From: abu.haur...@yahoo.com
Date: Sat, 10 Mar 2012 00:02:10 -0800

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh,





Mohon penjelasan mengenai hukum membeli sukuk/obligasi berdasarkan prinsip 
syariah.

Jazakumullahu khairan atas penjelasannya.

Wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh,
>>>>>>>>>>>>>>>>
 
SUKUK
Diantara praktik riba yang mengalami modernisasi –sehingga banyak umat Islam 
yang terperdaya- ialah jual beli ‘inah. Modernisasi jual beli ‘inah terwujud 
dalam bentuk jual beli sukuk yang berbasis asset. Sukuk yang berarti surat 
berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syari’ah yang dikeluarkan emiten[3] 
kepada pemegang obligasi syari’ah. Berdasarkan sukuk ini emiten wajib membayar 
pendapatan kepada pemegang obligasi syari’ah berupa bagi hasil margin atau fee, 
serta membayar kembali dana obligasi saat jatuh tempo.

Namanya keren, namun sejatinya adalah jual beli ‘inah. Untuk lebih jelasnya, 
berikut alur penerbitan sukuk al-ijarah. Pemerintah atau perusahaan menjual 
suatu asset (misalnya gedung atau tanah) kepada suatu perusahaan yang ditunjuk, 
misalnya PT B yang berperan sebagai emiten. Dan pada akad penjualan disepakati 
pula :

• Pemerintah atau perusahaan penjual akan membeli kembali asset tersebut 
setelah jangka waktu tertentu (10 tahun –misalnya)
• Pemerintah atau perusahaan penjual menyewa kembali asset tersebut selawam 
waktu 10 tahun, dengan harga jual sama dengan harga jual pertama. Tentunya 
dalam menentukan besarnya sewa dan hasil investasi tersebut ada kandungan 
bagi-hasil yang harus dibayarkan kepada para pemegang sukuk.

Dari penjelasan sederhana ini tampak dengan jelas bahwa :

Kepemilikan atas asset tersebut sejatinya tetap berada di tangan pemerintah, 
sepanjang pembayaran kembali investasi sukuk kepada investor tersebut berjalan 
lancar.

Penerbitan sukuk al-ijarah tersebut juga tidak mengubah pemanfaatan asset yang 
bersangkutan[4]

Anda bisa cermati bahwa sejatinya yang terjadi adalah hutang piutang dengan 
mendatangkan keuntungan. Sementara itu, akad jual beli dan kemudian 
sewa-menyewa yang ada hanyalah kamuflase belaka. Hal ini tampak dengan jelas 
karena penjualan kembali asset yang menjadi underlying sukuk setelah jatuh 
tempo seharga waktu jual pada awal penerbitan sukuk, tanpa peduli dengan nilai 
jual sebenarnya yang berlaku di pasar.

Praktik semacam ini sejatinyalah ialah praktik jual beli ‘inah. Dahulu praktik 
‘inah sangat sederhana, yaitu anda menjual barang kepada pihak kedua dengan 
harga terhutang. Dan kemudian anda membeli kembali barang tersebut darinya 
dengan pembayaran tunai dan tentunya dengan harga yang lebih murah. Jual beli 
‘inah ini dicela pada hadits berikut.

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ 
بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ 
يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Bila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah, sibuk mengurusi sapi 
(peternakan), merasa puas dengan hasil pertanian, dan meninggalkan jihad, 
nisacaya Allah menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak pernah Ia angkat 
hingga kalian kembali kepada agama kalian” [5]

Karena itu International Islamic Fiqh Academy dari Organisasi Konferensi Islam 
dalam keputusannya yang bernomor 178 (4/19) tahun 1430H/2009M mensyaratkan agar 
pembelian kembali sukuk mengikuti harga yang berlaku di pasar pada saat 
pembelian dan bukan menggunakan harga jual pertama pad saat penerbitan.
 
Selengkapnya baca di http://almanhaj.or.id/content/3236/slash/0
Wallahu a'lam




                                          

Kirim email ke