HUKUM MENGIRIM KURBAN KE LUAR NEGERI
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
http://almanhaj.or.id/content/1722/slash/0

Pengertian Mengirim Kurban Ke Luar Negeri
Maksudnya adalah seorang mengirimkan sejumlah uang ke suatu negeri langsung 
atau melalui yayasan sosial atau organisasi atau yang sejenisnya, lalu yayasan 
itu bekerja sama dengan yayasan atau perorangan di negeri yang dituju untuk 
membelikan hewan kurban sekaligus menyembelihnya dan membagi-bagikannya kepada 
kaum muslimin di negeri yang dituju.

Hukumnya [1]
Para ulama berselisih tentang hukum mengirim kurban ini ; sebagian mereka 
membolehkan sebagiannya tidak membolehkan[2]. Pendapat yang rajah, ialah 
pendapat yang membolehkan berdalil dengan keabsahan wakalah (perwakilan) dalam 
kurban sebagaimana dalam hadits-hadits berikut.

1. Hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata.

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَصَدَّقَ 
بِجِلَالِ الْبُدْنِ الَّتِي نَحَرْتُ وَبِجُلُودِهَا

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk menyedekahi 
jilal dan kulit unta yang telah aku sembelih” [Diriwayatkan Al-Bukhari No. 
1.592]

2. Hadits Jabir bin Abdillah, belaiu berkata :

شَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى 
بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ عَنْ مِنْبَرِهِ فَأُتِيَ 
بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ 
وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ 
مِنْ أُمَّتِي 

“Aku menyaksikan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Idul Adha di 
mushalla (tanah lapang). Ketika selesai khutbahnya, Beliau turun dari 
mimbarnya, lalu dibawakan seekor kambing dan Rasulullah menyembelihnya dengan 
tanganntya langsung dan berkata : “Bismillah wa Allahu Akbar, hadza ‘anni wa 
amman lam yudhahi min ummati” (Bismillah Allahu Akbar, ini dariku dan dari 
umatku yang belum menyembelih)”, [3]

3. Hadits Urwah bin Abi Al-Ja’d Al-Bariqi, beliau berkata.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ دِينَارًا 
يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا 
بِدِينَارٍ وَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ 
وَكَانَ لَوْ اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيهِ قَالَ سُفْيَانُ يَشْتَرِي لَهُ 
شَاةً كَأَنَّهَا أُضْحِيَّةٌ

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya satu dinar untuk 
membeli seekor kambing, lalu ia membeli untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam dua kambing dengan uang tersebut. Maka ia jual seekor dengan harga satu 
dinar dan membawa satu ekor kambing dan satu dinar kepada Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akannya dengan 
barokah : “Dia (Urwah ini), seandainya membeli debu tentu akan untung juga” 
Sufyan berkata : “Membeli seekor kambing untuk Nabi, nampaknya untuk kurban” [4]

4. Hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata.

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى 
بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا 
أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا 

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurus 
hewan kurbannya dan untuk menyedekahkan daging, kulit dan jilalnya dan 
sedikitpun tidak mengambil darinya untuk diberikan (sebagai upah) jagalnya 
(orang yang memotongnya) untuk tidak memberi orang-orang memotongnya (jagalnya) 
sedikitpun darinya. Rasulullah berkata : “Kami yang memberinya dari harta kami” 
[Muttafaq ‘Alaih]

Hadits-hadits yang tersebut di atas, semua menunjukkan sahnya wakalah dalam 
kurban. Dan wakalah diperbolehkan, sekaipun kepada orang yang jauh. Wallahu 
a’lam.

