Sutrah Dalam Perspektif Fiqh Islam
oleh : Ibnu Arbain Husnul Yaqin
------------------------------------------------------------------------
Batasan Sutrah
Berkenaan dengan batasan sutrah, maka ada dua hal yang seharusnya
mendapat perhatian, yaitu:
1. Batasan orang yang shalat dengan sutrah
Telah ada penjelasan sebelumnya, bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam memerintahkan terhadap orang yang mendirikan shalat agar mendekat
terhadap sutrah sebagaimana termaktub di dalam beberapa hadits, dan
salah satunya telah kami nukilkan sebelumnya.
Adapun batas terpanjang antara orang yang shalat dengan sutrah
sebagaimana yang termaktub di dalam riwayat-riwayat yang ada menyatakan
tiga dhira' (tiga hasta) dan yang terpendek adalah dapat dilewati oleh
seekor kambing. Sebagaimana atsar yang datang dari Sahl bin Sa'd, ia
berkata: /"Jarak anatara tempat Nabi shalat dan dinding adalah dapat
dilewati oleh seekor kambing"/ (HR. al-Bukhari, 1/574 dan Muslim, 4/225)
Dan di dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa jarak tempat nabi dan
kiblat adalah sebatas dapat dilewati seekor kambing." (HR. Abu Dawud,
1/111)
Al-Imam an-Nawawiy berkata: Ulama' dari kalangan kami telah menyatakan
bahwa seyogyanya seorang yang sedang shalat mendekatkan dirinya ke arah
sutrah dan tidak lebih dari tiga dhira' (tiga hasta) (Lihat, Syarah
Muslim, 4/217) atau sebatas dapat digunakan sujud sebagaimana yang
dikatakan oleh al-Imam al-Baghawiy, asy-Syafi'i dan Ahmad (Lihat, Syarh
as-Sunnah, 2/447).
2. Batasan tinggi sutrah
Dalam masalah ini para ulama' berselisih menjadi dua pendapat:
*Pertama*: Sebagaian ulama' mengatakan bahwa batas minimal tinggi sutra
adalah sehasta, berdasarkan sabda Rasulullah /Shallallaahu 'alaihi wa
sallam/ dalam beberapa haditsnya, di antaranya:
* Hadits riwayat Thalhah, ia berkata, Rasulullah /Shallallaahu
'alaihi wa sallam/ bersabda: "Apabila salah seorang di antara kamu
meletakkan di antara dia (sesuatu) setinggi pelana onta, maka
hendaklah dia shalat dan jangan menghiraukan siapapun yang lewat
di belakangnya (sutrah)." (HR. Muslim, 4/216, 217)
* Hadits riwayat 'Aisyah, dia berkata: "Rasulullah pernah ditanya
ketika perang Tabuk tentang sutrah orang shalat, maka beliau
menjawab: seperti tinggi pelana onta." (HR. Muslim, 4/216, 217).
* Hadits riwayat Abu Dzar, dia berkata, Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam bersabda: " Apabila salah seorang di antara kamu
shalat, maka akan tertutupi jika di antara dia seperti pelana
onta. Dan jika di antara dia seperti itu, maka keledei, wanita
dewasa, dan anjing hitam dapat memutuskan (membatalkan)
shalatnya." (HR. Muslim, 4/216, 217).
Maka hadits di atas menunjukkan bahwa batas minimal tinggi sutrah
yang dapat menutupi orang shalat dan menjaganya dari orang yang
lewat adalah seperti tingginya pelana onta, yaitu sehasta dan
dalam bentuk apa saja sebagaimana yang dikatakan oleh Qatadah,
'Atha', Ibnu Juraid (Lihat, HR. Abdur Razaq, 2/9; Abu Dawud,
1/109; dan Ibnu Khizaimah, 2/11) dan tidaklah cukup baginya
apabila kurang dari yang demikian kecuali dalam situasi yang tidak
memungkinkan.
