Tolak ukur suatu negeri (menjadi Darul Islam atau bukan) adalah keadaan penduduknya, bukan sistem hukum yang diterapkan dan bukan pula sistem keamanan yang mendominasi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: Keberadaan suatu bumi (negeri) sebagai Darul Kufur, Darul Iman, atau Darul Fasiqin, bukanlah sifat yang kontinue (terus-menerus/langgeng) bagi negeri tersebut, namun hal itu sesuai dengan keadaan penduduknya. Setiap negeri yang penduduknya adalah orang-orang mukmin lagi bertakwa maka ketika itu ia sebagai negeri wali-wali Allah. Setiap negeri yang penduduknya orang-orang kafir maka ketika itu ia sebagai Darul Kufur, dan setiap negeri yang penduduknya orang-orang fasiq maka ketika itu ia sebagai Darul Fusuq. Jika penduduknya tidak seperti yang kami sebutkan dan berganti dengan selain mereka, maka ia disesuaikan dengan keadaan penduduknya tersebut. (Majmu Fatawa, 18/282) Ahlus Sunnah Wal Jamaah berkeyakinan bahwa pada asalnya Daulah Islam hanya satu negara (khilafah) dan satu khalifah. Namun, jika tidak memungkinkan maka tidak mengapa berbilangnya kekuasaan dan pimpinan. Al-Allamah Ibnul Azraqq Al-Maliki, Qadhi Al-Quds (di masanya) berkata: Sesungguhnya persyaratan bahwa kaum muslimin (di dunia ini) harus dipimpin oleh seorang pemimpin semata, bukanlah suatu keharusan bila memang tidak memungkinkan. (Muamalatul Hukkam, hal. 37) Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: Para imam dari setiap madzhab bersepakat bahwa seseorang yang berhasil menguasai sebuah negeri atau beberapa negeri maka posisinya seperti imam (khalifah) dalam segala hal. Kalaulah tidak demikian maka (urusan) dunia ini tidak akan tegak, karena kaum muslimin sejak kurun waktu yang lama sebelum Al-Imam Ahmad sampai hari ini, tidak berada di bawah kepemimpinan seorang pemimpin semata. (Muamalatul Hukkam, hal. 34) Al-Imam Asy-Syaukani berkata: Adapun setelah tersebarnya Islam dan semakin luas wilayahnya serta perbatasan-perbatasannya berjauhan, maka dimaklumilah bahwa kekuasaan di masing-masing daerah itu di bawah seorang imam atau penguasa yang menguasainya, demikian pula halnya daerah yang lain. Perintah dan larangan sebagian penguasapun tidak berlaku pada daerah kekuasaan penguasa yang lainnya. Oleh karenanya (dalam kondisi seperti itu -pen) tidak mengapa berbilangnya pimpinan dan penguasa bagi kaum muslimin (di daerah kekuasaan masing-masing -pen). Dan wajib bagi penduduk negeri yang terlaksana padanya perintah dan larangan (aturan -pen) pimpinan tersebut untuk menaatinya. (As-Sailul Jarrar, 4/512) Demikian pula yang dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : Sesungguhnya pihak-pihak yang berpendapat bahwa permasalahan Al-Imamah (khalifah) merupakan satu tuntutan yang paling penting dalam hukum Islam dan merupakan permasalahan umat yang paling utama (mulia) adalah suatu kedustaan berdasarkan ijma (kesepakatan) kaum muslimin, baik dari kalangan Ahlus Sunnah maupun dari kalangan Syiah (itu sendiri). Bahkan pendapat tersebut terkategorikan sebagai suatu kekufuran, sebab masalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perma-salahan yang jauh lebih penting daripada perma-salahan Al-Imamah. Hal ini merupakan permasalahan yang diketahui secara pasti dalam dienul Islam. (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 1/16)
Kemudian beliau melanjutkan: Kalau (seandainya) demikian (yakni kalau seandainya Al-Imamah merupakan tujuan utama dakwah para nabi, pent), maka (mestinya) wajib atas Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam untuk menjelaskan (hal ini) kepada umatnya sepeninggal beliau, sebagaimana beliau telah menjelaskan kepada umat ini tentang permasalahan shalat, shaum (puasa), zakat, haji, dan telah menentukan perkara iman dan tauhid kepada Allah Taala serta iman pada hari akhir. Dan suatu hal yang diketahui bahwa penjelasan tentang Al-Imamah di dalam Al Qur`an dan As Sunnah tidak seperti penjelasan tentang perkara-perkara ushul (prinsip) tersebut Dan juga tentunya Diantara perkara yang diketahui bahwa suatu tuntutan terpenting dalam agama ini, maka penjelasannya di dalam Al Qur`an akan jauh lebih besar dibandingkan masalah-masalah lain. Demikian juga penjelasan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam terntang permasalahan (Al-Imamah) tersebut akan lebih diutamakan dibandingkan permasalahan-permasalahan lainnya. Sementara Al Qur`an dipenuhi dengan penyebutan (dalil-dalil) tentang tauhid kepada Allah Taala, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta tanda-tanda kebesaran-Nya, tentang (iman) kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir. Dan tentang kisah-kisah (umat terdahulu), tentang perintah dan larangan, hukum-hukum had dan warisan. Sangat berbeda sekali dengan permasalahan Al-Imamah. Bagaimana mungkin Al Qur`an akan dipenuhi dengan selain permasalahan-permasalahan yang penting dan mulia? (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 1/16 abdulloh al jawawi <[EMAIL PROTECTED]> wrote: afwan nanya supaya tidak sasalah pemahaman....... yang dimaksud pemerintah oleh nabi apakah pemerintahan yang berlanaskan Al qur'an dan sunnah sebagai Dasar negaranya atau pemerintah saja ....... seperti ada di suatu negeri ( afwan ana lupa tempatnya ) yang rakyatnya adalah kafir namun rajanya kebetulan muslim dan hukumnya pun banyak di warnai oleh hukum agama rakyatnya apakah juga disebut pemerintahan muslim mohon dengan sangat penjelasanya Abu Hafidz <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Dari Abdullah bin Umar. Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Wajib bagi setiap Muslim untuk mendengar dan taat kepada pemerintah dalam hal yang dia sukai atau di benci, kecuali jika dia di perintahkan untuk bermaksiat kepada Allah. Jika dia di perintahkan untuk kemaksiatan, maka di tidak boleh mendengar dan taat kepadanya" Dari Abu Hurairoh, Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam, "Wajib bagi kamu untuk mendengar dan taat kepada pemerintah dalam keadaan lapang dan sempit, serta dalam keadaan terpaksa maupun ridha, juga dalam keadaan penguasa mengambil harta" Diambil dari buku: Manhaj Ahlus Sunnah Dalam bersikap terhadap penguasa dan Pemerintah (Najla Press) Abus Salam bin Barjas bin Nashir, Ali Abdul Karim. Artinya kita tidak boleh mengikuti bid'ah yang mereka lakukan. Adapun sholat di belakang penguasa/muslim yang berbuat bid'ah adalah tetap sah. Masalah berkumpul dengan mereka maka tergantung niatnya. Jika niatnya untuk menasehati dan bermuamalaf (memperpanjang KTP, urusan administrasi, pertanahan, musyawarah dll), dengan mereka maka tidak mengapa, tetapi jika untuk hal lain spt masalah kepartaian, kemaksiatan dan persekongkolan/perbuatan buruk lainnya maka tidak boleh. Adapun ketaatan yang dimaksud diatas adalah tidak boleh kita memberontak dan mencela di depan orang banyak kepada pemerintahan yang berkuasa, walaupun penguasa tersebut berbuat zalim terhadap rakyatnya. ----- Original Message ----- From: "yuzariza" <[EMAIL PROTECTED]> To: <assunnah@yahoogroups.com> Sent: Saturday, April 15, 2006 12:53 PM Subject: [assunnah] TANYA : Bagaimana taat pada Pemerintah yg ahli Bid'ah..?? akhi, bagaimana cara kita taat pada pemerintah yg ahli bid'ah? apakah kita juga harus memperlakukannya seperti ahli bid'ah lainnya, seperti menjauhkannya, men-tahdzir dan tidak berkumpul pada mereka?? -------------------------------------------- Website Anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id Website audio: http://assunnah.mine.nu Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED] Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED] -------------------------------------------- Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/assunnah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/