BERMULA DARI PENGKAFIRAN, BERUJUNG PENGEBOMAN
Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Atsari
http://almanhaj.or.id/content/2686/slash/0

Kehormatan seorang Muslim sangat mulia di sisi Allah Azza wa Jalla. Oleh karena 
itu, tidak boleh merusak kehormatan seorang Muslim dengan cara-cara yang tidak 
dibenarkan syari'at, seperti menuduh dan menghukumi kafir terhadap seseorang 
yang zhahirnya Muslim tanpa kaedah-kaedah yang benar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Tidak seorangpun berhak 
mengkafirkan seseorang dari kaum Muslimin, meskipun dia telah melakukan 
kekeliruan atau kesalahan, sampai ditegakkan hujjah (argumuen) kepadanya dan 
jalan yang benar jelas baginya. Karena orang yang telah tetap keislamannya 
secara yakin, maka keislamannya itu tidak akan hilang darinya dengan keraguan. 
Bahkan keislamannya itu tetap ada sampai ditegakkan hujjah dan dihilangkan 
syubhat (kesamaran)”[1] 

BAHAYA PENGKAFIRAN DENGAN TANPA KAIDAH YANG BENAR.
Syaikh Muhammad al-‘Utsaimîn rahimahullah menjelaskan bahaya mengkafirkan 
seorang Muslim dengan tanpa kaidah yang benar dengan mengatakan, “Tidak boleh 
bersikap meremehkan (sembrono) dalam menghukumi kafir atau fasiq terhadap 
seorang Muslim, karena di dalam perkara itu terdapat dua bahaya yang besar.

Pertama : Membuat kedustaan terhadap Allah Azza wa Jalla di dalam hukum, dan 
terhadap orang yang dihukumi (kafir) pada sifat yang dia lontarkan kepadanya.” 

Aku katakan: Larangan tentang hal ini banyak sekali, antara lain firman Allah 
Azza wa Jalla.

"Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat 
kedustaan terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? 
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim". 
[al-An'âm/ 6:144]

Dan ayat-ayat lain yang melarang berbicara atas nama Allah tanpa ilmu.

Kemudian Syaikh al-'Utsaimin rahimahullah mengatakan.

Kedua : Terjatuh ke dalam perkara yang dia tuduhkan kepada saudaranya tersebut, 
jika saudaranya selamat dari apa yang dia tuduhkan. 

Dalam Shahîh Muslim `Abdullâh bin Umar Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa 
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا 

"Jika seseorang mengkafirkan saudaranya (se-iman), maka sesungguhnya mengenai 
salah satu dari keduanya". [HR Muslim]

Dan di dalam satu riwayat:

إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ 

"Jika memang dia seperti yang dikatakan. Jika tidak, perkataan itu kembali 
kepada orang yang berkata". [HR Muslim]

Juga sabda Nabi Shallalllahu 'alaihi wa sallam dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu 
beliau bersabda:

وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ 
إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ 

"Barangsiapa memanggil orang lain dengan kekafiran atau dia berkata “Hai musuh 
Allah”, padahal tidak benar, maka hal itu kembali padanya" [2] 

SEJARAH PENGKAFIRAN DI ZAMAN INI
Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hafizhahullâh berkata, "Kita meyakini bahwa 
permasalahan 'pengkafiran' -pada fase-fasenya yang akhir- di zaman kita ini, 
awal muncul keburukannya mulai di dalam penjara-penjara Mesir pada tahun enam 
puluhan Masehi –sekitar empat puluh tahun yang lalu- dari sebagian para pemikir 
harakah-harakah (para sastrawan) yang mengkafirkan masyarakat secara umum dan 
menghukumi mereka dengan murtad.

Sehingga diriwayatkan dari sebagian mereka itu yang mengatakan, 'Aku tidak 
mengetahui seorang Muslim-pun di atas bumi ini selain diriku, dan seorang yang 
lain di India selatan!!!'

Kemudian pada pertengahan tahun tujuh puluhan Masehi, sikap ekstrim pelakunya 
semakin bertambah menyimpang dan semakin tajam. Selanjutnya kami telah melihat 
orang yang mengkafirkan semua manusia seluruhnya. Dia tidak mengecualikan 
selain orang yang berbai'at kepada syaikh (gurunya) dan imam jama'ahnya 
(organisasinya)!!

Mereka itu sendiri (berpecah belah) menjadi banyak jama'ah dan bai'at!!

Pada tahun delapan puluhan Masehi, fitnah (baca: musibah) mereka itu semua 
mengendor sedikit. Selanjutnya kami melihat orang yang membatasi pengkafiran 
hanya kepada pemerintah-pemerintah dan sistem-sistem, mulai dari Pemimpin 
negara, lalu wakilnya, menteri-menterinya...sampai pasukannya dan tentaranya!!

Kelompok yang akhir ini juga (di dalamnya) terdapat beberapa tingkatan:
• Sebagian mereka mengkafirkan pemimpin negara dan wakilnya saja!
• Sebagian mereka ada yang menggabungkan –selain di atas- menteri-menterinya 
juga!
• Sebagian mereka ada yang menambahkan anggota Parlemen!
• Dan seterusnya.

Mereka saling berselisih dan pendapat mereka saling kontradisi; bahkan kami 
telah melihat sebagian mereka memvonis sesat kepada sebagian yang lainnya dan 
menuduh mereka dengan tuduhan-tuduhanyang sangat keji.

Bahkan, banyak di antara mereka yang mengkafirkan dan menghukumi murtad 
kelompok dan jama`ah yang menyelisihi mereka.

Seandainya kita memperhatikan secara mendalam, niscaya kita akan melihat bahwa 
akar masalah perselisihan mereka adalah 'berhukum dengan selain hukum yang 
Allah turunkan'

Maka, bagaimana jika keadaan itu sampai kepada kenyataan berupa keburukan dan 
kezhaliman. Dari mulai takfîr (pengkafiran) menjadi revolusi, kemudian 
pemberontakan dan pengeboman, sehingga menjerumuskan umat ini ke dalam ujian 
yang sangat berat dan cobaan yang sangat buruk. 

Para Ulama kita (Haiah Kibaril 'Ulama) yang dipimpin oleh yang mulia Ustadz 
kita al-'Allâmah al-Imam Syaikh `Abdul 'Azîz bin Bâz rahimahullah -semoga Allah 
Azza wa Jalla menjaga mereka yang masih hidup untuk kebaikan umat ini dan 
merahmati mereka yang sudah wafat- telah menyadari bahaya yang sedang 
menyelimuti dan terjadi ini, bahaya yang menjalar dan menyusup, mulai dari 
pengkafiran sampai pengeboman. Para Ulama, mereka menulis penjelasan yang agung 
untk memperingatkan umat dari bencana ini dan menjauhkan orang dari pelakunya, 
yaitu orang-orang yang tidak lurus.

Penjelasan tersebut disiarkan di Majalah Al-Buhûts al-Islâmiyah, no. 56, bulan 
Shafar, th. 1420 H, namun tertahan, tidak menyebar (di tengah masyarakat)."[3]

PENGKAFIRAN LALU PENGEBOMAN
Pengkafiran terhadap seorang Muslim mengakibatkan perkara-perkara yang 
berbahaya, seperti menghalalkan darah dan harta, mencegah warisan, batalnya 
pernikahan, dan lainnya dari akibat-akibat kemurtadan. Untuk itu, seorang 
Mukmin tidak boleh menghukumi kafir kepada seorang Muslim lainnya hanya karena 
sedikit syubhat (kesamaran). Jika pengkafiran yang ditujukan kepada 
individu-individu mengandung bahaya yang besar, lantas bagaimana jika ditujukan 
kepada pemerintah-pemerintah Muslim? Tentu bahayanya jauh lebih besar! Karena 
pengkafiran seperti ini akan membuahkan sikap membangkang kepada ulil amri, 
mengangkat senjata, menyebarkan kekacauan, menumpahkan darah, dan kerusakan 
manusia dan negara. 

Oleh karena itu Hai'ah Kibaril 'Ulama (Komisi Ulama Besar) di Kerajaan Saudi 
Arabia mengisyaratkan adanya hubungan erat antara fenomena pengeboman yang 
terjadi di berbagai negara Islam dengan pengkafiran. Hai'ah Kibaril 'Ulama 
menjelaskan, "Sesungguhnya Majlis Hai'ah Kibaril 'Ulama di dalam pertemuannya 
ke-49 di kota Thaif, mulai tanggal 2/4/1419 H, telah mengkaji apa yang terjadi 
di banyak negara-negara Islam –dan lainnya- yang berupa takfîr (fenomena 
pengkafirkan) dan tafjîr (pengeboman), dan akibat-akibatnya yang berupa 
penumpahan darah dan penghancuran bangunan-bangunan".[4]

Point-point penjelasan Hai'ah Kibaril 'Ulama ini adalah sebagai berikut:

1. Takfîr (menghukumi kafir) adalah hukum syari'at, tempat kembalinya adalah 
kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Sebagaimana tahlîl (menghalalkan), 
tahrîm (mengharamkan), dan îjâb (mewajibkan), dikembalikan kepada Allah Azza wa 
Jalla dan Rasul-Nya. Demikian pula takfîr.

2. Apa yang muncul dari keyakinan yang salah ini (yaitu tergesa-gesa 
menjatuhkan vonis kafir), yang berupa penghalalan darah, pelanggaran 
kehormatan, perampasan harta khusus dan umum, pengeboman rumah-rumah dan 
kendaraan-kendaraan, serta pengrusakan bangunan-bangunan; semua perbuatan ini 
dan yang semacamnya diharamkan secara syari'at berdasarkan ijmâ' kaum Muslimin.

3- Ketika Majlis Hai'ah Kibaril 'Ulama menjelaskan hukum takfîr kepada manusia 
dengan tanpa bukti dari Kitab Allah k dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi 
wa sallam, serta menjelaskan bahwa melontarkan tuduhan kekafiran termasuk 
perbuatan dosa dan dan menyebabkan berbagai keburukan, maka sesungguhnya Majlis 
mengumumkan bahwa agama Islam berlepas diri dari keyakinan yang salah ini. Dan 
apa yang terjadi di sebagian negara berupa penumpahan darah orang yang tidak 
bersalah, pengeboman rumah-rumah, kendaraan-kendaraan, serta 
fasilitas-fasilitas umum dan khusus, serta pengrusakan bangunan-bangunan, itu 
adalah kejahatan, dan agama Islam berlepas diri darinya. 

Demikian pula semua Muslim yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan hari 
akhir, mereka berlepas diri darinya. Itu hanyalah tindakan orang yang memiliki 
pemikiran menyimpang dan akidah yang sesat, dan merekalah yang akan menanggung 
dosanya dan kejahatannya. Perbuatan mereka tidak boleh dikaitkan dengan Islam 
dan kaum Muslimin yang mengikuti petunjuk Islam, berpegang teguh dengan 
al-Qur`ân dan Sunnah, serta berpegang dengan tali Allah yang kokoh. Namun, itu 
hanyalah semata-mata perbuatan merusak dan kejahatan yang ditolak oleh syari'at 
dan fitrah. Oleh karena itu telah datang nash-nash syari'at yang 
mengharamkannya dan memperingatkan berkawan dengan pelakunya.[5] 

Perbuatan sebagian orang yang melakukan bom bunuh diri dengan anggapan jihad fî 
sabîlillâh merupakan anggapan dan perbuatan yang rusak. 

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn rahimahullah berkata, "...yang aku 
maksudkan adalah orang-orang yang meledakkan bom di tengah-tengah manusia, 
dengan anggapan mereka bahwa itu termasuk jihâd fî sabîlillâh! 

Padahal hakekatnya, keburukan yang mereka timpakan terhadap Islam dan kaum 
Muslimin jauh lebih besar daripada kebaikan yang mereka perbuat. Akibat 
perbuatan mereka, citra Islam menjadi buruk di mata orang-orang Barat dan 
lainnya! Apa yang telah mereka hasilkan? Apakah orang-orang kafir mendekat 
kepada Islam, atau mereka semakin menjauh darinya? Sedangkan bagi umat Islam 
sendiri, hampir saja setiap Muslim menutupi wajahnya agar tidak dinisbatkan 
kepada kelompok yang membuat kegemparan dan ketakutan ini. Dan agama Islam 
berlepas diri darinya.

Walaupun jihâd sudah diwajibkan, akan tetapi para Sahabat tidak pernah pergi ke 
masyarakat kafir untuk membunuh mereka; kecuali jihad yang memiliki bendera 
dari Penguasa yang mampu melakukan jihâd. Adapun teror ini –demi Allah- 
merupakan cacat bagi umat Islam. Aku bersumpah dengan nama Allah Azza wa Jalla 
; bahwa kita tidak mendapatkan hasil sama sekali, bahkan sebaliknya, 
sesungguhnya hal itu memperburuk citra. Seandainya kita meniti jalan hikmah, 
yaitu Pertama: bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan kita memperbaiki diri 
kita, kedua: berusaha memperbaiki orang-orang lain dengan metode-metode 
syari'at, sungguh hasilnya adalah hasil yang baik".[6]

Maka, bukankah kita meninginkan perbaikan? Hanya Allah Azza wa Jalla -lah Azza 
wa Jalla tempat memohon pertolongan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10//Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Majmû’ Fatâwa 12/465-466
[2]. Lihat: Al-Qawâidul Husna, hal: 148-149, karya Syaikh Muhammad 
al-‘Utsaimîn, takhrîj: Abu Muhammad Asyraf bin `Abdul Maqshûd
[3]. At-Tabshîr bi Qawâ'idit Takfîr, hlm.94-98, karya Syaikh Ali bin Hasan 
al-Halabi
[4]. At-Tabshîr bi Qawâ'idit Takfîr, hlm.100-101, karya Syaikh Ali bin Hasan 
al-Halabi
[5]. Fatwa ini secara lengkap di muat di dalam Kitab At-Tabshîr bi Qawâ'idit 
Takfîr, hlm.100-113, karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi
[6]. Dari kaset awal dari Syarh Ushûlut Tafsîr, side A, tanggal 2-Rabi'ul 
Awwal-1419 H. Dinukil dari Kalimat Tadzkirah, hlm. 55-56                        
                

Kirim email ke