*Kedua*:Sebagian ulama' mengatakan tidak ada batasan tinggi dalam
sutrah, artinya apa saja dapat dijadikan sebagai sutrah meskipun dalam
bentuk garis. Hal ini didasarkan atas riwayat Abu Hurairah dari Nabi
/Shallallaahu 'alaihi wa sallam,/ beliau bersabda: /"Jika salah seorang
di antara kalian shalat, maka jadikanlah tempat wajahnya (dalam sujud)
sesuatu (sebagai sutrah). Jika tidak ada hendaklah dia menancapkan
tongkat, jika tidak ada maka hendaklah dia membuat garis sehingga tidak
tidak ada sesuatupun yang lewat dapat mengganggunya."/ (HR. Ahmad, dalam
Fath ar-Rabbaniy: 3/127; Abu Dawud, 1/`27; Ibnu Majah, 1/303)
Namun demikian hadits ini tidak dapat digunakan sebagai hujjah (dalil)
dalam masalah ini, dikarenakan beberapa hal:
* Bahwa hadits di atas berbicara tentang seseorang yang tidak
mendapat sutrah sebagaimana mestinya, maka dengan demikian tidak
dapat dijadikan alasan kecuali dengan syarat tersebut.
* Dari sisi sanad, hadits ini mudhtharib (guncang), karena dalam
riwayat ini kadangkalanya perawinya mengatakan hadits ini
diriwayatkan dari Abi Amr bin Harits dari bapaknya dari Abu
Hurairah dan kadangkalanga mengatakan hadits ini diriwayatkan dari
Abi Amr bin Muhammad bin harits dari bapaknya dari Abu Hurairah
dan kadangkalanya mengatakan hadits ini diriwayatkan dari Harits
bin Amar dari Abu Hurairah dan lain-lain. (Lihat, Muqaddimah Ibnu
Shalah, hal. 85; Talkhish al-Habir, 1/286 dan an-Naktun 'ala Ibnu
Shalah, 2/772).
Dari argumentasi-argumentasi di atas jelaslah bagi kita bahwa pendapat
yang kuat adalah yang mengatakan bahwa batasan tinggi minimal sutrah
adalah sehasta, artinya dalam kondisi memungkinkan untuk mendapatkan
sutrah setinggi tersebut maka tidak dibenarkan mencukupkan dengan garis
atau sesuatu yang tingginya kurang dari sehasta kecuali dalam kondisi
terpaksa. Yang jelas bagi setiap orang tidak diperkenankan shalat
kecuali dengan menggunakan sutrah dalam kondisi apapun dan dalam bentuk
apapun.
Macam-Macam Sutrah
Sebagaimana yang termaktub di dalam hadits sebelumnya bahwa pada asalnya
segala sesuatu yang setinggi mu'aharah ar-Rahl (setinggi pelana onta)
maka dapat dijadikan sutrah. Dan sebagaimana telah ada dalam banyak
riwayat, di antara bentuk sutrah yang pernah digunakan oleh Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:
* Shalat menghadap dinding, sebagaimana Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam pernah shalat menghadap ke dinding masjid, dan dinding
Ka'bah. (Lihat, HR. al-Bukhari, 2/212).
* Shalat menghadap ke al-'Anajah (sejenis tombak atau tongkat),
sebagaimana hadits riwayat Ibnu Umar, yang termaktub di dalamnya
lafadz al-'Anajah. (Lihat, HR. Muslim, 4/218)
* Shalat menghadap ke al-Hirbah (sejenis alat yang terbuat dari besi
setinggi kepala), sebagaimana hadits riwayat Ibnu Umar. (Lihat,
HR. Muslim, 4/218)
* Shalat menghadap ke tongkat, sebagaimana hadits riwayat Anas bin
Malik (Lihat, HR. al-Bukhari, 1/575).
* Shalat menghadap ke kendaraan (onta), sebagaimana hadits riwayat
Ibnu Umar yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa sallam shalat menghadap ke hewan tunggangan (onta), sebagaimana
telah ada riwayat yang menjelaskan selainnya (Lihat, HR. Ibnu Abi
Syaibah dengan sanad yanbg shahih, 1/383)
* Shalat menghadap ke pohon, sebagaimana hadits riwayat Ali bin Abi
Thalib yang mengkhabarkan bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam shalat menghadap ke pohon. (Lihat, HR. an-Nasa'i dalam
al-Kubra dengan sanad yang hasan; al-Fath, 1/580 dan Tuhfatul
Asyraf, 7/357, 358).
* Shalat menghadap tempat tidur dan seorang istrinya sedang tidur,
sebagaimana hadits riwayat 'Aisyah yang menjelaskan bahwa Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa sallam shalat menghadap tempat tidur
sedang dia dalam keadaan tidur berbaring. (Lihat, HR. al-Bukhari,
1/581; 3/201).
