HUKUM UMRAH BERULANG-ULANG KETIKA BERADA DI MEKKAH

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
http://www.almanhaj.or.id/content/2278/slash/0

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum keluar dari 
Mekkah ke selain tanah suci untuk melaksanakan umrah pada bulan Ramadhan dan 
di waktu lainnya (misalnya pada waktu ibadah haji, -peny) ?

Jawaban
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan, bahwa ulama salaf 
sepakat tentang makruhnya mengulang-ulang umrah dan memperbanyaknya. Baik 
pendapat ini diterima atau tidak diterima, maka keluarnya seseorang dari 
daerahnya untuk umrah, lalu keluarnya dari Mekkah ke selain tanah haram 
(Tan’im dan tempat miqat lain) untuk melaksanakan umrah kedua, ketiga pada 
bulan Ramadhan dan di waktu yang lainnya, adalah termasuk perbuatan bid’ah 
yang tidak dikenal pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebab pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya dikenal satu 
masalah yaitu masalah khusus bagi Aisyah Radhiyallahu ‘anha ketika ihram 
haji tamattu’ lalu haidh. Ketika Nabi Shallallahu menemuinya, maka 
didapatkannya dia menangis dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan 
sebab dia menangis, lalu Aisyah memberitahukannya kepada Nabi bahwa dia 
haid. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menenangkan kepadanya bahwa 
haidh adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah kepada anak-anak perempuan 
Bani Adam.

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya untuk 
ihram haji. Maka Aisyah ihram haji dan menjadi haji qiran. Tetapi ketika 
Aisyah selesai melaksanakan haji, dia mendesak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam untuk dizinkan umrah sendiri. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam mengizinkannya dan memerintahkan saudaranya, Abdurrahman bin Abu 
Bakar, semoga Allah meridhoi keduanya, agar menyertainya ke Tan’im. Maka 
Abdurrahman keluar bersama Aisyah ke Tan’im dan Aisyah Umrah.

Seandainya hal ini termasuk sesuatu yang disyariatkan dalam bentuk 
kemutlakan, niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan para 
shahabat, bahkan akan menganjurkan Abdurrahman bin Abu Bakar yang keluar 
bersama saudarinya untuk melaksanakan umrah karena akan mendapatkan pahala. 
Dan telah maklum dari semua itu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam mukim di Mekkah pada tahun pembebasan kota Mekkah selama sembilan 
belas hari, tapi beliau tidak melaksanakan umrah padahal demikian itu mudah 
dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ini menunjukkan bahwa orang yang umrah pada bulan Ramadhan atau di waktu 
yang lainnya maka dia tidak mengulang-ulang umrah dengan keluar dari Mekkah 
ke tempat yang bukan tanah suci (miqat). Sebab demikian ini tidak sesuai 
sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga tidak sesuai dengan 
sunnah Khulafa’ur Rasyidin bahkan tidak semua shahabat Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam.

Demikian juga banyak di antara menusia yang mengatakan bahwa kedatangannya 
untuk umrah pada bulan Ramadhan adalah diperuntukkan ibunya atau kedua orang 
tuanya, atau yang seperti itu. Maka kami mengatakan, bahwa menghadiahkan 
ibadah kepada orang-orang yang meninggal tidak disyariatkan dalam Islam. 
Artinya, seseorang tidak dituntut untuk mengerjakan ibadah untuk ibu atau 
bapak atau saudara perempuannya. Tapi jika melakukan hal tersebut 
diperbolehkan. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kepada 
Sa’ad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu menyedekahkan kebun kurmanya untuk 
ibunya yang telah meninggal. Dan ketika seseorang minta izin kepada Nabi 
seraya berkata : “Wahai Rasulullah, ibu saya meninggal mendadak dan saya 
kira kalau dia sempat berbicara niscaya dia akan bersedekah. Apakah saya 
boleh bersedekah untuk dia?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 
“Ya”. Meskipun demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda 
kepada para shahabatnya secara umum : “Bersedekahlah kalian untuk 
orang-orang yang meninggal atau untuk bapak-bapak kalian atau untuk ibu-ibu 
kalian!”.

Karena itu bagi para pencari ilmu dan yang lainnya wajib mengetahui 
perbedaan antara sesuatu yang disyari’atkan (masyru’) dan sesuatu yang 
diperbolehkan (jaiz). Di mana sesuatu yang disyariatkan itu berarti bahwa 
setiap Muslim dituntut melakukannya. Sedangkan sesuatu yang diperbolehkan 
adalah sesuatu yang setiap muslim tidak dituntut untuk melakukannya. Untuk 
lebih jelasnya saya akan mengemukakan contoh kisah seseorang yang diutus 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ekspedisi di mana dia menjadi imam 
shahabat-shahabatnya. Setiap dia shalat dengan mereka selalu mengakhiri 
bacaanya dengan qul huwallahu ahad (surat al-Ikhlas). Maka ketika kembali 
mereka memberitahukan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tanyakanlah kepadanya, 
mengapa dia selalu melakukan hal itu?” Ketika ditanya, ia menjawab : 
“Sesungguhnya dalam surat al-Ikhlas terdapat sifat Yang Mahapengasih, dan 
saya senang (mencintai) membacanya”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
berkata : “Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah mencintai dia!”.

Meski demikian, di antara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, 
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengakhiri bacaan dalam 
shalatnya dengan surat al-Ikhlas dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
tidak mengarahkan umatnya kepada hal tersebut. Disitulah terlihat perbedaan 
antara sesuatu yang diizinkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang 
disyariatkan yang setiap manusia dituntut melakukannya. Jika Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan Sa’ad bin Ubadah menyedekahkan 
kebunnya untuk ibunya yang telah meninggal dan mengizinkan penannya yang 
ibunya meninggal mendadak bersedekah untuk ibunya, maka demikian itu tidak 
berarti disyariatkan untuk setiap manusia bersedekah untuk bapak atau ibunya 
yang meninggal, meskipun jika dia bersedekah akan berguna bagi orang yang 
disedekahinya. Sesungguhnya kita diperintahkan untuk mendo’akan bapak dan 
ibu kita yang telah meninggal berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam.

“Jika anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga : shodaqoh 
jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya” [HR Muslim 
dan lainya]

Wallahu a’lam

[Disalin dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi 
Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustakan Imam 
Asy-Syafi'i. Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc]

_________________________________________________________________
Call friends with PC-to-PC calling – FREE  
http://get.live.com/messenger/overview



Website anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id
Website audio: http://assunnah.mine.nu
Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/mlbios.php/aturanmilis/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke