From: nuni_...@yahoo.com
Date: Tue, 11 Oct 2011 02:54:48 +0000
Assalamu'alaykum...
Sanadnya hadist ini apakah benar shahih.....
Rasululloh bersabda,"bersedekahlah km utk dirimu,dan kawan atau 
saudara/orgtuamu yg sdh meninggal dunia,sekalipun hanya seteguk air,maka jk tdk 
mampu demikian,berhadiahlah km dgn bacaan Alqur'an atau seayat dan jk tdk mampu 
pula maka mohonkanlah ampunan dan rahmat bagi mereka.Sungguh Alloh menjanjikan 
kpdmu bagi pengabulannya(Duratun nasihin hal 340)

Perkataan ini dijadikan hujjah bhw membaca yasin kpd si mayit. Terus terang ana 
ngga bisa jwb lagi,krn dia bilang perawinya dari abu hurairah dan siti aisyah.
jazakillahu khoiron.
>>>>>>>>>>>
Untuk mengetahui kedudukan hadits tersebut, silakan baca buku "Hadits-Hadits 
Lemah Dan Palsu Dalam Kitab Durratun Nashihin', Penulis Dr Ahmad Lutfi 
Fathullah MA, Penerbit Darus Sunnah.
Adapun kedudukan membaca yasin kepada si mayit, dapat dibaca di : BACAAN SURAT 
YASIN BUKAN UNTUK ORANG MATI http://almanhaj.or.id/content/2046/slash/0

Secara ringkas penjelasan tentang kitab Durratun Nashihin
KAJIAN HADITS DALAM KITAB DURRATUN NASHIHIN, AWAS HADITS PALSU!
http://almanhaj.or.id/content/1879/slash/0

Kitab Durratun Nashihin begitu populer di Indonesia, India, dan Turki. Namun, 
menurut hasil penelitian Dr. Lutfi Fathullah, 30% dari 839 hadis di dalamnya 
ternyata berkategori palsu.

Bagi Anda yang merasa punya dosa, sebesar dan seberat apa pun dosa itu, jangan 
takut. Cobalah baca salawat kepada Nabi Muhammad saw. Sebanyak seratus kali 
setiap hari Jumat. Maka dengan salawat itu dosa-dosa Anda praktis akan diampuni 
Tuhan. Ini sesuai dengan sebuah hadis yang dikutip Utsman ibn Hasan Al-Khubawi 
(w. 1824) dalam kitabnya Durratun Nashihin (DN). Hadis itu persisnya berbunyi, 
"Man shalla `alayya mi'atan fi kulli yaumi jumu`atin ghafarallahu lahu walau 
kanat dzunubuhu mitsla zabadil-bahri" (Barangsiapa membaca salawat seratus kali 
untukku setiap hari Jumat, maka Allah akan mengampuni dosanya, sekalipun 
dosanya itu seperti buih laut). Benarkah demikian? Tunggu dulu. Hadis itu, 
menurut Dr. Lutfi Fathullah, ternyata palsu dilihat dari segi kekuatan 
hukumnya. Merujuk pada ahli hadis Asy-Syakhawi dalam kitabnya Al-Qaulul-Badi`, 
dosen ilmu hadis di IAIN Jakarta itu berpendapat bahwa hadis tersebut tak 
dikenal perawinya. Asy-Syakhawi tidak menemukan asal atau sumber hadis itu yang 
valid sebagai sabda Nabi Muhammad. "Karena itu," kata Lutfi, "Asy-Syakhawi 
memasukkan hadis tersebut sebagai hadis yang tidak sahih alias palsu." Dan, itu 
berarti pula, belum tentu benar bahwa hanya dengan membaca salawat seratus kali 
di hari Jumat segala dosa diampuni Tuhan.

Lutfi menyatakan pendapatnya itu dalam disertasinya berjudul "Kajian Hadis 
Kitab Durratun Nashihin" yang ditulisnya guna meraih gelar doktor falsafah 
dalam bidang ilmu hadis pada Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan 
Malaysia (UKM), Bangi, Malaysia. Disertasi setebal 787 halaman di bawah 
bimbingan Prof. Dr. Jawiah Dakir itu telah dipresentasikannya di depan sidang 
promosi doktor di UKM, 27 Oktober 1999 lalu, dengan penguji Prof. Dr.Muhammad 
Radhi, Prof. Dr. Abdul Samad Hadi, Prof. Dr. M. Zein, dan Prof. Dr.Muddasir 
Rosdir. Dan hasilnya, Lutfi meraih gelar doktor dengan yudisium memuaskan.

