From: harissyah...@yahoo.co.id
Date: Fri, 10 Feb 2012 09:25:11 +0800
Assalamu'alaikum
Saat ini ana dan beberapa teman sedang di tugaskan training di china selama 9
bulan , dan saat ini masih ada hal-hal yang mengganjal yaitu :
1. Selama ini ana bersama teman2 kalo shalat hampir tidak pernah jama ataupun
qashar, apakah shalat kami ini sesuai syar'i mengingat mayoritas memilih shalat
seperti ini.
2. Mana yang lebih afdhal (saat safar), melaksanakan shalat sunnah rawatib atau
tidak melaksanakan shalat rawatib kecuali qobla shubuh ?
3. Kalau ana tetap melaksanakan shalat rawatib, mengingat keutamaannya seperti
ini apakah dibolehkan ?
Mohon masukannya supaya ana tidak bimbang dalam masalah ini...
Syahdu
>>
Apakah tugas training di China selama 9 bulan dikatakan sebagai Musafir ?
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang
dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat.
1. MUSAFIR SELAMA DUA TAHUN, APAKAH BOLEH MENGQASHAR SHALAT ?
Yang dianggap musafir adalah yang tinggal selama empat hari empat malam atau
kurang, berdasarkan riwayat dari hadits Jabir dan Ibnu Abbas Radhiyallahu
anhuma, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tiba di Makkah waktu Shubuh
tanggal 4 Dzulhijjah, saat Haji Wada [1]. Lalu beliau tinggal disana pada hari
keempat, kelima, keenam dan ketujuh, lalu shalat Shubuh di Abthah pada hari
kedelapan. Pada hari-hari tersebut beliau mengqashar shalat, tentunya beliau
telah merencanakan waktu tinggalnya itu. Maka setiap musafir yang merencanakan
tinggal selama masa tinggal Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tersebut, atau
kurang dari itu, ia boleh mengqashar shalat. Sedangkan yang merencanakan
tinggal lebih lama dari itu maka hendaknya ia menyempurnakan shalat, karena ia
tidak lagi tergolong musafir.
Selengkapnya baca di http://almanhaj.or.id/content/1453/slash/0
2. SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR.
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang
dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat.
Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi,
Maliki, Syafi'i dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu
tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh
Abdur Rahman As-sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya
rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk mengqashar
shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun
ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu
dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam
masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang
sangat banyak, diantaranya:
Sahabat Jabir radhiallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu
alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar
shalat.[12]
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah
shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan
belas hari mengqashar shalat.[13]
Nafi' rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu anhuma
tinggal di Azzerbaijan selama enam bulan mengqashar shalat.[14]
Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala
alihi wasallam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya
mengqashar shalat bagi musafir (perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk
kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di
daerahperantauan tersebut.[15]
3. SHALAT TATHAWWU / NAFILAH / SUNNAH BAGI MUSAFIR.
Jumhur ulama (mayoritas) berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh
shalat nafilah/ tathawwu bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah
yang merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) maupun yang lainnya.
Dalil mereka adalah bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi
wasallam shalat delapan raka'at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu
Makkah dan beliau dalam keadaan safar.[16]
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang di syari'atkan adalah meninggalkan (tidak
mengerjakan) shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) saja ketika safar,
dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwasanya beliau
melihat orang-orang (musafir) yang shalat sunnah rawatib setelah selesai shalat
fardhu, maka beliaupun berkata: Kalau sekiranya aku shalat sunnah rawatib
setelah shalat fardhu tentulah aku akan menyempurnakkan shalatku (maksudnya
tidak mengqashar). Wahai saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah shallallahu
alaihi wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas
dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan
beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku
mene