*Kaidah Ke. 26 : Kaidah Kedua Puluh Enam*

http://almanhaj.or.id/content/3591/slash/0/kaidah-ke-26-jika-terjadi-perselisihan/

يُقْبَلُ قَوْلُ اْلأُمَنَاءِ فِي الَّذِي تَحْتَ أَيْدِيْهِمْ مِنَ
التَّصَرُّفَاتِ وَاْلإِتْلاَفِ وَغَيْرِهَا إِلاَّ مَا خَالَفَ الْحِسَّ
وَالْعَادَةَ

Perkataan Orang Yang Diserahi Amanah Berkaitan Dengan Pengelolaan,
Kerusakan Dan Masalah Lain Yang Berhubungan Dengan Harta Yang Diamanahkan
Kepadanya Diterima, Kecuali Apabila Menyelisihi Realita Dan Kebiasaan[1]


Kaidah ini sangat penting untuk menyelesaikan perselisihan antara pemilik
harta dan orang yang diserahi amanah[2] untuk mengelola harta tersebut.
Dalam akad mudharabah atau yang semisalnya, pemilik harta (pemodal)
mempercayakan hartanya kepada orang lain untuk kelola, baik dalam
perdagangan, sewa atau lain sebagainya. Dalam hal ini, apabila terjadi
perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang diserahi amanah
berkaitan dengan harta tersebut, maka perkataan yang diterima adalah
perkataan orang yang diserahi amanah. Karena pemilik harta telah
mempercayakan harta kepadanya dan telah menposisikannya seperti dirinya.

Namun, apabila pernyataan orang yang diserahi amanah tersebut menyelisihi
kebiasaan atau tidak selaras dengan realita yang ada, maka pernyataannya
tidak diterima. Misalnya, apabila seseorang yang dititipi barang mengatakan
bahwa barang tersebut telah hancur karena musibah kebakaran. Sedangkan
secara realita tidak ada indikasi musibah kebakaran, maka perkataannya
tidak diterima. Apabila ada tanda-tanda musibah kebakaran, kemudian terjadi
perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang dititipi harta,
misalnya, si pemilik harta bersikeras bahwa barang yang dititipkan itu
tidak ikut terbakar, sementara orang yang diserahi amanah menyatakan bahwa
barang itu juga terbakar, maka perkataan yang diterima adalah perkataan
orang yang diserahi amanah.[3]

Kasus-kasus lain yang bisa menjadi contoh implementasi kaidah ini adalah
sebagai berikut :

1. Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menjual sejumlah
barang. Beberapa waktu berselang, barang itu rusak. Lalu ia berkata kepada
yang diserahi amanah, "Engkau wajib mengganti karena engkau tidak menjaga
harta itu!" Sementara orang yang diserahi amanah menyanggahhh, "Saya sudah
sungguh-sungguh menjaganya. Karenanya, saya tidak wajib mengganti." Maka
dalam kasus seperti ini, perkataan yang diterima adalah perkataan orang
yang diserahi amanah. Karena kedudukannya sebagai orang yang diserahi
amanah, sehingga perkataannya berkaitan dengan kerusakan barang, diterima.

2. Apabila seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual sejumlah pakaian.
Beberapa waktu kemudian terjadi perselisihan. Si pemilik harta berkata,
"Engkau belum menawarkan pakaian itu !" Dan orang yang diserahi amanah
berkata, "Saya telah menawarkannya." Maka, dalam kasus ini, perkataan yang
diterima adalah perkataan orang yang diserahi amanah. Karena kedudukannya
sebagai orang yang diserahi amanah, sehingga perkataannya berkaitan dengan
pengelolaan harta, diterima.

3. Apabila seseorang meminjam suatu barang kepada orang lain. Setelah
beberapa waktu, pemilik barang mendatangi orang yang meminjam untuk meminta
supaya barangnya dikembalikan. Lalu si peminjam mengatakan bahwa barang
tersebut telah rusak karena musibah. Maka dalam hal ini, perkataan si
peminjam tersebut asalnya diterima karena kedudukannya sebagai orang yang
diserahi amanah, dan sebelumnya memang ia telah mendapatkan izin dari
pemilik harta untuk membawa ataupun memanfaatkan barang tersebut.