5. Hadits ‘Amrah, beliau berkata :

أَنَّ ابْنَ زِيَادٍ كَتَبَ إِلَى عَائِشَةَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ 
قَالَ مَنْ أَهْدَى هَدْيًا حَرُمَ عَلَيْهِ مَا يَحْرُمُ عَلَى الْحَاجِّ حَتَّى 
يُنْحَرَ الْهَدْيُ وَقَدْ بَعَثْتُ بِهَدْيِي فَاكْتُبِي إِلَيَّ بِأَمْرِكِ 
قَالَتْ عَمْرَةُ قَالَتْ عَائِشَةُ لَيْسَ كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَا 
فَتَلْتُ قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
بِيَدَيَّ ثُمَّ قَلَّدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
بِيَدِهِ ثُمَّ بَعَثَ بِهَا مَعَ أَبِي فَلَمْ يَحْرُمْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ 
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللَّهُ لَهُ حَتَّى نُحِرَ 
الْهَدْيُ

“Sesungguhnya Ibnu Ziyad menulis surat kepada ‘Aisyah, bahwa Abdullah bin Abbas 
berpendapat, orang yang memberikan hadyu diharamkan padanya apa yang diharamkan 
bagi orang yang haji sampai menyembelih hadyunya, dan saya telah mengirim hadyu 
saya. Maka saya mohon kepada Anda (Aisyah) untuk menulis untuk saya pendapat 
Anda tentang hal ini”. Amrah berkata : “Aisyah telah berkata, “Tidak seperti 
yang disampaikan Ibnu Abbas. Saya telah melepas qalaid hadyu Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan saya, kemudian Rasulullah 
menandainya dengan tangannya, kemudian mengirimnya bersama bapakku (Abu Bakr), 
lalu tidak diharamkan kepada Rasulullah sesuatu yang Allah halalkan baginya 
sampai disembelih hadyunya” [Hadits Riwayat Muslim]

Sudah dimaklumi, ketika mengirim hadyu tersebut bersama Abu Bakr, saat itu 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di Madinah sebagaimana 
disebutkan dalam sebagian lafazh hadits. Wallahu a’lam.

Pendapat inilah yang dirajihkan Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali [5] dan Prof Dr 
Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar [6]. Namun, pada asalnya kurban itu disembelih 
oleh orang yang berkurban di daerahnya. Akan tetapi, apabila ada hajat dan 
manfaat yang lebih besar untuk dikirim –misalnya ke negeri yang sedang 
mengalami kelaparan atau tertimpa bencana- maka diperbolehkan. Sedangkan amalan 
sebagian kaum muslimin yang mewajibkan pengumpulan kurban mereka dari jauh ke 
satu tempat tertentu atau lembaga tertentu dengan meninggalkan daerahnya yang 
membutuhkan kurban tersebut, maka yang seperti ini tidak ada dasarnya dalam 
syariat. Demikian pembahasan ini, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10 /Tahun VIII/1425H/2004M. Diterbitkan 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Permasalahan ini diangkat dari makalah Abu Bakar Al-Baghdadi, Juz’un Fil 
Adh-hiyah Wa Hukmi Ikhrajiha ‘An Baladi Al-Mudhahi, Majalah Al-Himah, tanpa 
edisi, halaman 50-55 dan risalah Prof Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar, 
Ahkam Al-Idain Wa Asyara Dzil Hijjah, Cetakan Pertama, Tahun 1413H, Dar 
Al-Ashimah, Riyadh, halaman 88 dengan sedikit perubahan dan tambahan dari 
penulis.
[2]. Lihat Ahkam Al-Idain Wa Asyara Dzil Hijjah, halaman. 88
[3] Syaikh Al-Albani berkata : “Hadits shahih diriwayatkan Abu Dawud (2810) dan 
At-Tirmidzi (1/287). “Lihat Irwa Al-Ghalil (4/349), No. 1.138
[4]. Diriwayatkan Al-Buakhri No 3.320
[5]. Wawancara Penulis dengan beliau pada hari selasa 7 Desember 2004M di 
Institut Teknologi Surabaya (ITS)
[6]. Ahkam Al-Idain Wa Asyara Dzil Hijjah, op.cit. halaman. 88                  
                          

Kirim email ke