From: poernam...@yahoo.com
Date: Wed, 15 Dec 2010 17:55:06 -0800 


saya ada beberapa pertanyaan, mungkin teman2 ada yang bisa bantu.
3. hukum barang gadai, bolehkah dimanfaatkan oleh pihak yang memberi pinjaman ( 
semisal motor, atau tanah, bisa dimanfaatkan oleh pemberi pinjaman dengan 
seijin 
pihak penggadai)?
>>>>>>>>>>>>
 
Silakan baca penjelasan dari almanhaj.or.id
http://almanhaj.or.id/content/2113/slash/0
[2]. Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan 
adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh 
mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa 
kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan 
mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan 
barang tersebut). Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan 
besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di 
dasarkan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا 
كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ 

“Artinya : Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari 
hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan 
yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayat At-Tirmidzi]

Menurut Syaikh Al Basaam, ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai 
dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang 
tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan 
yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai. [25] 

Penulis kitab Al-Fiqhul Muyassarah mengatakan, manfaat dan pertumbuhan barang 
gadai menjadi hak pihak penggadai, karena barang itu meupakan miliknya. Ornang 
lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan Murtahin 
(pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan, dan 
hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu berarti 
peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Akan tetapi, bila barang gadainya 
berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka Murtahin 
mengendarainya dan memeras susunya, sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari 
penggadai karena sabda Rasulullah.

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ 
يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ 
وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

“Artinya : Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila 
digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah, apabila 
digadaikan. Dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya (untuk) memberinafkah” 
[HR Al Bukhori no. 2512]

Demikian madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari Hanafiyah, 
Malikiyah dan Syafi'iyah mereka memandang Murtahin tidak boleh mengambil 
manfaat barang gadai. Pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ

“Artinya : Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya 
pemeliharaannya” [HR Al daraquthni dan Al Hakim]

Mereka tidak mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai 
nafkahnya, kecuali Ahmad dan inilah yang rajih Insya Allah karena hadits shohih 
tersebut. [26] 

Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits pemanfaatan 
kendaraan gadai, bahwa hadits ini dan kaidah dan ushul syari'at menunjukkan, 
hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan, 
dan Murtahin (yang memberikan hutang) memiliki atasnya sebagai hak jaminan. 
Bila barang gadai tersebut ditangannya, lalu tidak dinaiki dan tidak diperas 
susunya, tentu kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia. Sehingga tuntutan 
keadilan, analogi (qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai 
(Murtahin) dan hewan tersebut, ialah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan 
memeras susunya, dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila 
Murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka 
dalam hal ini terdapat kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.[27] 
__________
[25]. Lihat pembahsannya dalam Taudhih Al Ahkam 4/462-477.
[26]. Al Fiqh Al Muyassar hal 117.
[27]. Dinukil dari Taudhih Al Ahkaam 4/462

                                          

Kirim email ke