Adapun berkaitan dengan ganti rugi kerusakan, para ulama berbeda pendapat
apakah si peminjam wajib mengganti barang tersebut ataukah tidak. Dan
pendapat yang kuat adalah bahwa si peminjam tidak wajib mengganti atau
membayar ganti rugi kecuali apabila ia tidak benar-benar menjaganya
(tafrith) atau berlebihan dalam pemanfaatannya (ta'addi).[4]

4. Apabila ada akad sewa menyewa antara dua orang. Kemudian setelah masa
sewa selesai, pemilik barang mendatangi si penyewa untuk meminta supaya
barangnya dikembalikan. Lalu si penyewa berkata bahwa barang tersebut rusak
karena suatu kecelakaan. Maka perkataan si penyewa diterima karena
kedudukannya sebagai orang yang diserahi amanah.[5]

5. Dalam akad mudahrabah,[6] perkataan mudharib (pengelola barang
mudharabah) berkaitan dengan keuntungan ataupun kerugian dari pengelolaan
barang, diterima. Demikian pula perkataannya berkaitan dengan penjualan
barang, baik secara tunai, kredit, syarat-syarat akad yang ia lakukan dan
sebagainya. Karena hal itu berkaitan dengan pengelolaan barang yang
diamanahkan kepadanya.[7]

Dalam uraian di atas telah dijelaskan bahwa pembahasan kaidah ini berkisar
pada perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang diserahi amanah
berkaitan dengan pengelolaan dan kerusakan harta yang diamanahkan. Di sisi
lain, terkadang timbul perselisihan berkaitan dengan pengembalian barang,
apakah barang tersebut sudah dikembalikan atau belum. Yaitu, apabila orang
yang diserahi amanah mengatakan bahwa harta yang diamanahkan sudah
dikembalikan kepada pemilik harta, namun si pemilik menyangkalnya. Maka,
dalam kasus seperti ini para ulama menjelaskan, apabila si penerima amanah
tidak memiliki kepentingan sama sekali pada harta tersebut, maka
perkataannya diterima. Namun apabila dia memiliki kepentingan, maka
perkataannya ditolak.(apabila harta yang diamanahkan tersebut semata-mata
untuk maslahat si pemilik harta maka asalnya perkataan orang yang diserahi
amanah diterima. Namun, apabila orang yang diserahi amanah mengambil
manfaat dari harta yang diamanahkan kepadanya, maka asalnya perkataannya
tidaklah diterima).[8]

Implementasinya sebagai berikut :
1. Apabila Ahmad menitipkan sejumlah uang kepada Hasan. Selang beberapa
waktu kemudian, Ahmad menemui Hasan untuk meminta uang yang dititipkannya
itu. Kemudian Hasan berkata bahwa uang tersebut sudah dikembalikan kepada
Ahmad. Maka dalam kasus seperti ini, perkataan yang diterima adalah
perkataan Hasan dan ia tidak dituntut untuk mendatangkan bukti
pengembalian. Karena Hasan membawa harta tersebut semata-mata untuk
kepentingan Ahmad dan tidak berkepentingan dengannya. Dalam hal ini, ia
juga telah berbuat ihsan ketika membantu Ahmad membawakan uangnya.
Sementara Allah k berfirman berkaitan dengan orang yang berbuat ihsan :

مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, [at-Taubah/9:91]

2. Apabila seseorang menyelamatkan harta orang lain dari kehancuran karena
ada bencana alam atau semisalnya. Setelah itu, pemilik harta menyatakan
bahwa seluruh harta tersebut atau sebagiannya belum dikembalikan kepadanya.
Sedangkan orang yang menyelamatkan mengatakan bahwa ia telah mengembalikan
semua harta yang ia selamatkan kepada pemiliknya. Maka dalam kasus seperti
ini, perkataan berpihak kepada si penyelamat harta. Karena ia membawa harta
tersebut demi kemaslahatan pemilik harta. Dan ini masuk juga dalam keumuman
firman Allâh Subhanahu wa Ta’aladalam surah at-Taubah di atas.[9]

3. Apabila Ahmad meminjam barang dari Hasan. Setelah beberapa lama, terjadi
perselisihan. Ahmad mengaku telah mengembalikan barang tersebut, sementara
Hasan menyangkal. Maka dalam kasus seperti ini, hukum berpihak kepada
Hasan. Karena Ahmad membawa barang tersebut adalah untuk kepentingan
dirinya serta untuk mengambil manfaat darinya. Maka pengakuan Ahmad tidak
diterima kecuali jika ia bisa mendatangkan bukti pengembalian barang
tersebut.

