Al Udh-hiyyah (Hewan Qurban)
   
  Definisi Udhhiyyah
   
  Al Udhhiyyah adalah hewan yang disembelih pada hari an nahr (‘Iedul Adha) dan 
hari-hari tasyrik dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
   
   
  Hukum Udhhiyyah
   
  Seluruh kaum muslimin telah sepakat mengenai disyariatkannya udhhiyah.  Allah 
Ta’ala berfirman,
   
  “Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah” (QS. Al Kautsar : 2)
   
  “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya 
mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah 
kepada mereka, maka Ilahmu ialah Ilah Yang Maha Esa, karena itu berserah 
dirilah kamu kepada-Nya” (QS. Al Hajj : 34)
   
  Dari Anas bin Malik radhiyallaHu ‘anHu, ia berkata,
   
  “Nabi telah berkurban dengan dua domba yang berbulu hitam di atas warnanya 
yang putih.  Beliau menyembelih dengan tangannya, membaca basmalah dan 
bertakbir.  Beliau meletakkan kakinya di atas tubuh domba tersebut” (HR. al 
Bukhari dan Muslim)
   
  Namun demikian para ulama berbeda pendapat mengenai hukum udhhiyah ini dan 
Syaikh al Utsaimin menjelaskan perbedaan tersebut,
   
  “Jumhur ulama berpendapat bahwa udhhiyah hukumnya sunnah muakkadah dan ini 
merupakan pendapat madzhab Syafi’i, Malik dan Ahmad menurut riwayat yang 
masyhur dari mereka berdua (yakni Imam Malik dan Imam Ahmad).
   
  Sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa hukum udhhiyah adalah wajib.  
Pendapat ini merupakan madzhab Abu Hanifah dan salah satu diantara dua riwayat 
dari Imam Ahmad.  Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu 
Taimiyah” (Hukum Udhhiyah hal. 17)
   
  Dan nampaknya hukum udhhiyah ini wajib bagi yang mampu berdasarkan sabda 
Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam,
   
  “Man kaana laHu sa’atun wa lam yudhahhi fa laa yaqrabanna mushallaanaa” yang 
artinya “Barangsiapa memiliki kemampuan dan tidak berkurban, maka janganlah ia 
mendekati tempat shalat kami” (HR. Ibnu Majah no. 3123, dihasankan oleh Syaikh 
al Albani dalam Shahiih Sunan Ibni Majah no. 2532)
   
   
  Syarat-syarat Hewan Kurban   
  Kurban tidak boleh kecuali dari sapi, kambing dan unta, berdasarkan firman 
Allah Ta’ala,
   
  “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya 
mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah 
kepada mereka, maka Ilahmu ialah Ilah Yang Maha Esa, karena itu berserah 
dirilah kamu kepada-Nya” (QS. Al Hajj : 34)
   
  Syaikh al Utsaimin menjelaskan,
   
  “Yang dimaksud binatang ternak adalah unta, sapi dan kambing.  Makna ini 
terkenal di kalangan bangsa Arab.  Hal ini telah dikatakan oleh al Hasan dan 
Qatadah serta ulama yang lain” (Hukum Udhhiyah hal. 24)
   
  Dan hendaklah hewan ternak yang dikurbankan adalah hewan ternak yang sehat.  
Dari ‘Ubaid bin Fairuz, ia berkata, 
   
  “Aku berkata kepada al Bara’ bin Azib, ‘Beritahukanlah kepadaku apa saja 
binatang kurban yang dibenci atau dilarang Rasulullah ?’, Dia (al Bara’ bin 
Azib) berkata,
   
  ‘Rasulullah mengisyaratkan dengan tangan beliau begini, namun tanganku lebih 
pendek dari tangan beliau,
   
  ‘Ada empat binatang yang tidak boleh digunakan untuk kurban, yaitu (1) hewan 
yang pincang dan yang nyata kepincangannya, (2) hewan yang salah satu matanya 
buta dan nyata kebutaannya, (3) hewan yang sakit dan nyata sakitnya dan (4) 
hewan yang kurus sehingga tidak bersumsum’’” (HR. Imam Malik dalam al Muwatha’)
   
  Dan mengenai batasan umur hewan kurban yang akan disembelih Rasulullah 
ShallallaHu ‘alayHi wa sallam bersabda,
   
  “Janganlah kalain menyembelih kurban kecuali berupa musinnah kecuali apabila 
sulit bagi kalian maka sembelihlah jadz’ah dari domba” (HR. Muslim)
   
  Musinnah adalah binatang ternak yang sudah tanggal giginya atau yang lebih 
tua dari itu.  Dan jadz’ah adalah apa yang di bawahnya.  Syaikh al Utsaimin 
menjelaskan,
   
  “Unta yang sudah tanggal giginya adalah yang telah sempurna lima tahun.  
Adapun sapi apabila telah sempurna dua tahun.  Pada kambing apabila telah 
sempurna satu tahun.  Dan yang dimaksud dengan jadz’ah adalah yang telah 
berusia enam bulan.  Jadi, tidak sah meyembelih kurban yang belum genap dari 
umur yang telah disebutkan” (Hukum Udhhiyah hal. 24-25)
   
   
  Waktu Penyembelihan Hewan Kurban   
  Waktu untuk menyembelih hewan kurban adalah dari setelah shalat ‘Ied hingga 
terbenamnya matahari pada hari-hari tasyrik, yaitu tanggal 13 Dzulhijjah.  Jadi 
waktu menyembelih kurban ada empat hari yaitu hari ‘Ied setelah shalat, dan 
tiga hari sesudahnya.
   
  Barangsiapa yang menyembelih sebelum selesai shalat ‘Ied atau sesudah 
matahari terbenam pada tanggal tiga belas maka sembelihannya tidak sah.  Dari 
al Bara’ bin Azib radhiyallaHu ‘anHu, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam 
bersabda,
   
  “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sembelihannya hanyalah 
daging yang dipersembahkan kepada keluarganya, dan tidaklah mendapatkan dari 
nusuk sedikit pun” (HR. al Bukhari)
   
   
  Seekor Kambing Cukup untuk Satu Keluarga   
  Dari Abu Ayyub al Anshari radhiyallaHu ‘anHu, ia berkata,
   
  “Dahulu seseorang pada zaman Nabi, seseorang menyembelih seekor kambing untuk 
dirinya dan keluarganya.  Lantas mereka memakannya dan membagikannya kepada 
orang lain” (HR. Ibnu Majah dan at Tirmidzi dan beliau menshahihkannya)
   
  Syaikh al Utsaimin menjelaskan,
   
  “Apabila seseorang berkurban dengan seekor kambing atau domba dengan niat 
untuk diri dan keluarganya, maka telah cukup untuk orang yang dia niatkan dari 
keluarganya, baik yang masih hidup atau pun yang sudah mati.” (Hukum Udhhiyah 
hal. 39)
   
  Sementara itu sepertujuh unta atau sepertujuh sapi telah sah bagi seseorang 
sebagaimana dia menyembelih seekor kambing.  Karena Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa 
sallam menjadikan sepertujuh unta atau sapi seperti kedudukan satu kambing 
dalam hadyu (binatang yang dipersembahkan ketika haji tamattu’ dan Qiran).
   
   
  Adab-adab Menyembelih   
    
   Hendaklah orang yang menyembelih adalah orang yang berakal dan sudah tamyiz 
(dewasa) dan hendaklah orang yang menyembelih adalah muslim atau ahli kitab.  
Allah Ta’ala berfirman, “Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al Kitab 
itu halal bagimu” (QS. Al Ma’idah : 5)
   
    
   Menghadap ke arah kiblat ketika menyembelih.
   
    
   Berbuat ihsan dalam menyembelih, yaitu dengan alat yang tajam.  Nabi 
ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan 
ihsan dalam segala hal.  Apabila kalian membunuh maka perbaguslah cara kalian 
dalam membunuh dan apabila kalian menyembelih maka perbaguslah cara kalian 
dalam menyembelih.  Dan hendaknya dia menajamkan pisaunya dan memudahkan untuk 
hewan sembelihannya” (HR. Muslim)
   
    
   Bertakbir atau membaca, “AllaHu Akbar” setelah membaca, “BismillaH” ketika 
akan menyembelih.  Adapun doa lengkapnya adalah, “BismillaHi wallaHu akbar, 
allaHumma minka wa laka  ‘annii” yang artinya “Dengan nama Allah, Allah Maha 
Besar, Yaa Allah sembelihan ini dari-Mu dan untuk-Mu, maka terimalah dariku”.  
Jika sembelihan milik orang lain maka hendaklah menyebutkan nama orang tersebut.
   
    
   Memotong kerongkongan dan mari’ (saluran makanan dan minuman) setelah 
memutus kedua urat leher.  Kemudian mengalirkan darahnya, Rasulullah 
ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda, “Setiap yang mengalirkan darah dan 
disebut Allah atasnya maka makanlah selam tidak disembelih dengan gigi atau 
kuku” (HR. Jama’ah)
   
   
  Berapa yang Dimakan dan yang Dibagikan ?   
  Allah Ta’ala berfirman,
   
  “Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk 
dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir” (QS. Al Hajj : 28)
   
  “Maka makanlah sebagiannya dan berikanlah makan kepada orang yang rela dengan 
apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta” (QS. Al 
Hajj : 36)
   
  Dari Salamah bin Akwa’ radhiyallaHu ‘anHu, Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam 
bersabda,
   
  “Kuluu wa ath’imuu wad dakhiruu” yang artinya “Makanlah (dari udhhiyah), 
berikanlah makan kepada orang lain dan simpanlah” (HR. al Bukhari)
   
  Ith’am artinya memberikan makan kepada orang lain meliputi hadiah bagi 
orang-orang kaya dan shadaqah kepada orang miskin.  Namun demikian para ulama 
berbeda pendapat tentang kadar daging yang dimakan, yang dihadiahkan dan yang 
disedekahkan.  
   
  Syaikh al Utsaimin rahimahullah memberikan pendapatnya,
   
  “Pendapat yang paling tepat adalah dimakan sepertiga, dihadiahkan sepertiga 
dan disedekahkan sepertiga” (Hukum Udhhiyah hal. 57).  WallaHu a’lam.
   
  Maraji’ :
   
    
   Hukum Udhhiyah dan Adab Menyembelih, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, 
at Tibyan, Solo.  
   Panduan Fiqih Lengkap Jilid 3, Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al Khalafi, 
Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, Cetakan Pertama, Dzul Hijjah 1426 H/Januari 2006 M.
   
  Semoga Bermanfaat
   
   


        Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa 
syirik, dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang 
dikehendaki-Nya.  Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah 
berbuat dosa yang besar" (QS. An Nisaa' : 48)
   
  Dari Abu Dzar ra., Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Jibril 
berkata kepadaku, 'Barangsiapa diantara umatmu yang meninggal dunia dalam 
keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka pasti dia masuk 
surga'" (HR. Bukhari) [Hadits ini terdapat pada Kitab Shahih Bukhari]





       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

Kirim email ke