RUJUKAN PESANTREN.
Anak Betawi asli yang lahir pada 25 Maret 1964 itu memang sudah lama peduli 
hadis. Selain berhasil mengantongi gelar master dalam ilmu-ilmu hadis ('ulumul 
hadits) dari Fakultas Syariah Universitas Yordania (1994), Lutfi juga selama 
empat tahun pernah secara intens bergelut dengan kitab-kitab tafsir-hadis karya 
ulama-ulama ternama, seperti Bukhari, Muslim, Nasa'i, Tirmidzi, dan lain-lain. 
Lebih-lebih lagi, komunikasi-intelektualnya sangat dekat dengan Prof. Dr. 
Nuruddin `Itr, salah seorang pakar ilmu hadis yang sangat dikenal di dunia Arab.

Dengan dasar-dasar itu, Lutfi merasa jengah melihat cara masyarakat Islam, 
khususnya kalangan ulamanya, dalam menggunakan hadis. Menurut dia, dalam 
mengutip sebuah hadis, banyak kiai dan ulama hanya mengandalkan ucapan "Qaala 
Rasulullah...", tanpa menyebut siapa perawi dan apa sanadnya. Ini berbahaya, 
baik bagi pengucapnya atau pendengarnya. Dalam ilmu hadis, lanjut alumnus 
Gontor itu, kalau sebuah hadis tak jelas perawinya, mungkin itu hadis palsu. 
"Menggunakannya sebagai dalil, dosanya sangat besar," ujar Lutfi seraya 
mengutip hadis dari kitab Sahih Bukhari, "Man kadzaba `alayya muta`ammidan 
fal-yatabawwa' maq`adahu minan-nar" (Barangsiapa berbohong kepadaku secara 
sengaja maka tempatnya di api neraka), sebagai landasan teologis penelitiannya.

Nah, dari situlah Lutfi merasa terpanggil untuk memilih DN sebagai objek 
kajiannya. Menurut dia, DN merupakan salah satu kitab populer di Indonesia. 
Menurut penelitian Martin van Bruinessen dan penelitian Masdar F. Mas`udi dkk., 
DN kerap dijadikan rujukan di masjid-masjid, musala, sekolah, dan terutama 
pesantren-pesantren di Sumatera, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, 
Jawa Timur, dan Madura. DN pun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. 
Bahkan menurut Lutfi, sudah ada tujuh versi terjemahan DN berbahasa Indonesia, 
dengan penerjemah dan penerbit yang berbeda-beda--pertama kali diterjemahkan H. 
Salim Bahreisy, diterbitkan Balai Buku, Surabaya (1978).

DN ternyata juga cukup populer di Malaysia, Turki dan India. Di Malaysia, 
menurut Lutfi, hadis-hadis dalam DN sering dikutip di TV1, TV2, TV3, Berita 
Harian, dan lain-lain. Sementara di Turki bahkan sudah lebih lama lagi dikenal: 
sudah diterbitkan sejak 1262 H dan mengalami beberapa kali cetak ulang. Begitu 
pula di Mesir (terbit pada 1264 H), Libanon (dicetak ulang pada 1993 M) dan 
India (dicetak pada 1281 H). "Pokoknya," kata Lutfi, "di mana pun tradisi 
tasawuf cukup kuat, di situlah DN mendapat tempat. Sebab, hadis-hadis di 
dalamnya memang cenderung lebih dekat ke tasawuf." Yang agak mencengangkan 
adalah hasil temuan Lutfi sendiri. Hadis yang dikutip di atas bukanlah 
satu-satunya hadis palsu dalam DN dilihat dari kekuatan hukumnya.

Menurut dia, setelah merujuk pada kitab-kitab ahli hadis yang diakui 
mu`tabarah, secara keseluruhan Lutfi menemukan sebanyak 251 hadis palsu (30%). 
Sementara yang lemah (dha`if) 180 hadis (21,5%), amat lemah 48 hadis (5,7%), 
dan belum dapat dipastikan sebanyak 56 hadis (6,7%). "Yang terakhir ini 
dikategorikan demikian karena hadis-hadis tersebut tak dikenal perawinya. Atau 
bila dikenal, sanadnya tak diketahui," jelasnya.

JANGAN ASAL SEBUT.
Adapun hadis yang shahih sebanyak 204 hadis (24,3%), shahih lighairihi 12 hadis 
(1,4%), isnadnya shahih 2 hadis (0,2%), hasan 67 hadis (8%), dan hasan 
lighairihi 19 hadis (2,2%) (Lihat tabel 1). Dari sejumlah itu, Lutfi juga 
mengklasifikasikan boleh-tidaknya hadis-hadis tersebut untuk digunakan sebagai 
dalil dalam berbagai keutamaan amal (fadha'ilul a`mal). Dari 839 hadis itu 
masing-masing boleh digunakan sebanyak 484 hadis (57,7%), tidak boleh digunakan 
sebanyak 336 hadis (40,2%), dan tak dapat dipastikan sebanyak 18 hadis (2,1%) 
(Lihat tabel 2).

