anak saya, Lia ( 3th ) sangat senang sekali mendengarkan dongeng.dan uniknya,
setelah umminya ato bapaknya mendongeng, dia dengan cepatnya bisa kembali
menceritakan isi dongeng itu kepada orang lain...
tapi, kadang2, kami yg sudah capek seharian kerja di kantor, suka ga mood klo
langsung ditodong Lia untuk mendongeng.
bahkan pernah, saking ngantuknya, sambil merem ( setengah tertidur ) saya tetap
mendongengkan Lia, dan dia ga berhenti-berhentinya ngomong terus gimana mi?
terus mi...
From: ambara [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Kamis 05/01/2006 14:51
To: balita-anda@balita-anda.com
Subject: [balita-anda] rada serius neeh(dari millist sebelah...)
Para Orang Tua, Mendongenglah!
**
Kendati tahu mendongeng banyak manfaatnya, banyak orang tua tidak
*pede*melakukannya.
Rani tahu benar manfaat dongeng bagi anak. Ia ingin melakukannya untuk Intan
(3 tahun). ''Tapi, aku *nggak* bisa. Imajinasi dan kemampuan mendongengku *
cekak*,'' katanya.
Sebagai gantinya, Rani membelikan sejumlah VCD tentang dongeng anak
nusantara untuk buah hatinya. ''Biarlah video yang menggantikan,''
tambahnya. Namun, pendongeng dan penulis dongeng anak-anak dari Yogyakarta,
RUA Zainal Fanani tak sependapat. Menurut dia, orang tua tak usah merasa
takut dengan hal-hal teknis. ''Para orang tua mendongenglah,'' saran dia.
''Kadang ada orang tua yang enggan mendongeng karena merasa tidak bisa
mendongeng bagus, tidak bisa menirukan suara ini-itu, dan sebagainya,''
tuturnya.
Menurut dia, mendongeng di rumah itu berbeda dengan mendongeng di kelas.
Mendongeng di kelas, kata Zainal, sisi hiburannya harus tinggi, karena harus
mengendalikan banyak anak. Apalagi mendongeng di depan ribuan anak-anak.
Lain halnya mendongeng di rumah. ''Anak-anak itu dengan teknik mendongeng
terjelek pun mau mendengarkan,'' katanya,''Asal orang tua terutama ibunya
mau mendongeng.''
*Waspadai pengaruh*
Bagi anak-anak, mendongeng di rumah itu tidak sekadar dongeng. Tetapi
posisinya lebih merupakan kedekatan batin antara orang tua dengan anak-anak.
''Itu jauh lebih memenuhi dahaga anak-anak akan kehangatan dengan ayah
ibunya,'' ungkap Zainal.
Meskipun begitu, pendongeng ini berpendapat, karena kita meyakini makna
edukatif dongeng itu sangat kuat, maka kita harus menyadari bahwa
pengaruhnya kepada anak-anak akan banyak. ''Kalau yang kita dongengkan itu
sesuatu yang tidak baik, tidak pas, mungkin pengaruhnya juga buruk.
Sebaliknya, kalau kita mempersiapkan dongeng dengan baik, pengaruhnya juga
akan baik.''
Dongeng yang pengaruhnya buruk, misalnya orang tua yang terlalu banyak
memberikan dongeng-dongeng yang berbau mistis atau yang bersifat 'mentalitas
menerabas' seperti istilah antropolog Koentjaraningrat. Misalnya, kata dia,
hanya dengan membaca semacam ayat-ayat tertentu, rapalan-rapalan tertentu,
semua keinginan kontan bisa tercapai. Dari segi pandang pembentukan mental,
dongeng yang instan seperti itu jelaslah buruk. Akibatnya, anak-anak
mempunyai pandangan yang keliru tentang etos kerja, etos berusaha, sehingga
ikhtiarnya kurang.
Karena itu, Zainal Fanani menyarankan agar para orang tua dalam mendongeng
membuat proporsi yang lebih menonjolkan cerita-cerita pada usaha keras. Di
Cina, misalnya, orang dilatih kungfu dalam waktu panjang, sampai luka-luka
dan baru dia menguasai ilmu kungfu. Demikian juga pada cerita Oshin dari
Jepang yang sukses di masa tuanya, semasa kecil bekerja keras, menghadapi
banyak tantangan. Para Nabi pun begitu berusaha keras dalam hidupnya.
Mengutip sosiolog David McLelland, Zainal menyebutkan cerita yang baik itu
setidaknya menanamkan tiga prinsip kehidupan. Yakni, kemauan untuk
berprestasi, kemauan untuk bertahan hidup, dan kemauan untuk berkreasi.
*Kasih sayang Allah*
Dalam mendongeng, Zainal mengingatkan agar memasukkan unsur-unsur kasih
sayang Allah. ''Kita harus katakan kepada anak-anak bahwa semuanya Allah
berperan di sini. Cuma kita tetap kerja keras, sebelum kita berhasil, Allah
ingin melihat usaha kita,'' kata Zainal yang juga pelatih Ardika (Armada
Da'i Khusus untuk Kalangan Anak-anak), Yayasan Pusat Dakwah dan Pendidikan
Silaturrahim Pecinta Anak-anak Yogyakarta. Zainal melihat kisah-kisah
seperti karya HC Anderson menimbulkan Sindrom Cinderella. Yakni, bermimpi
suatu saat akan ada pangeran yang lewat. ''Itu kurang tepat. Apalagi
menawarkan mimpi-mimpi yang berkonotasi ke arah perjodohan,'' tuturnya.
Lewat dongeng, lanjut Zainal, anak-anak berlatih berimajinasi. Imajinasi itu
bisa banyak hal misalnya imajinasi ke masa lalu, ke dunia lain seperti
binatang atau imajinasi yang sifatnya futuristik. Misalnya, anak-anak diajak
bercerita tahun 3000 dengan membayangkan teknologi yang memungkinkan kita
bisa bertamasya ke dasar lautan.
Yang tak boleh dilupakan adalah mendongengkan tentang cerita yang
memperkenalkan nilai baik dan buruk. ''Pada usia TK harus digambarkan
hitam-putih, maksudnya kalau baik ya baik dan kalau jelek ya jelek, jangan
digambarkan abu-abu,'' kata Zainal, ''Jadi,