4. Apabila Ahmad menyewa sebuah mobil dari Hasan. Setelah masa sewa habis,
Hasan menemui Ahmad untuk meminta mobilnya dikembalikan. Lalu Ahmad
mengatakan bahwa mobil telah ia kembalikan ke Hasan. Maka dalam hal ini,
perkataan Ahmad tidak diterima, karena ia membawa mobil untuk
kemaslahatannya dan ia mengambil manfaat darinya. [10]
Wallohu A'lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
________
Footenote
[1]. Diangkat dari kitab al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furûq wa
at-Taqâsîmul Badî’atun Nâfi’ah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di.
Tahqiq Syaikh Dr. Khâlid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. Cet. II. 1422
H/2001 M. Dar al-Wathan li an-Nasyr. Riyadh, hlm. 78. Dengan beberapa
tambahan dari referensi lainnya.
[2]. Orang yang diserahi amanah (al-amin) maksudnya orang yang mendapatkan
kepercayaan untuk membawa harta orang lain dengan izin pemiliknya atau
dengan izin syari'at. (Lihat Tuhfatu Ahlit Thalab fi Tahrir Ushul Qawa'id
Ibni Rajab. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di. Tahqiq Dr. Khâlid bin
Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. Cet. Ke-2. Tahun 1423 H. Dar Ibni al-Jauzi.
Damam, hlm. 38-39.
[3]. Lihat ta'liq Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah
terhadap kitab al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furûq wa at-Taqâsîmul
Badî’atun Nâfi’ah. Cet I. Tahun 2002 M. Maktabah as-Sunnah. Kairo, hlm. 131.
[4]. Ini dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin dalam
Manzhûmah Ushulil Fiqh wa Qawa'idihi. Cet. I. Tahun 1426 H. Dar Ibni
al-Jauzi. Damam, hlm. 278.
[5]. Lihat Manzhûmah Ushulil Fiqh wa Qawa'idihi, hlm. 278.
[6]. Mudhârabah adalah akad persekutuan antara dua orang atau lebih, di
mana harta berasal dari salah seorang diantara mereka, sedangkan yang
lainnya berperan seabgai pengelola harta tersebut dengan keuntungan dibagi
sesuai kesepakatan di antara mereka, sedangkan kerugian ditanggung oleh
pemilik harta. Lihat Mu'jam Lughah al-Fuqaha'. Prof. Dr. Muhammad Rawas
Qal'ah Jiy dan Dr. Hamid Shadiq Qunaibi. Cet. II. Tahun 1408 H/1988 M. Dar
an-Nafais. Beirut. Pada kata ( المضاربة ).
[7]. Lihat contoh-contoh lain penerapan kaidah ini dalam Manzhûmah Ushulil
Fiqh wa Qawa'idihi, hlm. 277-278.
[8]. Lihat penjelasan Syaikh Abdurrahman bin Nâshir as-Sa'di rahimahullah
dalam kitab Tuhfatu Ahlit Thalab fi Tahrir Ushul Qawa'id Ibni Rajab, hlm.
38-39.
[9]. Lihat Manzhûmah Ushulil Fiqh wa Qawa'idihi, hlm. 276.
[10]. Lihat pula pembahasan kaidah ini dalam Taqrîrul Qawâ'id wa Tahrîrul
Fawâ'id, al-Imam al-Hâfizh Zainuddîn Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab
al-Hambali. Ta'liq Syaikh Abu Ubaidah Masyhûr bin Hasan Alu Salmân. Cet. I.
1419 H/1998 M. Dar Ibni Affân, hlm. 315-322. Dan Syarhul Qawâ'idis
Sa'diyah, Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil. Dar Athlas
al-Kahadhra', hlm. 186.

Kirim email ke