From: tdragos...@gmail.com
Date: Mon, 7 Oct 2013 09:37:12 +0700















 



  


    
      
      
      Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuhBelakangan ana menyaksikan 
fenomena dimana orang-orang jika mempunyai hajat lalu mengundang anak-anak 
yatim untuk disantuni lalu meminta anak-anak yatim tersebut mendoakan hajat 
yang dimintakan oleh orang yang mengundang. Ana ingin menanyakan jikalau ada 
akhi atau ukhti yang insya Allah dirahmati Allah, mengetahui tentang dalil 
maqbulnya doa anak yatim. 
Jazakumullahu khair
>>>>>>>>>>>>>>>>>

Yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap anak yatim 
adalah menyantuninya,  bukan meminta do'a dari mereka (anak yatim).

KEUTAMAAN MENYANTUNI ANAK YATIM

Oleh

Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA



عَنْ سَهْلِ بَْنِ سَعْدٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولَ اَللَّهِ صلى
 الله عليه وسلم : أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَ، 
وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئاً 



Dari Sahl bin Sa’ad Radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku dan orang yang menanggung 
anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari 
tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan 
keduanya.[HR al-Bukhari no. 4998 dan 5659]



Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan pahala orang 
yang meyantuni anak yatim, sehingga imam al-Bukhari rahimahullah 
mencantumkannya dalam bab: Keutamaan Orang Yang Mengasuh Anak Yatim.



Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:



• Makna hadits ini: orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan 
menempati kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan kedudukan 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [1].



• Arti “menanggung anak yatim” adalah mengurusi dan memperhatikan semua 
keperluan hidupnya, seperti nafkah (makan dan minum), pakaian, mengasuh 
dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang benar [2].



• Yang dimaksud dengan anak yatim adalah seorang anak yang ditinggal oleh 
ayahnya sebelum anak itu mencapai usia dewasa [3].



• Keutamaan dalam hadits ini berlaku bagi orang yang meyantuni anak 
yatim dari harta orang itu sendiri atau harta anak yatim tersebut jika 
orang itu benar-benar yang mendapat kepercayaan untuk itu [4].



• Demikian pula, keutamaan ini berlaku bagi orang yang meyantuni anak 
yatim yang punya hubungan keluarga dengannya atau anak yatim yang sama 
sekali tidak punya hubungan keluarga dengannya [5].
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3364/slash/0/keutamaan-menyantuni-anak-yatim/

Anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya karena meninggal 
sedang mereka belum mencapai usia baligh. Batasan ini mencakup yatim 
yang masih ada hubungan kekerabatan dengan si pemeliharanya, ataupun 
dari orang lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sebagaimana 
yang dikatakan oleh Syaikh Salim bin Id Al Hilali hafizhahullah ketika 
mengomentari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut: 



كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي 
الْجَنَّةِ وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ 
بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى 



"Pemelihara anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, aku dan 
dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi, 
yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari 
tengahnya". [1]

Banyak nash-nash syar’i yang menegaskan keutamaan menyantuni anak yatim 
dan menjanjikan balasan yang agung bagi para pemelihara anak yatim. Di 
antaranya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:



وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحُُ لَّهُمْ خَيْرُُ وَإِن 
تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ 



"Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah:”Mengurusi 
urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, 
maka mereka adalah saudaramu". [al Baqarah : 220].



Dalam menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di 
rahimahullah berkata: Ketika turun ayat 



إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ 
فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً 



"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, 
sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke 
dalam api yang menyala-nyala". [an Nisa’: 10].



Ayat tersebut terasa berat bagi para sahabat. (Sehingga para sahabat) 
segera memisahkan makanan mereka dari makanan anak yatim, karena 
khawatir akan memakan harta mereka, meskipun sebelumnya mereka terbiasa 
menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim (yang berada dalam 
kepengasuhannya, Pen).



Mereka kemudian bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
tentang hal itu, maka Allah memberi khabar kepada mereka, bahwa maksud 
(ayat tersebut) adalah berbuat ishlah dalam masalah harta anak yatim, 
dengan cara menjaga harta tersebut dan mengembangkannya dalam 
perdagangan. Dan menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim 
dalam masalah makanan ataupun selain itu, hukumnya boleh, asalkan tidak 
merugikan sang yatim. Kerena mereka itu adalah saudara kalian juga. Dan 
(sudah menjadi keumuman), jika saudara bergaul dan berbaur dengan 
saudaranya sendiri. Parameter dalam hal ini adalah niat serta amal (sang
 pengasuh yatim). Allah Maha mengetahui siapa yang berniat untuk berbuat
 baik kepada anak yatim dan dia tidak memiliki keinginan untuk 
mendapatkan harta yatim tersebut. Jika ada yang termakan olehnya tanpa 
ada maksud demikian, maka ia tidak berdosa. 



Allah Maha mengetahui pula siapa yang berniat buruk dalam penggabungan 
harta tersebut, yakni ia ingin mendapatkannya kemudian ia memakannya. 
Demikian inilah yang berdosa. Karena washilah (sarana) memiliki hukum 
yang sama dengan maksud (tujuannya). [4]



Dalam satu haditsnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:



أنا وَ كَافِلُ اليَتِيْمِ في الجَنَّةِ هكَذَا وَ أشَارَ بَالسَبَابَةِ وَ 
الوُسْطَى وَ فَرَّجَ بَيْنَهُمَا



"Aku dan pemelihara anak yatim di surga nanti, kedudukannya seperti (dua
 jari ) ini,” dan Beliau memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan 
jari tengahnya dan memisahkan keduanya". [5]



Dalam hadits tersebut, Rasulullah memberikan permisalan yang sangat 
gamblang tentang luhurnya kedudukan pemelihara anak yatim. Bahwa di 
surga nanti mereka memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan Beliau 
Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2582/slash/0/tarbiyah-bagi-yatim/

Wallahu Ta'ala A'lam




    
     

    
    






  
                                          

Kirim email ke