QAWA'ID FIQHIYAH 
Kaidah Ketiga :

المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

Adanya Kesulitan Akan Memunculkan Adanya Kemudahan


Kaidah ini termasuk kaidah fiqih yang sangat penting untuk dipahami. Karena, 
seluruh rukhshah dan keringanan yang ada dalam syari'at merupakan wujud dari 
kaidah ini. 

Di antara dalil yang menyangkut kaidah ini, yaitu firman Allah Subhanahu wa 
Ta’ala :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. 
[al-Baqarah/2:185].

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا 

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. 
[al-Baqarah/2:286].

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. 
[al-Hajj/22:78].

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. [at-Taghâbun/64:16]. 

Ayat-ayat di atas menjadi landasan kaidah yang sangat berharga ini. Dikarenakan 
seluruh syari'at dalam agama ini lurus dan penuh toleransi. Lurus tauhidnya, 
terbangun atas dasar perintah beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala 
semata, tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun. 

Demikian pula, syariat ini penuh toleransi dalam hukum-hukum dan 
amalan-amalannya. Sebagai contoh, ibadah-ibadah yang tercakup dalam rukun 
Islam. Salah satunya dalam ibadah shalat. Jika kita lihat ibadah ini merupakan 
amaliah yang mudah dan hanya membutuhkan sedikit waktu. Demikian pula zakat, 
hanya memerlukan sebagian kecil dari harta orang yang terkena kewajiban zakat. 
Itu pun diambil dari harta yang dikembangkan, bukan harta tetap. Dan zakat ini 
dilaksanakan hanya sekali dalam setahun. Juga ibadah puasa Ramadhan yang hanya 
dilaksanakan selama satu bulan setiap tahun. Ibadah haji yang wajib 
dilaksanakan sekali saja seumur hidup bagi orang yang mempunyai kemampuan. 
Adapun kewajiban-kewajiban lainnya, maka datang secara insidental sesuai dengan 
sebab yang melatarbelakanginya. 

Seluruh ibadah-ibadah tersebut sangat mudah dan ringan. Allah Subanahu wa 
Ta’ala juga mensyariatkan beberapa hal yang bisa membantu dan memberikan 
semangat dalam melaksanakan ibadah-ibadah tersebut. Di antaranya dengan 
disyariatkannya berjama'ah dalam shalat lima waktu, shalat Jum'at, dan shalat 
hari raya. Demikian pula pelaksanaan puasa yang dilaksanakan secara 
bersama-sama pada bulan Ramadhan. Juga ibadah haji yang dilaksanakan 
bersama-sama pada bulan Dzulhijjah.

Tidak diragukan lagi, pelaksanaan ibadah secara berjama'ah akan lebih 
meringankan pelaksanaan berbagai ibadah, lebih memberi semangat, serta lebih 
mendorong untuk saling berlomba meraih kebaikan. Sebagaimana juga Allah 
Subhanahu wa Ta’ala telah menyediakan pahala bagi orang yang mau menunaikan 
ibadah-ibadah tersebut dengan ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi-Nya, baik pahala 
di dunia maupun di akhirat. Pahala yang tidak bisa diukur besarnya. Janji Allah 
k merupakan pendorong terbesar dalam melaksanakan amal kebaikaan dan 
meninggalkan kejelekan. 

Disamping kemudahan-kemudahan ini, masih ditambah lagi, jika ada yang mempunyai 
udzur sehingga menyebabkannya tidak mampu atau kesulitan melaksanakan 
hukum-hukum syari'at, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan 
keringanan sesuai dengan kedaaan dan kondisi orang bersangkutan. Hal ini nampak 
jelas dalam beberapa contoh berikut.

1. Seseorang yang sedang dalam keadaan sakit, jika tidak mampu melaksanakan 
shalat dengan berdiri maka boleh shalat dengan duduk. Jika tidak mampu dengan 
duduk, maka shalat dengan berbaring, dan cukup berisyarat ketika ruku' dan 
sujud. 

2. Seseorang diwajibkan bersuci (thaharah) dengan menggunakan air. Namun, jika 
tidak bisa menggunakan air karena sakit atau tidak ada air, maka diperbolehkan 
melaksanakan tayammum. 

3. Seorang musafir yang sedang menanggung beratnya perjalanan diperbolehkan 
untuk tidak berpuasa, diperbolehkan untuk menjama' dan mengqashar shalat, serta 
diperbolehkan mengusap khuf selama tiga hari, sebagai ganti dari mencuci kaki 
dalam wudhu`. 

4. Orang yang sakit atau sedang bepergian jauh (safar) tetap dicatat 
mendapatkan pahala dari amal-amal kebaikan yang biasa ia kerjakan ketika dalam 
keadaan sehat dan tidak bepergian. 

Kaidah ini diterapkan dalam berbagai macam pembahasan yang tercakup dalam 
syari'at agama Islam yang mulia ini. Adapun perwujudan kaidah ini secara nyata 
dapat diketahui dari contoh-contoh berikut ini. 

1. Jika pakaian atau badan seseorang terkena sedikit darah maka dimaafkan, dan 
tidak harus mencucinya. 

2. Boleh beristijmar (membersihkan najis dengan batu atau semisalnya) sebagai 
pengganti dari istinja' (membersihkan najis dengan air), meskipun dijumpai 
adanya air. 

3. Sucinya mulut anak kecil yang terkadang memakan najis dikarenakan belum bisa 
membedakaan benda-benda di sekelilingnya. 

4. Sucinya kucing. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 

إَنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَافِيْنَ عَلَيْكُمْ 
وَالطَّوَّافَاتِ

Sesungguhnya kucing itu tidak najis. Sesungguhnya ia termasuk binatang yang 
selalu menyertai kalian. [1]

5. Termaafkan, jika terkena cipratan tanah jalanan yang diperkirakan bercampur 
dengan najis. Jika memang benar ada najisnya, maka dimaafkan dari najis yang 
sedikit. 

6. Jika pakaian seseorang terkena kencing bayi laki-laki yang belum makan 
makanan tambahan selain ASI, maka cukup membasahi pakaian tersebut dengan air 
dan tidak perlu mencucinya. Demikian pula jika terkena muntahan bayi tersebut.

7. Penjelasan para ahli ilmu, bahwa hukum asal sesuatu dzat adalah suci, 
kecuali jika diketahui secara pasti tentang kenajisannya. Dan hukum asal segala 
makanan adalah halal dikonsumsi, kecuali jika diketahui secara pasti tentang 
keharamannya.

8. Dalam membersihkan badan, pakaian, atau bejana dari najis cukup menggunakan 
perkiraan. Jika tidak bisa atau kesulitan menentukan kesuciannya secara pasti, 
maka cukup dengan dikira-kira, jika dianggap sudah suci, maka cukup. 

9. Dalam menentukan telah datangnya waktu shalat, cukup dengan perkiraan kuat 
bahwa waktunya telah datang. Yaitu, jika sulit mengetahui datangnya waktu 
tersebut secara pasti. 

10. Orang yang melaksanakan haji secara tamattu' dan qiran, mereka bisa 
melaksanakan haji sekaligus umrah dalam sekali perjalanan saja.

11. Diperbolehkan memakan makanan haram, seperti bangkai dan semisalnya, bagi 
orang yang terpaksa untuk memakannya.

12. Bolehnya jual beli 'ariyah [2] jika ada hajat untuk mendapatkan kurma 
ruthab (kurma basah).

13. Boleh mengambil upah dari perlombaan pacu kuda, mengendarai onta, dan 
perlombaan memanah. 

14. Bolehnya seorang laki-laki merdeka menikahi budak wanita jika laki-laki 
tersebut tidak bisa menunda pernikahan dan khawatir akan terjatuh dalam 
perzinaan. 

15. Jika seseorang melakukan pembunuhan dengan tanpa kesengajaan, maka karib 
kerabat orang yang melakukan pembunuhan tersebut menanggung pembayaran diyat 
(denda yang harus dibayarkan kepada keluarga korban). Hal ini dikarenakan 
pelaku pembunuhan tersebut tidak sengaja melakukan pembunuhan, sehingga ia 
mempunyai udzur. Maka, merupakan hal yang layak jika karib kerabat si pembunuh 
tersebut menanggung pembayaran diyat tersebut tanpa memberatkan mereka, yaitu 
dengan membagi diyat tersebut sesuai kadar kekayaan masing-masing. Dan 
pembayaran tersebut diberi tenggang waktu selama tiga tahun. Adapun jika 
pembunuh tersebut termasuk orang yang berkecukupan dalam harta, apakah ia turut 
menanggung pembayaran diyat tersebut ataukah tidak? Maka dalam hal ini terdapat 
perselisihan di kalangan para ulama.

Implementasi (perwujudan) dari kaidah ini sangatlah luas. Contoh-contoh di atas 
sudah cukup mewakili untuk menunjukkan sedemikian penting kaidah ini.

(Sumber : Al-Qawâ'id wal-Ushûl al-Jûmi'ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî'ah 
an-Nâfi'ah, karya Syaikh 'Abdur-Rahmân as-Sa'di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin 'Ali 
bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)
http://almanhaj.or.id/content/2502/slash/0/kaidah-ke-3-adanya-kesulitan-akan-memunculkan-adanya-kemudahan/
 
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
______
Footnote
[1]. HR Ahmad (5/296, 303), Abu Dawud dalam kitab ath-Thaharah, Bab: Su'ril 
Hirrah (no. 75), at-Tirmidzi dalam kitab ath-Thaharah, Bab: Mâ Jâ`a fi Su'ril 
Hirrah (no. 92), an-Nasâ`i (1/55), Ibnu Majah dalam kitab ath-Thaharah, Bab: 
al-Wudhu` bi Su'ril Hirrah (no. 367), Mâlik (1/45), Abdurrazaq (no. 353), 
al-Humaidi (no. 430), Ibnu Abi Syaibah (1/31), ad-Darimi (1/187), Ibnu Hibban 
(no. 121), ath-Thahawi dalam al-Musykil (3/270), Hakim (1/159). 
Hadits ini dishahîhkan oleh at-Tirmidzi dan Hakim. Dalam kitab at-Talkhis 
(1/41) disebutkan: "Hadits ini dishahîhkan oleh Bukhâri, Tirmidzi, Uqaili, dan 
Daruquthni". Hadits ini juga dishahîhkan oleh Baihaqi, sebagaimana disebutkan 
dalam al-Majmu' (1/215), dan dishahîhkan juga oleh an-Nawawi.
[2]. 'Ariyah, adalah jual beli kurma ruthab (kurma basah) yang masih berada di 
pohonnya dengan perkiraan semisal harganya jika kurma itu sudah tua dan menjadi 
kurma kering, dan dilakukan secara takaran. (Syarah al-Muntaha, 2/197)          
                           

Kirim email ke