Demikian bentuk sutrah yang pernah dipergunakan oleh Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Hal-Hal yang Berhubungan Dengan Sutrah
Berkaitan dengan hukum-hukum dalam permasalahan sutrah, maka ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:
* Sutrah dalam shalat berjama'ah adalah tanggung jawab seorang imam.
Jika dia tidak mengambil sutrah maka yang demikian adalah
kesalahan dia dan bukan kesalahan makmum karena dalam shalat
berjama'ah seorang makmum tidak wajib baginya sutrah sehinga tidak
berhak mencegah orang yang lewat di depannya. Maka tidak benar
jika dikatakan bahwa sutrah imam juga merupakan sutrah makmum,
karena kalau demikian jika ada seseorang yang lewat di antara
makmum maka sutrahnya imam mempunyai pengaruh dalam shalatnya
sehingga dia wajib mencegahnya, dan yang demikian sangat tidak
mungkin dikarenakan orang yang ada di belakang imam tidak hanya
seorang melainkan berbaris-baris. Sebagaimana tidak benar juga
jika dikatakan bahwa seorang imam adalah sutrah bagi orang yang
ada di belakangnya. Dan dalil yang dapat dijadikan alasan adalah
riwayat Ibnu Abbas yang menceritakan suatu ketika dia dan Fadl
melewati di antara shaf pertama dengan menunggang keledai betina,
namun tidak seorangpun dari Shahabat yang melarang dan
mengingkarinya, bahkan Nabipun tidak mengingkari. (Lihat, HR.
Muslim, 4/224).
* Seorang makmum masbuq (tertinggal satu raka'at atau lebih dalam
shalat berjama'ah) maka baginya diperbolehkan mendekat ke tempat
yang dapat dijadikan sutrah setelah imam salam, baik ke depan, ke
sisi kanan atau ke sisi kiri, jika jaraknya dekat. Dan jika agak
jauh maka baginya tetap berdiri dan berusaha menghindar dari orang
yang melewatinya. Hal ini dikarenakan pada asalnya seorang makmum
yang masbuq seharusnya tetap shalat sebagaimana yang
diperintahkan, dan dalam kondisi demikian tidak wajib baginya
sutrah sebagaimana seorang yang menjadikan tunggangannya sebagai
sutrah lalu tunggangannya menjauhinya, maka dalam kondisi demikian
bukan kesalahannya. Sebagaimana yang dinukil az-Zarqaani dari imam
Malik. (Lihat, Syarah aj-Jarqaani 'ala Muhtashar Khalil, 1/208)
* Jika seorang tidak mendapatkan sutrah setinggi yang ditentukan
yaitu minimal sehasta, maka baginya tetap mengambil sutrah apapun
bentuknya, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
melarang seseorang shalat dengan tidak memakai sutrah dan tidak
ada hadits yang jelas menerangkan tentang pengertian /mu'aharah
ar-rahl/.
Allah Ta'ala berfirman: /"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah
menurut kesanggupanmu "/ (QS. at-Taghabun: 16).
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: /"Apabila aku
telah perintahkan kepada kalian suatu perkara, maka kerjakanlah
darinya semampu kalian." /(HR. al-Bukhari, 13/251).
* Tidak diperbolehkan shalat menghadap ke kubur, sebagaimana hadits
riwayat Abi Murtsid, dia berkata, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa sallam bewrsabda: /"Janganlah kalian shalat menghadap ke kubur
dan janglah kalian duduk di atasnya."/ (HR. Muslim, 7/37).
* Tidak ada perbedaan dan pengkhususan dalam penggunaan sutrah dalam
shalat. Dan ini sebagai bantahan terhadap sebagian orang yang
mengatakan bahwa sutrah tidak disyari'atkan di Makkah.
Hikmah Sutrah
Imam an-Nawawi mengatakan bahwa di antara hikmah disyari'atkannya sutrah
adalah dapat menjaga pandangan dari segala sesuatu yang ada di belakang
sutrah, melindungi dari orang yang berusaha mendekatinya. Di samping itu
sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qadhi bin 'Iyad dengan sutrah dapat
menghalangi syaithan lewat dan menghindar dari perkara yang dapat
merusak shalat. (Lihat, Syarah Muslim, 4/216)