandang lebih utama dalam hal agama dan ilmunya itu tidak merupakan 
kewajiban, karena orang yang dirinya dipandang lebih utama itu kadang juga 
salah dalam masalah tertentu ini, sedangkan orang yang tidak diunggulkan kadang 
dia benar, maka dia justru merupakan  prioritas/ yang didahulukan. Pendapat 
yang terkuat adalah: hendaknya bertanya kepada orang yang lebih dekat kepada 
kebenaran karena ilmunya, wara`nya (sikap hati-hatinya), dan agamanya.

   Terakhir, aku nasihati diriku lebih dulu dan saudara-saudaraku kaum 
Muslimin, terutama para penuntut ilmu, apabila problema berupa masalah-masalah 
ilmu (agama) singgah pada manusia maka janganlah tergesa-gesa dan terburu-buru 
sebelum diketahui betul, lalu mengatakan, agar tidak mengatakan atas nama Allah 
tanpa ilmu

      Karena manusia yang memberi fatwa itu adalah perantara antara manusia dan 
Allah, menyampaikan syari`at Allah sebagaimana telah disebutkan dalam hadits  
shahih dari Rasulullah SAW: (ØÙØÙÙØØ ÙØØØ ØÙØÙØÙØØ) ``Ulama 
itu adalah para pewaris nabi-nabi.``.    Dan Nabi SAW mengabarkan:

    ØÙ ØÙÙØØØ ØÙØØØ: ÙØØ ÙØØØ ÙÙ ØÙØÙØ ÙÙÙ ÙÙ 
ØÙÙ ØÙØÙ ÙØÙÙ ØÙ

  ``Bahwa hakim itu ada tiga: Hakim yang satu ada di dalam surga yaitu orang 
yang mengetahui kebenaran maka ia menghukumi dengannya.`` 

   Demikian pula yang penting apabila terjadi problema padamu maka ikatkanlah  
hatimu kepada Allah dan bersikap butuh padaNya agar Dia memahamkanmu, memberimu 
ilmu, terutama dalam perkara-perkara besar yang samar bagi kebanyakan orang. 

    Sebagian guru-guru kami telah mengingatkan padaku bahwa sebaiknya orang 
yang ditanya tentang suatu masalah hendaknya memperbanyak istighfar, mengambil 
dalil dari firman Allah:``Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu 
dengan membawa kebenaran, suapaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang 
telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang 
tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.dan mohonlah ampun 
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.`` 
(An-Nisaa`: 105-106).  

    Karena memperbanyak istighfar itu mengakibatkan hilangnya bekas-bekas dosa 
yang dosa itu menyebabkan lupanya ilmu dan timbulnya kebodohan. Seperti firman 
Allah Ta`ala: ``(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, 
dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan 
(Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa 
yang mereka telah diperingatkan dengannya...`` (Al-Maaidah: 13).

     Disebutkan dari Imam As-Syafi`i bahwa ia berkata:

``Aku mengeluhkan titik rendah buruknya hafalanku

Maka Dia menunjukiku agar meninggalkan maksiat-maksiat

Dan Dia berkata, ketahuilah bahwa ilmu itu bagai cahaya

Sedang cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat.``

     Maka tidak diragukan lagi ketika itu hendaknya istighfar sebagai sebab 
untuk membukakan pintu Allah atas seseorang..

 As-Syaikh Muhammad As-Shalihh Al-`Utsaimin, Al-Khilaaf bainal `ulamaa` 
asbaabuhu.. wa mauqifunaa minhu, Al-Muhaadhorootu ats-Tsamiinah fiimaa yajibu 
an ya`rifahul muslimu `an diinihi, Maktabah Daru ThabaThabariyah, cetakan I,  
1995/ 1415H).

Sumber: www.fsms.tk

 







------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Has someone you know been affected by illness or disease?
Network for Good is THE place to support health awareness efforts!
http://us.click.yahoo.com/UwRTUD/UOnJAA/i1hLAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

------------------------------------------------------------------------
Website Islam pilihan anda.
http://www.assunnah.or.id
http://www.almanhaj.or.id
Website kajian Islam -----> http://assunnah.mine.nu
Berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED]
------------------------------------------------------------------------ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke