BAGAIMANA ULAMA BERIJTIHAD

Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri MA
http://almanhaj.or.id/content/3463/slash/0/bagaimana-ulama-berijtihad/

Allah Azza wa Jalla telah menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam sebagai penutup para Rasul dan agama Islam sebagai penutup
seluruh syari'at dan agama. Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ
اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمًا

"Muhammad itu bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu,
tetapi dia adalah Rasulullâh dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu." [al-Ahzâb/33:40]

Bukan hanya sekedar sebagai penutup, akan tetapi Islam juga menjadi
standar kebenaran bagi seluruh syari'at terdahulu. Allah Azza wa Jalla
berfirman:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ
يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ
بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ
مِنَ الْحَقِّ

"Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur'ân dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan sebagai batu ujian atas kitab-kitab yang lain, maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenarang yang telah datang kepadamu." [al-Mâidah/5:48]

Ini salah satu hikmah dijadikannya Islam sebagai agama yang wajib
untuk diamalkan oleh seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ
هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ
يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ
النَّارِ

"Demi Dzat Yang jiwa (Nabi) Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah
ada seorangpun dari umat ini, baik yang beragama Yahudi atau Nasrani,
lalu ia mati sedangkan ia belum beriman dengan agama aku bawa (yaitu
agama Islam), melainkan ia akan menjadi penghuni neraka." [HR. Muslim
no 218]

Islam adalah satu-satunya syari'at yang wajib diamalkan dan yang dapat
mewujudkan kebahagiaan bagi seluruh umat manusia di dunia dan akhirat.
Islam adalah agama yang cocok untuk diamalkan di setiap zaman, negeri
dan tatanan masyarakat. Karena dalam syari'at Islam dijelaskan segala
sesuatu yang dibutuhkan umat manusia, baik urusan agama ataupun dunia.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى
وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

"Dan telah Kami turunkan kepadamu al-Kitâb (al-Qur'ân) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri". [an-Nahl/16:89]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa salllam telah mengajarkan kepada umatnya
segala sesuatu, sampai tatacara buang air kecil dan besar. Dengan
demikian, tidak ada alasan bagi siapapun untuk merekayasa suatu metode
atau ajaran dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla atau
memakmurkan bumi yang kita huni ini. Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ رَضِي اللّه عَنْهُ قَالَ: تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وما طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ في
الْهَوَاءِ إِلاَّ وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا قَالَ فَقَالَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ما بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ
الْجَنَّةِ ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

"Sahabat Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu berkata: "Rasulullâh Shallallahu
'alaihi wa sallam telah meninggalkan kami, dan tidaklah ada seekor
burungpun yang mengepakkan sayapnya di udara, melainkan beliau telah
mengajarkan ilmu tentangnya kepada kami. Selanjutnya Abu Dzar
Radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Tidaklah tersisa sesuatupun yang dapat mendekatkanmu ke
surga dan menjauhkanmu dari neraka, melainkan telah dijelaskan
kepadamu." [HR at-Thabrâni dan dihasankan oleh al-Albâni]

Fakta ilmiyah ini berlaku dalam segala aspek kehidupan umat manusia.

Untuk sedikit memberikan gambaran kaitan syari'at Islam dalam berbagai
masalah kontemporer; berikut disampaikan metodologi Ulama' ahli
ijtihad dalam melakukan studi kasus masalah-masalah tersebut.

1. Tidak Gegabah Dalam Berfikir Dan Menyimpulkan.
Biasanya, bila Ulama' ahli ijtihad dihadapkan kepada suatu masalah
yang belum pernah terjadi, mereka bersikap ekstra hati-hati. Bahkan,
pada banyak kesempatan, mereka tidak segera memberikan jawaban atas
masalah tersebut. Mereka menunda jawabannya untuk beberapa hari,
sehingga memiliki waktu yang cukup untuk mempelajarinya dengan Ulama'
ahli ijtihad lainnya:

Abu Hushain Utsman bin 'Ashim Al-Asady rahimahullah berkata:
"Sesungguhnya mereka itu sangat gegabah ketika berfatwa tentang suatu
masalah, yang andaikan masalah tersebut disampaikan kepada Khalîfah
Umar bin Al-Khatthâb Radhiyallahu 'anhu , niscaya ia segera
mengumpulkan para pemuka sahabat yang ikut dalam perang Badar untuk
berdiskusi."[1]

Demikianlah tradisi para Khulafâur Râsyidîn ketika menghadapi berbagai
masalah kontemporer. Mereka mengumpulkan Ulama' alhi ijtihad dari
kalangan Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berdiskusi dan
bahkan membuat pengumuman kepada masyarakat umum: "Barang siapa yang
memiliki ilmu tentang permasalahan tersebut hendaknya segera
menyampaikannya".

Dikisahkan, ada seorang wanita datang kepada Khalîfah Umar bin
Al-Khatthab Radhiyallahu 'anhu, yang menceritakan bahwa suaminya mati
dibunuh orang lain. Ia meminta agar ia mendapatkan bagian warisan dari
diyat (tebusan) suaminya itu. Khalîfah Umar Radhiyallahu 'anhu
berkata: “Aku tidak mengetahui apakah engkau juga berhak mendapatkan
bagian darinya?” Lalu beliau Radhiyallahu 'anhu membuat pengumuman:
“Barang siapa yang mengetahui ilmu dari Rasulullâh Shallallahu 'alaihi
wa sallam tentang masalah ini, hendaknya datang menemuiku.” Maka
datanglah ad-Dhahak bin Sufyân Al-Kilâbi, yang berkata: “Rasulullâh
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyuruhku untuk memberikan
bagian warisan istri Asyyam Ad-Dhababi dari diyat suaminya.”
Mendapatkan masukan ini, maka Khalifah Umar Radhiyallahu 'anhu segera
memberikan bagian warisan wanita tersebut dari diyat suaminya". [HR.
at-Thabrâni, al-Baihaqi dan dishahîhkan oleh al-Albâni rahimahullah]

Inilah metode pertama yang harus ditempuh oleh setiap orang yang
hendak memahami dan menghukumi berbagai masalah kontemporer.

2. Menguasai Hukum Syari'at.
Keahlian pertama dan utama yang harus dimiliki seseorang yang hendak
memahami dan menghukumi berbagai masalah kontemporer ialah penguasaan
terhadap ilmu syari'at. Berbagai disiplin ilmu syari'at terkait, baik
ilmu bahasa, ushul fiqih, ilmu hadits dan lainnya benar-benar harus
terlebih dahulu dikuasai. Apalah gunanya seseorang merenung dan
berfikir tentang suatu kasus kontemporer, bila ia tidak menguasai ilmu
agama. Orang itu hanya akan menyengsarakan dirinya dan juga
menyesatkan saudaranya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ
وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ
الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ مَتَاعٌ
قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lisanmu secara dusta"ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung, itu
adalah kesenangan sedikit; sedangkan bagi mereka azab yang pedih."
[an-Nahl/16:116-117]

Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ
الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حتَّى
إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِماً، اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً،
فَسُئِلُواْ فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا

"Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat ilmu dengan cara mencabutnya
dari para hamba-Nya, akan tetapi Ia mengangkat ilmu dengan cara
mematikan para Ulama'. Hingga pada saatnya nanti, Allah tidak lagi
menyisakan seorang Ulama'-pun, sehingga manusia akan menobatkan
orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka, kemudian mereka ditanya,
dan merekapun menjawab dengan tanpa ilmu, akibatnya merekapun tersesat
dan menyesatkan". [Muttafaq 'alaih]

Tentu kita semua sepakat bahwa ilmu syari'at tidak mungkin dapat
dikuasai oleh "Ulama' karbitan" atau "praktisi dadakan"[2]. Ulama'
karbitan atau praktisi dadakan yang dihasilkan berbagai institusi atau
badan usaha, dengan melatih kadernya selama beberapa waktu, tidaklah
layak untuk menjadi rujukan dalam permasalahan semacam ini. Apalagi
untuk menjadi Ulama' benar-benar berhak untuk berijtihad dalam
berbagai masalah kontemporer.

Pada suatu hari imam Mâlik bin Anas rahimahullah mendapati imam
Rabî'ah bin Abdurrahmân dalam keadaan menangis. Spontan, imam Mâlik
rahimahullah bertanya kepadanya: “ Apa gerangan yang menyebabkan kamu
menangis? Apakah engkau ditimpa musibah?” Ia menjawab: “Tidak, aku
menangis karena adanya orang tak berilmu yang dimintai fatwa.” Lalu
imam Rabî'ah berkata:” Sungguh, sebagian orang yang berfatwa di sini
lebih layak untuk dipenjara daripada para pencuri.”[3]

Ibnu Shalah rahimahullah mengomentari kisah ini dengan berkata:
“Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa merahmati imam Rabî'ah, apa
gerangan komentarnya andaikan ia menyaksikan perilaku masyarakat di
zaman ini.”[4]

Sebagian Ulama' menjelaskan alasan yang mendasari Ulama' ahli ijtihad
bersikap ekstra hati-hati, dengan berkata: “Barang siapa yang hendak
menjawab suatu pertanyaan, maka hendaknya terlebih dahulu ia
memikirkan bagaimanakah caranya ia dapat selamat di akhirat,
setelahnya, barulah ia menjawab.” [5]

3. Menguasai Permasalahan Yang Dihadapi Dengan Sempurna.
Dahulu para Ulama' berkata:

الحُكْمُ عَلَى الشَّيءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ

"Hukum suatu masalah adalah cabang pemahaman terhadap gambaran masalah
tersebut".

Berdasarkan ini, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Tidaklah seorang
mufti dan hakim dapat memberikan fatwa atau keputusan hukum dengan
benar, kecuali bila ia memiliki dua jenis pemahaman: Pertama:
pemahaman tentang masalah yang terjadi, dan kajian mendalam tentang
hakekat sebenarnya pada kejadian tersebut. Kajian itu dapat dilakukan
dengan bantuan berbagai pertanda dan indikasi yang berkaitan, hingga
ia benar-benar menguasi masalah yang dimaksud. Pemahaman kedua:
Memahami apa yang menjadi kewajiban dalam masalah itu, yaitu hukum
Allah Azza wa Jalla yang telah diputuskan dalam al-Qur'ân atau melalui
lisan Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang masalah itu.
Selanjutnya ia mencocokkan kedua jenis pemahaman ini."[6]

"Sesungguhnya realita suatu masalah -menurut Ulama- terbagi menjadi dua bagian:

Bagian pertama : realita yang memiliki pengaruh dalam penentuan hukum
syari'at. Memahami realita jenis ini merupakan suatu keharusan.
Barangsiapa yang menghukumi suatu masalah, tanpa memahami realitanya,
maka dia telah berbuat kesalahan. Jika suatu realita memiliki pengaruh
dalam penentuan hukum, maka wajib di kuasai oleh para Ulama'.

Bagian kedua : Realita yang tidak memiliki pengaruh dalam penentuan
hukum syari'at, misalnya: kejadiannya demikian dan demikian serta
cerita yang panjang lebar; akan tetapi realita dan kisah tersebut sama
sekali tidak mempengaruhi penentuan hukum syari'at.

Ketika berijtihad, para Ulama' mengabaikan realita semacam ini,
walaupun sebenarnya mereka memahaminya. Dengan demikian tidak setiap
realita yang diketahui memiliki pengaruh dalam penentuan hukum
syari'at".[7]

Realita jenis kedua inilah yang disebut dalam ilmu ushul fiqih dengan
(الأَوْصَافُ الطَّرْدِيَّةُ). Realita jenis kedua ini tergolong dalam
"ilmu yang tidak bermanfaat untuk diketahui, dan tidak merugikan bila
diabaikan".

Untuk dapat membedakan antara realita yang berpengaruh dalam
menentukan hukum dari realita yang tidak berpengaruh sama sekali,
harus mengetahui ilmu syari'at yang merupakan standar berbagai fakta
dan realita.

Sebagai contoh: Kita semua mengetahui bahwa khamer adalah minuman yang
diharamkan. Kita juga mengetahui bahwa khamer di zaman dahulu terbuat
dari anggur dan kurma, sebagaimana dikisahkan dalam ayat 67 surat
an-Nahl. Nah, apakah realita ini memiliki pengaruh dalam penentuan
hukum haram khamer, sehingga khamer yang terbuat dari tebu tidak
dinamakan khamer alias halal?

Ulama' ahli ijtihad telah menjelaskan bahwa khamer adalah haram,
walaupun terbuat dari tebu atau lainnya. Keputusan hukum ini
berdasarkan kepada sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

"Setiap yang memabukkan adalah khamer, dan setiap yang memabukkan
adalah haram”. [HR Muslim]

Dengan demikian realita khamer zaman dahulu, yaitu terbuat dari anggur
dan korma tidak mempengaruhi hukum khamer.

Untuk dapat memahami realita suatu masalah, seorang ahli ijtihad menempuh cara:
a. Bertanya kepada pakar permasalahan tersebut.
b. Bertanya langsung kepada orang yang ditimpa permasalahan tersebut.

4. Standar Kebenaran Adalah Al-Qur'ân Dan Sunnah.
Seluruh Ulama' telah sepakat bahwa tidaklah ada agama, selain agama
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tiada
ibadah melainkan yang telah beliau ajarkan, tiada kehalalan melainkan
yang telah beliau halalkan dan tiada keharaman melainkan yang telah
beliau haramkan. Dengan demikian, yang menjadi standar kebenaran dalam
segala urusan, termasuk berbagai masalah kontemporer adalah al-Qur'ân
dan Sunnah, baik selaras dengan pendapat kebanyakan Ulama' atau
menyelisihinya.

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

"Dan segala yang diajarkan oleh Rasulullah kepadamu, maka amalkanlah,
dan segala yang dilarangnya, maka tinggalkanlah". [al-Hasyr/59:7]

Kebenaran tidaklah dipandang dari ringan atau beratnya suatu pendapat
bila diamalkan. Rasa ringan atau berat ketika beramal sangat relatif,
dan banyak penyebabnya; oleh karena itu imam asy-Syaukani berkata:
“Yang wajib kita anut dan harus kita amalkan adalah pendapat yang
berdasarkan dalil shahîh. Dan bila dalil-dalilnya terkesan saling
bertentangan, maka ringannya atau beratnya suatu pendapat tidak dapat
dijadikan sebagai alasan penguat. Pada saat itu, kita berkewajiban
untuk mencari alasan lain yang dibenarkan, guna menguatkan suatu
pendapat.” [8]

5. Tidak Terperdaya Dengan Perbedaan Nama Sehingga Melalaikan Hakekat Masalah.
Di antara metode ijtihad yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam menghadapi berbagai masalah kontemporer ialah dengan
senantiasa mengaitkan hukum permasalahan dengan hakekatnya, dan bukan
dengan sekedar penamaannya. Oleh karena itu beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ، يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ
اسْمِهَا، وَتُضْرَبُ عَلَى رُؤُوسِهِمْ الْمَعَازِفُ، يَخْسِفُ اللهُ
بِهِمُ الأََرْضَ وَيُجْعَلَ مِنْهُمْ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ

“Sungguh akan ada sekelompok orang dari umatku yang minum khamer, dan
mereka menamakannya dengan selain namanya, sambil ditabuh alat-alat
musik di atas kepala mereka, lalu Allah Azza wa Jalla akan
menenggelamkan (sebagian) mereka ke dalam bumi, dan sebagian lagi
dikutuk menjadi kera dan babi”. [HR Abu Dâwud, dan hadits ini memiliki
banyak syawâhid]

Ibnu Hajar al-Asqalâni as-Syâfi'i rahimahullah berkata, "Pada hadits
ini terdapat ancaman keras atas orang-orang yang merekayasa berbagai
cara untuk menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah Azza wa Jalla
dengan cara mengubah namanya. Dan pada hadits ini pula dapat
disimpulkan bahwa setiap hukum senantiasa mengikuti 'illah-nya
(alasannya), dan 'illah diharamkannya khamer ialah karena memabukkan.
Jika suatu minuman menyebabkan seseorang mabuk, maka minuman itu pasti
haram, walau namanya telah berubah; bukan lagi khamer.”

Ibnu al-'Arabi rahimahullah berkata: “Hadits ini adalah dasar bagi
kaidah: "Setiap hukum hanyalah berkaitan dengan makna suatu istilah,
tidak dengan sekedar namanya saja."[9]

Seorang ahli ijtihad yang benar-benar paham syari'at Islam, niscaya
tidak akan terpengaruh oleh kilauan nama yang indah. Mereka menyadari
bahwa kegemaran merubah-rubah nama guna merubah hukum, hanyalah secuil
warisan umat Yahudi. Ulama' ahli ijtihad senantiasa ingat akan wasiat
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada mereka:

لاَ تَرْتَكِبُوْا مَا ارْتَكَبَتِ الْيَهُودُ، فَتَسْتَحِلُّوْا
مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ

"Janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang
Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah
dengan melakukan sedikit rekayasa." [HR. Ibnu Batthah dan dihasankan
oleh Ibnu Katsîr serta disetujui oleh al-Albâni].

Oleh karena itu walaupun piutang telah diberi nama baru yang lebih
menggiurkan yaitu tabungan, atau modal usaha, atau obligasi, atau
sukuk, tetap saja hukumnya adalah piutang. Dengan demikian segala
bentuk keuntungan yang dipungut darinya adalah riba.

6. Tidak Kaku Dalam Menerapkan Fatwa Ulama'.
Semua mengetahui bahwa agama Islam telah berumur lebih dari 14 abad.
Dengan demikian, syari'at Islam telah dipahami dan diamalkan di
berbagai tatanan masyarakat, dengan berbagai perbedaan yang ada di
antara mereka. Masing-masing Ulama' menghadapi berbagai masalah yang
ada di masyarakatnya. Sehingga tidak dipungkiri bahwa karya tulis dan
fatwa masing-masing Ulama' sering kali terwarnai oleh tradisi dan gaya
hidup yang ada di masyarakatnya.

Oleh karena itu, merupakan sikap bijak, bila senantiasa
mempertimbangkan perbedaan tradisi dan gaya hidup zaman kita dengan
yang ada di zaman Ulama' yang menjadi rujukan, ketika mengkaji
berbagai masalah kontemporer.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Mempertimbangkan adat dan tradisi
yang berlaku di suatu masyarakat ketika berfatwa adalah sikap yang
benar-benar cemerlang. Barang siapa berfatwa hanya berdasarkan apa
yang tertera dalam suatu kitab, tanpa mempertimbangkan perbedaan
tradisi, adat istiadat, waktu, dan keadaan yang ada pada masing-masing
masyarakat, maka ia telah sesat dan menyesatkan. Kejahatannya terhadap
ajaran agama lebih besar dibanding kejahatan seorang dokter yang
berusaha mengobati masyarakat di berbagai negeri dengan segala
perbedaan tradisi, masa dan tabiat mereka; hanya berdasarkan
keterangan salah satu buku kedokteran saja. Dokter atau mufti bodoh
ini merupakan hal yang paling berbahaya bagi keutuhan raga dan jiwa
masyarakat."[10]

Sebagai contoh nyata, bahwa dalam buku-buku fiqih dan tafsîr telah
dinyatakan, jika seorang suami memanggil istrinya dengan panggilan
“wahai ibuku” atau yang serupa, maka ia telah terkena hukum dhihâr.
Sehingga ia tidak dibenarkan untuk menggauli istrinya sampai ia
membayar kafarat, yaitu memerdekakan budak, atau berpuasa dua bulan
berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin. Hukum ini
dengan tegas dijelaskan dalam surat al-Mujâdilah ayat 2-4.

Jika kita menerapkan keterangan Ulama' di atas pada masyarakat kita,
maka 90 % pasangan suami istri di negeri ini terkena kewajiban itu.
Kebanyakan kaum suami di negeri kita memanggil istrinya dengan sebutan
: ibu, mama, adik, atau lainnya.

Guna menjembatani penerapan hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqih
terhadap fakta yang ada di masyarakat, para Ulama’ menggariskan suatu
kaidah yang berbuyi:

لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ العَادَاتِ

“Tidak dipungkiri terjadinya perubahan hukum syar’i, selaras dengan
perubahan adat.”

atau :

العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

"Tradisi itu memiliki kekuatan hukum."

Berdasarkan penjelasan di atas, para Ulama' menyatakan bahwa bila
suatu tradisi tidak menyelisihi syari'at, maka boleh diamalkan, bahkan
pada beberapa kesempatan wajib untuk diamalkan. Akan tetapi bila adat
dan tradisi suatu masyarakat menyelisihi ajaran syari'at, maka haram
untuk dilakukan. Sehingga hukum syari'at tetap baku dan tidak dapat
berubah karena perubahan adat dan tradisi. Inilah makna kaidah
fiqhiyyah (kaidah dalam ilmu fiqih) di atas[11]. Hal ini berdasarkan
firman Allah kAzza wa Jalla :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan
mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka
sesungguhnya dia telah tersesat, sesat yang nyata." [al-Ahzâb/33:36].

Dr. Muhammad Shidqi Al-Burnu berkata: "Seluruh ulama' fiqih telah
sepakat bahwa hukum-hukum yang dapat berubah-rubah selaras dengan
perubahan zaman dan perilaku manusia ialah hukum-hukum yang merupakan
hasil ijtihad Ulama'. Yaitu hukum-hukum yang merupakan upaya Ulama'
dalam merealisasikan maslahat, qiyas, atau adat. Dengan demikian,
hukum-hukum yang berdasarkan dalil-dalil al-Qur'ân dan Sunnah, tetap
dan tidak dapat berubah, serta tidak tercakup oleh kaidah ini.
Berdasarkan itulah, sebagian ulama' fiqih berpendapat bahwa teks
kaidah ini yang lebih tepat ialah:

لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ ْلإِجْتِهَادِيَةِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ

"Tidak dapat dipungkiri terjadinya perubahan hukum-hukum ijtihadiyyah
berdasarkan perubahan zaman", guna menepis kerancuan semacam ini. Dan
(saya berpendapat) membubuhkan tambahan semacam ini pada kaidah
tersebut bagus dan tepat adanya."[12]

7. Mencarikan Solusi Jitu.
Tidak dipungkiri bahwa kebanyakan dari masalah kontemporer di
masyarakat adalah hasil rekayasa dan gagasan orang-orang non Muslim,
yang tidak perduli dengan halal dan haram. Oleh karena itu, bila
seorang ahli ijtihad telah membuktikan akan haramnya suatu masalah
kontemporer di masyarakat, hendaknya ia tidak merasa puas dengan
kesimpulan hukum tersebut; sampai ia berhasil menyodorkan alternatif
yang halal. Dengan demikian, umat lslam dapat terhindar dari berbagai
amalan haram dan dapat merealisasikan kemaslahatannya dengan cara-cara
yang diridhai Allah Azza wa Jalla.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Bila seorang mufti yang
benar-benar berilmu dan tulus ditanya oleh seseorang tentang suatu hal
yang terlarang, padahal ia benar-benar memerlukannya, niscaya mufti
itu akan segera menunjukkannya alternatif yang halal. Dengan demikian,
mufti tersebut berhasil menutup pintu perbuatan haram, dan membukakan
solusi-solusi yang halal. Tentu tidak ada orang yang mampu melakukan
hal ini selain orang-orang yang benar-benar berilmu lagi tulus, yang
benar-benar ikhlas karena Allah k dengan mengamalkan ilmunya. Mufti
semacam ini bak seorang dokter yang handal lagi tulus, ia berusaha
melindungi pasiennya dari mara bahaya, dan memberikan resep manjur
baginya. Demikianlah semestinya perilaku para dokter rohani dan
jasmani.

Diriwayatkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus seorang Nabi pun melainkan
wajib atas Nabi itu untuk menunjuki umatnya kepada setiap kebaikan
yang ia ketahui, dan memperingatkan mereka dari setiap kejelekan yang
ia ketahui". Demikianlah perangai para Rasul dan para ahli waris
mereka sepeninggalnya" [13]

Apa yang dipaparkan di atas hanyalah sekelumit metode Ulama' ahli
ijtihad yang dapat dirangkumkan dari beberapa referensi. Semoga,
paparan singkat ini bermanfaat bagi semuanya.

Wallâhu'alam bis shawâb.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02//Tahun XIII/1431H/2010M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Târîkh Dimasyq oleh Ibnu 'Asyâkir 38/411.
[2]. Seorang praktisi perbankan syari'ah di negeri kita, menceritakan
kepada saya awal perjalannya menjadi seorang praktisi perbankan
syari'ah. Perjalanannya dimulai dari adanya keinginan pemilik bank
konfensional tempat ia bekerja untuk memindahkannya dari perbankan
konfensional ke perbankan syari'ah. Guna mewujudkan keinginannya ini,
sahabat ini pun ditugaskan untuk mengikuti trening selama 6 bulan, dan
seusai training tersebut ia dinobatkan sebagai praktisi perbankan
syari'ah.
[3]. At-Tamhîd oleh Ibnu Abdil Bar 3/5.
[4]. Adâbul Mufti wal Mustafty, oleh Ibnu Shalâh 1/20.
[5]. Idem 1/13.
[6]. I'lâmul Muwaqi'în oleh Ibnul Qayyim 1/87-88.
[7]. Ad-Dhawâbithus Syar'iyyah Li Mauqifil Muslim fil Fitan hal:45.
[8]. Irsyâdul Fuhûl oleh asy-Syaukâni 2/276.
[9]. Fathul-Bâri oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni 10/56.
[10]. I'ilâmul Muwaqi'în oleh Ibnul Qayyim 3/78.
[11]. Untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut tentang kaidah ini,
silahkan baca kitab: Al-Asybah wan Nazhâ'ir oleh Imam As-Suyûthi
89-101, Al-Wajîz Fî Idhâhi Qawâidil Fiqh Al-Kulliyyah, oleh Dr.
Muhammad Shidqi Al-Burnu 270-313.
[12]. Al-Wajîz Fî Idhâhi Qawâidil Fiqh Al-Kulliyyah, oleh Dr. Muhammad
Shidqi Al-Burnu 311.
[13]. I'lamul Muwaqi'in oleh Ibnul Qayyim 4/159.


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke