TANDA-TANDA KECIL KIAMAT (13)
Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil
ttp://almanhaj.or.id/content/3184/slash/0

13. HILANGNYA ILMU DAN MENYEBARNYA KEBODOHAN
Diantara tanda-tanda Kiamat adalah hilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan. 
Dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau 
berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ.

‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah hilangnya ilmu dan tersebarnya 
kebodohan.’” [1]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Syaqiq, beliau berkata, “ِAku pernah bersama 
‘Abdullah dan Abu Musa, keduanya berkata, ‘Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
bersabda:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لأَيَّامًا يَنْزِلُ فِيهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ 
فِيهَا الْعِلْمُ.

‘Sesungguhnya menjelang datangnya hari Kiamat akan ada beberapa hari di mana 
kebodohan turun dan ilmu dihilangkan.’” [2]

Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, 
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى 
الشُّحُّ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ.

‘Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, 
kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin banyak.’”[3]

Ibnu Baththal berkata, “Semua yang terkandung dalam hadits ini termasuk 
tanda-tanda Kiamat yang telah kita saksikan secara jelas, ilmu telah berkurang, 
kebodohan nampak, kebakhilan dilemparkan ke dalam hati, fitnah tersebar dan 
banyak pembunuhan.” [4]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari ungkapan itu dengan 
perkataannya, “Yang jelas, sesungguhnya yang beliau saksikan adalah banyak 
disertai adanya (tanda Kiamat) yang akan datang menyusulnya. Sementara yang 
dimaksud dalam hadits adalah kokohnya keadaan itu hingga tidak tersisa lagi 
keadaan yang sebaliknya kecuali sangat jarang, dan itulah isyarat dari ungkapan 
“dicabut ilmu”, maka tidak ada yang tersisa kecuali benar-benar kebodohan yang 
murni. Akan tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan adanya para ulama, karena 
mereka saat itu adalah orang yang tidak dikenal di tengah-tengah mereka.” [5]

Dicabutnya ilmu terjadi dengan diwafatkannya para ulama. Dijelaskan dalam 
hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, 
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، 
وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّـى إِذَا لَمْ يَبْقَ 
عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ 
عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.

‘Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi 
Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak tersisa 
lagi seorang alim, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai 
pemimpin, lalu mereka ditanya, kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa 
ilmu, maka mereka sesat lagi menyesatkan orang lain.’” [6]

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menjelaskan bahwa yang dimaksud 
dengan mencabut ilmu dalam hadits-hadits terdahulu yang mutlak bukan 
menghapusnya dari hati para penghafalnya, akan tetapi maknanya adalah 
pembawanya meninggal, dan manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemutus 
hukum yang memberikan hukuman dengan kebodohan mereka, sehingga mereka sesat 
dan menyesatkan.”[7]

Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu al-Qur-an dan as-Sunnah, ia 
adalah ilmu yang diwariskan dari para Nabi Allaihissallam, karena sesungguhnya 
para ulama adalah pewaris para Nabi, dan dengan kepergian (wafat)nya mereka, 
maka hilanglah ilmu, matilah Sunnah-Sunnah Nabi, muncullah berbagai macam 
bid’ah dan meratalah kebodohan.

Adapun ilmu dunia, maka ia terus bertambah, ia bukanlah makna yang dimaksud 
dalam berbagai hadits. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa 
sallam :

فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.

“Lalu mereka ditanya, kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka 
mereka sesat lagi menyesatkan orang lain.”

Kesesatan hanya terjadi ketika bodoh terhadap ilmu agama. Para ulama yang 
sebenarnya adalah mereka yang mengamalkan ilmu mereka, memberikan arahan kepada 
umat, dan menunjuki mereka jalan kebenaran dan petunjuk, karena sesungguhnya 
ilmu tanpa amal adalah sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan akan menjadi 
musibah bagi pemiliknya. Dijelaskan pula dalam riwayat al-Bukhari:

وَيَنْقُصُ الْعَمَلُ.

“Dan berkurangnya pengamalan.” [8]

Imam adz-Dzahabi rahimahullah ulama besar ahli tarikh (sejarah) Islam berkata 
setelah memaparkan sebagian pendapat ulama, “Dan mereka tidak diberikan ilmu 
kecuali hanya sedikit saja. Adapun sekarang, maka tidak tersisa dari ilmu yang 
sedikit itu kecuali sedikit saja pada sedikit manusia, sungguh sedikit dari 
mereka yang mengamalkan ilmu yang sedikit tersebut, maka cukuplah Allah sebagai 
penolong bagi kita.” [9]

Jika hal ini terjadi pada masa Imam adz-Dzahabi, maka bagaimana pula dengan 
zaman kita sekarang ini? Karena setiap kali zaman itu jauh dari masa kenabian, 
maka ilmu pun akan semakin sedikit dan banyak kebodohan. Sesungguhnya para 
Sahabat Radhiyallahu anhum adalah orang yang paling tahu dari umat ini, 
kemudian para Tabi’in, lalu orang yang mengikuti mereka, dan merekalah 
sebaik-baik generasi, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa 
sallam :

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ.

“Sebaik-baiknya manusia adalah pada masaku, kemudian yang setelahnya, kemudian 
yang setelahnya.” [10]

Ilmu senantiasa terus berkurang, sementara kebodohan semakin banyak, sehingga 
banyak orang yang tidak mengenal kewajiban-kewajiban dalam Islam. 

Diriwayatkan dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَدْرُسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ حَتَّى لاَ يُدْرَى مَا 
صِيَامٌ، وَلاَ صَلاَةٌ، وَلاَ نُسُكٌ، وَلاَ صَدَقَةٌ وَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ 
اللهِ k فِـي لَيْلَةٍ فَلاَ يَبْقَى فِي اْلأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ، وَتَبْقَى 
طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ: الشَّيْخُ الْكَبِيرُ، وَالْعَجُوزُ، يَقُولُونَ: 
أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ؛ يَقُولُونَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ 
اللهُ فَنَحْنُ نَقُولُهَا: فَقَالَ لَهُ صِلَةُ: مَا تُغْنِي عَنْهُمْ لاَ إِلهَ 
إِلاَّ اللهُ، وَهُمْ لاَ يَدْرُونَ مَا صَلاَةٌ، وَلاَ صِيَامٌ، وَلاَ نُسُكٌ، 
وَلاَ صَدَقَةٌ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ رَدَّدَهَا عَلَيْهِ 
ثَلاَثًا، كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي 
الثَّالِثَةِ، فَقَالَ: يَا صِلَةُ! تُنْجِيهِمْ مِنَ النَّارِ، ثَلاَثًا.

“Islam akan hilang sebagaimana hilangnya hiasan pada pakaian sehingga tidak 
diketahui lagi apa itu puasa, tidak juga shalat, tidak juga haji, tidak juga 
shadaqah. Kitabullah akan diangkat pada malam hari hingga tidak tersisa di bumi 
satu ayat pun, yang tersisa hanyalah beberapa kelompok manusia: Kakek-kakek dan 
nenek-nenek, mereka berkata, ‘Kami men-dapati nenek moyang kami (mengucapkan) 
kalimat ini, mereka mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah’, maka kami pun 
mengucapkannya. Lalu Shilah [11] berkata kepadanya, “(Kalimat) Laa Ilaaha 
Illallaah tidak berguna bagi mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui apa itu 
shalat, tidak juga puasa, tidak juga haji, dan tidak juga shadaqah. Lalu 
Hudzaifah berpaling darinya, kemudian beliau mengulang-ulangnya selama tiga 
kali. Setiap kali ditanyakan hal itu, Hudzaifah berpaling darinya, lalu pada 
ketiga kalinya Hudzaifah menghadap dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itu 
menyelamatkan mereka dari Neraka (sebanyak tiga kali).” [12]

‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:

لَيُنْزَعَنَّ الْقُرْآنُ مِنْ بَيْنِ أَظْهُرِكُمْ، يُسْرَى عَلَيْهِ لَيْلاً، 
فَيَذْهَبُ مِنْ أَجْوَافِ الرِّجَالِ، فَلاَ يَبْقَى مِنْهُ شَيْءٌ.

“Sungguh, al-Qur-an akan dicabut dari pundak-pundak kalian, dia akan diangkat 
pada malam hari, sehingga ia pergi dari kerongkongan orang-orang. Maka tidak 
ada yang tersisa darinya di bumi sedikit pun.” [13]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Di akhir zaman (al-Qur-an) dihilangkan 
dari mushhaf dan dada-dada (ingatan manusia), maka tidak ada yang tersisa satu 
kata pun di dada-dada manusia, demikian pula tidak ada yang tersisa satu huruf 
pun dalam mushhaf.” [14]

Lebih dahsyat lagi dari hal ini adalah Nama Allah tidak disebut lagi di atas 
bumi. Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Anas Radhiyallahu anhu, bahwa 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَ يُقَالَ فِي اْلأَرْضِ: اللهُ، اللهُ.

“Tidak akan datang hari Kiamat hingga di bumi tidak lagi disebut: Allah, 
Allah.” [15]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ada dua pendapat tentang makna hadits ini:

Pendapat pertama : Bahwa seseorang tidak mengingkari kemunkaran dan tidak 
melarang orang yang melakukan kemunkaran. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam mengibaratkannya dengan ungkapan “tidak lagi disebut: Allah, Allah” 
sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu 
anhuma :

فَيَبْقَى فِيهَا عَجَاجَةٌ لاَ يَعْرِفُونَ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُونَ 
مُنْكَرًا.

‘Maka yang tersisa di dalamnya (bumi) hanyalah orang-orang bodoh yang tidak 
mengetahui kebenaran dan tidak mengingkari kemunkaran.’ [16]

Pendapat kedua : Sehingga tidak lagi disebut dan dikenal Nama Allah di muka 
bumi. Hal itu terjadi ketika zaman telah rusak, rasa kemanusiaan telah hancur, 
dan banyaknya kekufuran, kefasikan juga kemaksiatan.” [17]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf 
al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari 
Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-‘Ilmu bab Raf’ul ‘Ilmi wa Zhuhuurul Jahli 
(I/178, al-Fath), dan Shahiih Muslim, kitab al-‘Ilmi bab Raf’ul ‘Ilmi wa 
Qabdhahu wa Zhuhuurul Jahli wal Fitan fi Aakhiriz Zamaan (XVI/222, Syarh 
an-Nawawi).
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan bab Zhuhuuril Fitan (XIII/13, al-Fath).
[3]. Shahiih Muslim, kitab al-Ilmi bab Raf’ul ‘Ilmi (XVI/222-223, Syarh 
an-Nawawi).
[4]. Fat-hul Baari (XIII/16).
[5]. Fat-hul Baari (XIII/16).
[6]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-‘Ilmi, bab Kaifa Yuqbadhul ‘Ilmi (I/194, 
al-Fath), dan Shahiih Muslim, kitab al-Ilmi, bab Raf’ul ‘Ilmi wa Qabdhahu wa 
Zhuhuurul Jahli wal Fitan (XVI/223-224, Syarh an-Nawawi).
[7]. Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVI/223-224).
[8]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Adab, bab Husnul Khuluq was Sakhaa’ wa Ma 
Yukrahu minal Bukhli (X/456, al-Fath).
[9]. Tadzkiratul Huffaazh (III/1031).
[10]. Shahiih Muslim, kitab Fadhaa-ilush Shahaabah Tsummal Ladziina Yaluu-nahum 
(XVI/86, Syarh an-Nawawi). 
[11]. Beliau: Abul ‘Ala atau Abu Bakar; Shilah bin Zufar al-‘Abasi al-Kufi, 
seorang Tabi’in terkemuka, terpercaya dan mulia. Beliau meriwayatkan dari 
‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah Ibnul Yaman, Ibnu Mas’ud, ‘Ali bin Abi Thalib dan 
Ibnu ‘Abbas. Beliau wafat sekitar tahun 70 H. rahimahullah.
[12]. Sunan Ibni Majah, kitab al-Fitan bab Dzahaabul Qur-aan wal ‘Ilmi 
(II/1344-1245), al-Hakim dalam al-Mustadrak (IV/473), dan beliau berkata, 
“Hadits ini shahih dengan syarat Muslim, akan tetapi al-Bukhari dan Muslim 
tidak meriwayatkannya.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. 
Ibnu Hajar berkata, “Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang kuat.” 
Fat-hul Baari (XIII/16).
Al-Albani berkata, “Shahih.” Lihat kitab Shahiih al-Jaami’ish Shaaghiir 
(VI/339, no. 7933).
[13]. HR. Ath-Thabrani, dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi kitab-kitab 
ash-Shahiih, selain Syaddad bin Ma’qal, ia adalah tsiqat (Majma’uz Zawaa-id 
VII/329-330).
Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya shahih, akan tetapi hadits ini mauquf.” (Fat-hul 
Baari XIII/16).
Komentar saya, “Hadits seperti ini tidak bisa diungkapkan dengan akal, maka 
hukumnya sama dengan hukum marfu’.”
[14]. Majmuu’ al-Fataawaa (III/198-199).
[15]. Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Dzahaabul Iimaan Akhiraz Zamaan (II/ 
178, Syarh an-Nawawi).
[16]. Musnad Ahmad (XI/181-182, Syarh Ahmad Syakir), dan beliau berkata, 
“Sanadnya shahih.”
Dan al-Mustadrak al-Hakim (IV/435), beliau berkata, “Ini adalah hadits shahih 
dengan syarat asy-Syaikhani, jika al-Hasan mendengarnya dari ‘Abdullah bin 
‘Amr.” Dan disepakati oleh adz-Dzhahabi.
[17]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/186) tahqiq Dr. Thaha Zaini.         
                                  

Kirim email ke