Assalamualaikum,
ikhwahfillah, berikut saya bawakan artikel yang InsyaAllah akan menjawab
Syubhat-syubhat seputar Demokrasi.
Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari
Pemungutan suara atau voting sering digunakan oleh lembaga-lembaga atau
organisasi-organisasi baik skala besar seperti sebuah negara maupun kecil
seperti sebuah perkumpulan, di dalam mengambil sebuah sikap atau di dalam
memilih pimpinan dan lain-lain. Sepertinya hal ini sudah lumrah dilangsungkan.
Hingga dalam menentukan pimpinan umat harus dilakukan melalui pemungutan suara,
dan tentu saja masyarakat umum pun dilibatkan di dalamnya. Padahal banyak di
antara mereka yang tidak tahu menahu apa dan bagaimana kriteria seorang
pemimpin menurut Islam.
Dengan cara dan praktek seperti ini bisa jadi seorang yang tidak layak menjadi
pemimpin keluar sebagai pemenangnya. Adapun yang layak dan berhak tersingkir
atau tidak dipandang sama sekali ! Tentu saja metoda pemungutan suara seperti
ini tidak sesuai menurut konsep Islam, yang menekankan konsep syura
(musyawarah) antara para ulama dan orang-orang shalih. Allah telah berfirman
dalam Kitab-Nya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan menyuruh kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkannya dengan adil." [An-Nisaa : 58]
Kepemimpinan adalah sebuah amanat yang amat agung, yang menyangkut aspek-aspek
kehidupan manusia yang amat sensitif. Oleh sebab itu amanat ini harus
diserahkan kepada yang berhak menurut kaca mata syariat. Proses pemungutan
suara bukanlah cara/wasilah yang syar'i untuk penyerahan amanat tersebut. Sebab
tidak menjamin penyerahan amanat kepada yang berhak. Bahkan di atas kertas dan
di lapangan terbukti bahwa orang-orang yang tidak berhaklah yang memegang
(diserahi) amanat itu. Di samping bahwa metoda pemungutan suara ini adalah
metoda bid'ah yang tidak dikenal oleh Islam. Sebagaimana diketahui bahwa tidak
ada satupun dari Khulafaur Rasyidin yaitu: Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali
radhiyallahu 'anhum maupun yang sesudah mereka, yang dipilih atau diangkat
menjadi khalifah, melalui cara pemungutan suara yang melibatkan seluruh umat.
Lantas dari mana sistem pemungutan suara ini berasal ?! Jawabnya: tidak lain
dan tidak bukan ia adalah produk demokrasi ciptaan Barat (baca kafir).
Ada anggapan bahwa pemungutan suara adalah bagian dari musyawarah.
Tentu saja amat jauh perbedaannya antara musyawarah mufakat menurut Islam
dengan pemungutan suara ala demokrasi di antaranya:
[1] Dalam musyawarah mufakat, keputusan ditentukan oleh dalil-dalil syar'i yang
menempati al-haq walaupun suaranya minoritas.
[2] Anggota musyawarah adalah ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih, adapun
di dalam pemungutan suara anggotanya bebas siapa saja.
[3] Musyawarah hanya perlu dilakukan jika tidak ada dalil yang jelas dari
al-Kitab dan as-Sunnah. Adapun dalam pemungutan suara, walaupun sudah ada dalil
yang jelas seterang matahari, tetap saja dilakukan karena yang berkuasa adalah
suara terbanyak, bukan al-Qur'an dan as-Sunnah.
MAKNA PEMUNGUTAN SUARA
Pemungutan suara maksudnya adalah: pemilihan hakim atau pemimpin dengan cara
mencatat nama yang terpilih atau sejenisnya atau dengan voting. Pemungutan
suara ini, walaupun bermakna: pemberian hak pilih, tidak perlu digunakan di
dalam syariat untuk pemilihan hakim/pemimpin. Sebab ia berbenturan dengan
istilah syar'i yaitu syura (musyawarah) . Apalagi dalam istilah pemungutan
suara itu terdapat konotasi haq dan batil. Maka penggunaan istilah pemungutan
suara ini jelas berseberangan jauh dengan istilah syura. Sehingga tidak perlu
menggunakan istilah tersebut, sebab hal itu merupakan sikap latah kepada mereka.
MAFSADAT PEMUNGUTAN SUARA
Amat banyak kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari cara pemungutan suara ini
di antaranya:
[1]. Termasuk perbuatan syirik kepada Allah.
[2]. Menekankan suara terbanyak.
[3]. Anggapan dan tuduhan bahwa dinul Islam kurang lengkap.
[4]. Pengabaian wala' dan bara'.
[5]. Tunduk kepada Undang-Undang sekuler.
[6]. Mengecoh (memperdayai) orang banyak khususnya kaum Muslimin.
[7]. Memberikan kepada demokrasi baju syariat.
[8]. Termasuk membantu dan mendukung musuh musuh Islam yaitu Yahudi dan
Nashrani.
[9]. Menyelisihi Rasulullah dalam metoda menghadapi musuh.
[10]. Termasuk wasilah yang diharamkan.
[11]. Memecah belah kesatuan umat.
[12]. Menghancurkan persaudaraan sesama Muslim.
[13]. Menumbuhkan sikap fanatisme golongan atau partai yang terkutuk.
[14] Menumbuhkan pembelaan membabi buta (jahiliyah) terhadap partai-partai di
golongan mereka.
[15]. Rekomendasi yang diberikan hanya untuk kemaslahatan golongan.
[16]. Janji janji tanpa realisasi dari para calon hanya untuk menyenangkan para
pemilih.
[17]. Pemalsuan-pemalsuan dan penipuan-penipuan serta kebohongan-kebohongan
hanya untuk meraup simpati massa.
[18]. Menyia-nyiakan waktu hanya untuk berkampanye bahkan terkadang
meninggalkan kewajiban (shalat dan lain-lain).
[19]. Membelan