Secara sederhana, Lutfi berkesimpulan seperti itu karena dua alasan.

Pertama : Dari segi kredibilitas penulisnya, keahlian Al-Khubawi dalam 
ilmu-ilmu keislaman, khususnya tafsir-hadis, masih diperdebatkan. Ismail Basya, 
misalnya, penulis biografi Al-Khubawi, tak pernah memujinya dengan sebutan 
Al-`Allamah, Asy-Syaikh, atau Al-Imam. Sementara Umar Ridha Kahhalah memuji 
Al-Khubawi dengan gelar wa`izh (pemberi nasihat), mufassir (ahli tafsir), dan 
muhaddits (ahli hadis). Lutfi menolak julukan itu, karena Al-Khubawi bukan 
mufasir dan muhaddits. "Saya setuju julukan wa`izh, pemberi nasihat. Memang 
itulah isi DN sebenarnya," tuturnya seraya menjelaskan bahwa DN merupakan 
satu-satunya karya Al-Khubawi.

Kedua Karena Al-Khubawi bukan muhaddits, wajar jika kandungan DN lemah secara 
metodologi ilmu hadis. Misalnya, seperti ditemukan Lutfi, Al-Khubawi menukil 
hadis dari kitab-kitab tak dikenal pengarangnya; tidak menyebut sanad, baik 
dari dia sendiri atau dari perawi yang dinukilnya; tidak lazim menyebut perawi 
hadis setingkat sahabat; menyebut hadis dengan lafaz-lafaz kitab yang dinukil, 
bukan kitab asal yang meriwayatkan hadis dengan sanadnya; tidak menjelaskan 
hadis-hadis yang dinukilnya dapat dijadikan dalil atau tidak; tidak menilai 
hadis (hasan, dha`if, dan seterusnya) atau mengeritiknya; dan tidak menggunakan 
lafaz penyampaian (qaala, ruwiya, rawaa) sebagai syarat kekuatan hadis yang 
disebutkan.

Berdasarkan studinya itu, Lutfi menyarankan agar umat Islam--khususnya kiai dan 
ulama--lebih hati-hati dalam menggunakan hadis dan tidak asal sebut. DN juga 
perlu direvisi dengan penjelasan-penjelasan seperlunya. Misalnya ada keterangan 
hadis ini shahih, hadis itu palsu, dha`if, dan sebagainya. Bisa juga dibuat 
edisi mukhtasharnya dengan membuang semua hadis palsu atau yang tak jelas 
sumbernya. Ini mendesak dilakukan, mengingat sudah begitu terkenalnya kitab DN 
di masyarakat, sementara kritisisme masyarakat sendiri sangat minim terhadap 
hadis. "Kalau ini kita biarkan, berarti kita melestarikan kepalsuan-kepalsuan. 
Dan itu sangat berdosa," tegas Lutfi. Dengan begitu, Lutfi sebetulnya sedang 
berbicara pada dirinya sendiri, atau dengan sesama ahli hadis lain--yang di 
Indonesia sangat minim, atau boleh dibilang langka. Akan lebih baik lagi jika 
hal serupa dilakukan juga terhadap kitab-kitab lain. Jadi, kita tunggu saja 
hasilnya. Dan Lutfi sudah memulainya. [Nasrullah Ali-Fauzi]


Kekuatan Hukum Hadis-hadis dalam Durratun Nashihin

Hukum Hadis, (Jumlah %)
Shahih, = (204) (24,3%)
ShahihLighairihi, = (12) (1,4%)
Isnaduhu Shahih, = (2) (0,2%)
Hasan, = (67) (8%)
Hasan Lighairihi, = (19) (2,2%)
Dha'if, = (180) (21,5%)
Amat Dha'if, = (48) (5,7%)
Palsu, = (251) (30%)
Belum Dapat Dipastikan, = (56) (6,7%)
Jumlah, = (839) (100%)

Kegunaan Hadis-hadis dalam Durratun Nashihin Sebagai Dalil

Kegunaan, (Jumlah %)
Boleh Digunakan, = (484) (57,7%)
Tidak Boleh Digunakan, = (336) (40,2%)
Tidak Dapat Dipastikan, = (18) (2,1%)
Jumlah, = (839) (100%)

[Disalin dari Majalah PANJI MASYARAKAT, Kolom AGAMA / PANJI NO. 32 TH III. 24 
NOVEMBER 1999. Sumber: Kajian Hadis dalam Kitab Durratun Nashihin]

Wallahu 'alam






                                          

Kirim email ke