From: purb...@yahoo.co.id Date: Mon, 7 Oct 2013 09:14:24 +0800
Bismillah Bagaiman hukumnya bila tidak menyimak bacaan Al Qur'an, yang di dengar dari pengeras suara di masjid? muliaman purba >>>>>>>>>>>>> DALAM PERTEMUAN DIPERDENGARKAN BACAAN AL-QUR'AN AKAN TETAPI YANG HADIR TIDAK MENYIMAK, SIAPAKAH YANG BERDOSA ? Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani http://almanhaj.or.id/content/346/slash/0/dalam-pertemuan-diperdengarkan-bacaan-al-quran-dan-yang-hadir-tidak-menyimak-siapakah-yang-berdosa/ Pertanyaan. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Apabila dalam suatu majelis (perkumpulan) diperdengarkan kaset murattal (bacaan Al-Qur'an) tetapi orang-orang yang hadir dalam perkumpulan tersebut kebanyakan mengobrol dan tidak menyimak (mendengarkan) bacaan Al-Qur'an yang keluar dari kaset tersebut. Siapakah dalam hal ini yang berdosa ? Yang mengobrol atau yang memasang kaset itu ? Jawaban. Apabila majelis tersebut memang majelis zikir dan ilmu yang di dalamnya ada tilawah Al-Qur'an maka siapaun yang hadir dalam majelis tersebut wajib diam dan menyimak bacaan tersebut. Dan berdosa bagi siapa saja yang sengaja mengobrol dan tidak menyimak bacaan tersebut. Dalilnya adalah surat Al-A'raf/7 : 204. وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ "Apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat" Adapun jika majelis tersebut bukan majelis ilmu dan zikir serta bukan majelis tilawah Al-Qur'an akan tetapi hanya kumpul-kumpul biasa untuk mengobrol, diskusi, bekerja, belajar atau pekerjaan lain-lain, maka dalam suasana seperti ini tidak boleh kita mengeraskan bacaan Al-Qur'an baik secara langsung ataupun lewat pengeras suara (kaset), sebab hal ini berati memaksa orang lain untuk ikut mendengarkan Al-Qur'an, padahal mereka sedang mempunyai kesibukan lain dan tidak siap untuk mendengarkan bacaan Al-Qur'an. Jadi dalam keadaan seperti ini yang salah dan berdosa adalah orang yang memeperdengarkan kaset murattal tersebut. Di dalam masalah ini ada sebuah contoh : Misalnya kita sedang melewati sebuah jalan, yang jalan tersebut terdengar suara murattal yang keras yang berasal dari sebuah toko kaset. Begitu kerasnya murattal ini sehingga suaranya memenuhi jalanan. Apakah dalam keadaan seperti ini kita wajib diam untuk mendengarkan bacaan Al-Qur'an yang tidak pada tempatnya itu ? Jawabannya tentu saja "tidak". Dan kita tidak bersalah ketika kita tidak mampu untuk menyimaknya. Yang bersalah dalam hal ini adalah yang memaksa orang lain untuk mendengarkannya dengan cara memutar keras-keras murattal tersebut dengan tujuan untuk menarik perhatian orang-orang yang lewat agar mereka tertarik untuk membeli dagangannya. Dengan demikian mereka telah mejadikan Al-Qur'an ini seperti seruling (nyanyian) sebagaimana telah di-nubuwah-kan (diramalkan) dalam sebuah hadits shahih [Ash-Shahihah No. 979]. Kemudian mereka itu juga menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang rendah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, hanya caranya saja yang berbeda. اشْتَرَوْا بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا "Mereka menukar ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit" [At-Taubah/9 : 9] MEMBACA AL-QUR’AN ATAU MEMUTAR KASET BACAAN AL-QUR’AN MELALUI PENGERAS SUARA SEBELUM SHALAT JUM’AT Oleh Wahid bin ‘Abdis Salam Baali. http://almanhaj.or.id/content/2161/slash/0/membaca-al-quran-atau-memutar-kaset-bacaan-al-quran-melalui-pengeras-suara-sebelum-shalat-jumat/ Di banyak masjid seorang qari’ akan duduk sebelum shalat Jum’at sekitar setengah jam sambil membaca al-Qur’an dengan suara keras sampai waktu adzan tiba. Dan ini jelas salah, dengan dua alasan: Pertama: Perbuatan ini adalah bid’ah yang diada-adakan. Tidak pernah ditegaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan seorang Sahabat yang memiliki suara yang merdu, seperti Abu Musa al-Asy’ari, ‘Abdullah bin Mas’ud, dan lain-lainnya untuk membaca al-Qur’an sebelum shalat Jum’at sementara orang-orang mendengarkannya. Seandainya hal tersebut baik, pastilah mereka (Salafush Shalih) akan mendahului kita untuk melakukan hal itu. Kedua: Hal itu akan mengganggu orang-orang yang shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir, dan berdo’a. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang sebagian jama’ah shalat untuk saling mengeraskan suara dalam membaca al-Qur’an atas sebagian yang lain. Imam Malik dan Imam Ahmad رحمهما الله telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari al-Bayadhi radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui orang-orang yang sedang mengerjakan shalat, sementara suara mereka terdengar keras membaca al-Qur’an, maka beliau bersabda: إِنَّ الْمُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيهِ بِهِ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ. “Sesungguhnya orang yang shalat itu bermunajat kepada Rabb-nya, karenanya hendaklah dia memperhatikan dengan apa dia bermunajat. Dan janganlah sebagian kalian mengeraskan suara atas sebagian yang lain dalam membaca al-Quran.” [1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf di masjid lalu beliau mendengar mereka mengeraskan suara bacaan al-Qur’an, lalu beliau membuka tabir pemisah seraya bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya masing-masing dari kalian bermunajat kepada Rabb-nya. Oleh karena itu, janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian lainnya, dan janganlah sebagian mengangkat suara atas yang lainnya dalam membaca al-Qur’an,” atau beliau bersabda, “Dalam shalat.” [2] Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Jika orang yang shalat membaca bacaan al-Qur'an tidak boleh mengeraskan suaranya agar tidak salah dan tidak mengganggu orang di sampingnya. Dengan demikian, berbicara di masjid yang mengganggu jama’ah shalat maka jelas lebih tegas, lebih tidak diperbolehkan, dan lebih haram.” [3] _______ Footnote [1]. Shahih: Diriwayatkan oleh Malik: 3- kitab ash-Shalaah, 6- bab al-‘Amal fil Qira-ah. Dan Ahmad (XXXI/363), no. 19022), terbitan ar-Risaalah. Al-Baihaqi di dalam kitab al-Kubraa (III/ 11) di dalam kitab ash-Shalaah, bab man lam yarfa’ shautahu bil qiraa’ah syadiidan idzaa kaana yataadzaa bihi man haulahu. Hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu ‘Abdil Barr di dalam kitab at-Tamhiid (II/92/Fat-hul Maalik) juga al-Albani di dalam ta’liq (komentar) terhadap kitab Ishlaahul Masaajid (74), serta al-Arnauth di dalam kitab Tahqiiq al-Musnad (no. 19022). [2]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1332) dan dinilai shahih oleh Ibnu ‘Abdil Barr di dalam kitab at-Tamhiid (II/92/ Fat-hul Maalik), serta al-Albani di dalam kitab Shahiih Sunan Abu Dawud (no. 1183). [3]. Fat-hul Maalik bitabwiibit Tamhiid ‘alaa Muwaththa’ Malik (II/92).