[balita-anda] Birrul Walidain (Berbakti Kepada Dua Orang Tua)

2003-03-05 Terurut Topik Moderator DF
--
Mailing List Daarul Fikri
Edisi : 037 / Th. I -- Kamis, 27 Dzulqa'dah 1423H / 30-Jan-2003
Kolom   : Keluarga Sakinah
Judul: Birrul Walidain (Berbakti Kepada Dua Orang Tua)
Sumber : Majalah AsSunnah
--
 
Birul Walidain (Berbakti Kepada Kedua Orang tua)

Allah berfirman:

Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, 
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya 
dalam dua tahun, bersyukurlah pada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya 
kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman: 14)

Hadits pertama:

Dari Abu Hurairoh ia berkata: Rasulullah bersabda: Seorang anak tidak dapat membalas 
ayahnya, kecuali anak tersebut mendapati ayahnya menjadi budak kemudian ia membelinya 
dan memerdekakannya. (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Makna hadits tersebut adalah bahwa seorang anak tidak dapat membalas jasa ayahnya, 
kecuali jika anak tersebut mendapati ayahnya sebagai budak yang dimiliki oleh orang 
lain kemudian ia memerdekakannya, yakni membebaskan dari perbudakan dan perhambaan 
dari orang lain (tuannya) sehingga ayahnya menjadi orang yang merdeka karena 
memerdekakan budak itu adalah pemberian yang paling utama yag diberikan oleh seseorang 
kepada yang lain.

Hadits kedua:

Dari Abdullah Bin Mas'ud berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah: Amalan apakah yang 
dicintai oleh Allah Beliau menjawab: Sholat pada waktunya. Aku bertanya lagi: 
Kemudian apa Beliau menjawab: Berbakti kepada kedua orang tua. Aku bertanya lagi: 
Kemudian apa Beliau menjawab: Jihad dijalan Allah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Hadits ketiga:

Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda: Berbaktilah kepada bapak-bapak kamu 
niscaya anak-anak kamu akan berbakti kepada kamu. Hendaklah kamu menjaga kehormatan 
niscaya istri-istri kamu akan menjaga kehomatan. (HR. Ath-Thabrani dengan sanad 
hasan).

Hadits keempat:

Dari Asma binti Abu Bakar ia berkata: Ibuku mendatangiku, sedangkan ia seorang wanita 
musyrik di zaman Rasulullah . Maka aku meminta fatwa kepada Rasulullah dengan 
mengatakan: Ibuku mendatangiku dan dia menginginkan aku (berbuat baik kepadanya), 
apakah aku (boleh) menyambung (persaudaraan dengan) ibuku beliau bersabda: ya, 
sambunglah ibumu. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Imam Syafi'i Rahimahullah berkata: Menyambung persaudaraan itu bisa dengan harta, 
berbakti, berbuat adil, berkata lemah lembut, dan saling kirim surat berdasarkan hukum 
Allah. Tetapi tidak boleh dengan memberikan walayah (kecintaan dan pembelaan) kepada 
orang-orang yang terlarang untuk memberikan walayah kepada mereka (orang-orang 
kafir)

Ibnu Hajar Rahimahullah bekata: Kemudian bahwa berbakti, menyambung persaudaraan dan 
berbuat baik itu tidak mesti dengan mencintai dan menyayangi (terhadap orang kafir 
walaupun orang tuanya) yang hal itu dilarang di dalam firman Allah : Kamu tidak akan 
menjumpai satu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang 
dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. (Al-Mujadilah: 22), karena 
sesungguhnya ayat ini umum untuk (orang-orang kafir) yang memerangi ataupun yang tidak 
memerangi. (Fathul Bari V/ 233).

Dalam kitabul 'Isyrah, Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Sa'ad bin 
Malik , dia berkata: Dahulu aku seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Setelah 
masuk Islam, ibuku berkata: Hai Sa'ad! Apa yang kulihat padamu telah mengubahmu, kamu 
harus meninggalkan agamamu ini atau aku tidak akan makan dan minum hingga aku mati, 
lalu kamu dipermalukan karenanya dan dikatakan: Hai pembunuh ibu! Aku menjawab: Hai 
Ibu! Jangan lakukan itu. Sungguh dia tidak makan, sehingga dia menjadi letih. 
Tindakannya berlanjut hingga tiga hari, sehingga tubuhnya menjadi letih sekali. 
Setelah aku melihatnya demikian aku berkata: Hai Ibuku! Ketahuilah, demi Allah, jika 
kamu punya seratus nyawa, lalu kamu menghembuskannya satu demi satu maka aku tidak 
akan meninggalkan agamaku ini karena apapun. Engkau dapat makan maupun tidak sesuai 
dengan kehendakmu. (Tafsir Ibnu Katsir III/791).

Hadits kelima:

Dari Abu Usaid Malik bin Rabi'ah As-Sa'idi berkata: Ketika kami sedang duduk dekat 
Rasulullah , tiba-tiba datang seorang laki-laki dari (suku) Bani Salamah lalu berkata: 
Wahai Rasulullah, apakah masih ada sesuatu yang aku dapat lakukan untuk berbakti 
kepada kedua orangtuaku setelah keduanya wafat Beliau bersabda: Ya, yaitu mendoakan 
keduanya, memintakan ampum untuk keduanya, menunaikan janji, menyambung persaudaraan 
yang tidak disambung kecuali karena keduanya, dan memuliakan kawan keduanya. (HR. Abu 
Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban di dalam sahihnya)

Hadits keenam:

Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kamu (dari perbuatan) durhaka kepada para 
ibu, mengubur anak perempuan hidup-hidup, menahan apa yang menjadi kewajibanmu untuk 
diberikan, dan menuntut apa yang tidak menjadi 

[balita-anda] Understanding Positive Parenting 2

2003-02-18 Terurut Topik Moderator DF
---
Mailing List Daarul Fikri
Edisi: 030 / Th. I -- Rabu, 12 Dzulqa'dah 1423H / 15-Jan-2003
Kolom  : Keluarga Sakinah
Judul   : Understanding Positive Parenting 2
Sumber : Mohamad Fauzil Adhim
---

Understanding POSITIVE PARENTING 2

Ada beberapa hal penting dalam menyikapi iktikad positif anak yang “salah waktu”.

Pertama, menunjukkan respon yang baik kepada iktikad positifnya. Bukan pada 
tindakannya. Kita menunjukkan pada anak bahwa kita menghargai dan menerima iktikadnya. 
Kita berterima-kasih kepadanya, menunjukkan penerimaan kepada dirinya.

Kedua, mengarahkan anak pada perilaku lain yang lebih sesuai. Cara ini lebih mudah 
diterima oleh anak daripada memberikan larangan terhadap apa yang sedang dilakukannya. 
Larangan ketika anak sedang bersemangat melakukan yang positif –meskipun salah 
waktu—bisa dianggap sebagai penolakan, sehingga ia justru melakukan tindakan negatif. 
Sekedar larangan juga tidak memberi alternatif bagi anak apa yang seharusnya ia 
kerjakan.

Ketiga, menunjukkan kepada anak bahwa perilaku lain yang kita sarankan lebih sesuai 
dengan iktikad positif anak. Kita bisa menyampaikan kepada anak bahwa dengan bermain 
di luar kamar, atau tidur dengan baik di dekat adiknya, akan menjadikan adiknya lebih 
tenang, sehingga adiknya merasa lebih disayang.

Keempat, sampaikanlah dengan lembut dan empatik. Rasulullah Saw. bersabda, 
“Sesungguhnya, kelembutan itu apabila ada pada sesuatu ia akan memperindahnya, dan 
apabila ia tercerabut dari sesuatu akan tercelalah ia.” (HR. Muslim).

Agar bisa menerapkan dengan baik, orangtua perlu belajar mengelola emosi. Kunci 
keberhasilan dalam melakukan keempat hal tersebut terletak pada kendali emosi yang 
baik. Jika kita sedang panik, tekanan emosi cukup tinggi, atau ingin menyelesaikan 
segala sesuatu dengan cepat, ketenangan akan hilang dari diri kita. Apalagi kalau kita 
dikuasai oleh amarah, kita tidak lagi mampu berpikir jernih untuk dapat melakukan 
langkah pertama, kedua dan ketiga. Kita sulit menemukan kata-kata yang tepat, bukan 
karena tidak memiliki perbendaharaan kalimat yang baik, tetapi karena emosi kita 
sedang sangat negatif.

Sementara untuk bisa berlemah-lembut dan empatik, juga memerlukan pengendalian emosi 
yang baik. Alhasil, bekal yang harus kita miliki adalah kendali emosi yang matang. 
Kita memiliki kesabaran. Dan inilah yang perlu kita benahi terus menerus. Tanpa itu, 
kita tidak bisa menerapkan positive parenting.

Sampai sekarang, saya masih terus belajar mengelola emosi. Jujur saya katakan, emosi 
saya masih sering meletup-letup meski saya sangat meyakini bahwa cara paling efektif 
menghadapi anak adalah dengan pikiran positif, emosi positif dan hati yang jernih. 
Tetapi mengelola emosi memang butuh kemauan yang keras dan kesediaan untuk berproses 
terus-menerus. Butuh kesediaan untuk melakukan proses pembelajaran yang tiada henti. 
Tanpa itu semua, pemahaman tentang positive parenting akan sia-sia. Pengetahuan kita 
tentang bagaimana menghadapi anak akan tidak berguna, sehingga teori tinggal teori. 
Tidak lagi menjadi pijakan yang kokoh dalam melangkah.
Catatan kecil ini berarti, tak ada tempat bagi kata putus asa untuk terus-menerus 
belajar mengelola emosi. Meskipun berkali-kali saya melakukan kesalahan dalam 
menyikapi anak, tetapi tekad untuk memperbaiki cara dan sikap harus dipertahankan. 
Salah satu cara adalah dengan menempelkan di dinding kamar kalimat-kalimat yang bisa 
memacu diri sendiri untuk senantiasa lebih lembut, lebih tenang dan lebih mampu 
mengendalikan emosi. Cara lain adalah menghidupkan pembicaraan tentang bagaimana 
seharusnya menghadapi anak, dan bukan sibuk memperbincangkan kerewelan-kerewelan 
mereka. Selain itu, perbincangan dari hati ke hati dengan istri di saat-saat khusus 
memberi manfaat yang luar biasa besar untuk introspeksi kesalahan dan memperbaiki 
niat, komitmen dan visi dalam menghadapi anak setiap hari.

Di antara berbagai cara membangkitkan semangat mendidik dengan lebih baik, 
perbincangan dengan istri, saya rasa memberi kekuatan yang lebih besar. Kita bisa 
lebih mudah menyadari kesalahan-kesalahan kita, sehingga terdorong untuk lebih 
bersemangat memperbaikinya. Tentu saja, perbincangan semacam ini hanya akan efektif 
apabila dilakukan dengan hati yang terbuka. Keduanya siap melihat kenyataan bahwa 
masing-masing masih melakukan sangat banyak kesalahan dalam mendidik anak. Tanpa 
kesediaan untuk melihat kesalahan sendiri, perbincangan itu justru melahirkan arena 
tinju dimana masing-masing saling mengintai kesempatan untuk memukul jatuh.

Alhasil, keberhasilan kita mendorong anak bersikap sehat (supporting to healthy 
attitudes) sangat dipengaruhi oleh kesediaan kita sendiri untuk bersikap yang lebih 
baik. Mendidik anak menjadi lebih baik berarti membenahi diri sendiri. Inilah yang 
kadang membuat kita lelah. Begitupun mendidik dengan cara yang lebih 

[balita-anda] Peran Wanita Sebagai Istri Idaman

2003-02-17 Terurut Topik Moderator DF
---
Mailing List Daarul Fikri
Edisi: 020 / Th. I -- Kamis, 29 Syawal 1423H / 02-Jan-2003
Kolom  : Keluarga Sakinah
Judul   : Peran Wanita Sebagai Istri Idaman
Sumber : Ummu Ahmad - Buletin An-Nur
---
PERAN  WANITA  SEBAGAI  ISTRI  IDAMAN
Sungguh kaum wanita telah melewati suatu masa yang mana mereka  ditempatkan pada 
posisi yang tidak layak, tidak proporsional dan sangat memilukan, tidak ada 
perlindungan bagi mereka, hak-hak mereka dihancurkan, kemauan mereka dirampas, jiwa 
mereka dibelenggu, bahkan saat itu mereka berada pada posisi yang amat rendah dan hina.
Pada zaman Romawi seorang suami bisa menetapkan hukuman mati kepada istrinya jika 
suaminya menghendaki, bangsa Romawi menganggap bahwa wanita adalah sama dengan harta 
dan perabot rumah tangga, sementara bangsa Yahudi menganggap wanita adalah najis atau 
kotor, dan yang lebih buruk lagi adalah sikap orang Nashrani yang mempertanyakan 
keberadaan wanita, apakah wanita itu manusia yang memiliki jiwa atau tidak?! Yang pada 
akhirnya perlakuan buruk ini mencapai puncaknya dengan menganggap wanita sebagai 
sumber keburukan, di mana wanita dikubur hidup-hidup, sebagaimana yang dilakukan oleh 
bangsa Arab Jahiliah.
Setelah melalui berbagai macam kebiadaban dan perlakuan pahit sepanjang masa, 
muncullah cahaya Islam yang menempatkan wanita pada posisi yang adil untuk melindungi 
kehormatan mereka. Islam memberikan hak-hak wanita secara sempurna tanpa dikurangi, 
juga meninggikan derajat wanita yang masa sebelumnya mereka dihinakan dan direndahkan 
sepanjang sejarah. Islam memproklamirkan bahwa wanita adalah manusia sempurna, 
memberikan hak-haknya secara wajar dan manusiawi serta menjaga mereka agar tidak 
dijadikan pelampiasan syahwat belaka yang diperlakukan seperti binatang. Islam 
menjadikan wanita sebagai unsur yang memegang peranan penting dalam membangun 
masyarakat yang beradab.
 Untuk mencapai tujuan itu, Islam menjadikan kasih sayang antara suami dan isteri 
sebagai penjaga kelangsungan hidup berumah tangga. Kecintaan dan kasih sayang seorang 
wanita kepada suaminya merupakan bukti adanya karakter yang kuat dari sifat alamiah 
yang ada pada dirinya, sehingga hal itu akan menghindarkan dirinya dari berselingkuh 
atau mencari perhatian laki-laki lain.
Diantara kebahagian seorang suami adalah dikaruniainya isteri yang shalehah 
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam :
Dan di antara kebahagiaan adalah wanita shalehah, jika engkau meman-dangnya maka 
engkau kagum kepadanya, dan jika engkau pergi darinya (tidak berada di sisinya) engkau 
akan merasa aman atas dirinya dan hartamu. Dan di antara kesengsaraan adalah wanita 
yang apabila engkau memandangnya engkau merasa enggan, lalu dia melontarkan kata-kata 
kotor kepadamu, dan jika engkau pergi darinya engkau tidak merasa aman atas dirinya 
dan hartamu. (HR. Ibnu Hibban dan lainnya dalam As-Silsilah ash-Shahihah hadits 282)
Dalam sabdanya yang lain:
 Dan isteri shalehah yang menolongmu atas persoalan dunia dan agamamu adalah 
sebaik-sebaik (harta) yang disimpan manusia. (HR. Baihaqi dalam Syu'abul Iman, 
Shahihul jami' 4285)
Oleh karena itu isteri shalehah adalah idaman bagi setiap suami shaleh di setiap waktu 
dan tempat. Isteri idaman dia adalah wanita mukminah, wanita shalehah yang jiwanya 
sebagai cerminan ilmu syar'i yang hanif, aqidahnya murni, akhlaknya agung, dan 
perangainya baik, untuk mendapatkannya harus diperhatikan hal-hal berikut:
Cara memilih isteri idaman
Memilih wanita karena harta, keturunan, kecantikan dan agamanya sebagaimana sabda 
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam :
Wanita itu dinikahi karena empat hal: Hartanya, keturunannya, kecantikan-nya dan 
agamanya. Maka hendaknya engkau utamakan wanita yang memiliki agama, (jika tidak) 
niscaya kedua tangan-mu akan berdebu (miskin merana). (HR.Al-Bukhari, Fathul Bari 
9/132)

Dengan memilih wanita yang berasal dari lingkungan yang baik dan karakter yang 
benar-benar shalehah maka akan menghasilkan ketenangan dalam hidup berumah tangga. 
Karena adat kebiasaan dan gaya hidup suatu kaum sangat berpengaruh terhadap 
kepribadiannya.

Diutamakan yang gadis sebagai-mana sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam :
(Nikahilah)gadis-gadis sesungguhnya mereka lebih banyak keturunannya, lebih manis 
tutur katanya dan lebih menerima dengan sedikit(qanaah). dan dalam riwayat lain Lebih 
sedikit tipu dayanya. (HR.Ibnu Majah No.1816 dan dalam As Silsilah ash Shahihah , 
hadits No.623)

Diutamakan wanita yang subur atau tidak mandul, sebagaimana sabda Rasulullah 
Shallallaahu 'alaihi wa sallam :
Kawinilah wanita yang penuh cinta dan yang subur peranakannya. Sesung-guhnya aku 
bangga dengan banyaknya jumlah kalian di antara para nabi pada hari kiamat. (HR. Imam 
Ahmad 3/245 dari Anas, dikatakan dalam Irwaul Ghalil hadits ini shahih)
Aqidah isteri idaman
Seorang isteri idaman harus memahami 

[balita-anda] Positive Parenting 2

2003-02-05 Terurut Topik Moderator DF



Mailing List Daarul Fikri
Edisi : 040 / Th. I -- Kamis,  5 DzulHijjah 1423H / 06-Feb-2003
Kolom   : Keluarga Sakinah
Judul: Positive Parenting 2
Sumber : M. Fauzil Adhim


Positive Parenting 2
Masih dari Papalia  Olds. Penulis buku Human Development ini menjelaskan, anak-anak 
usia 3 sampai 5 tahun yang memiliki kedekatan hubungan dengan orangtuanya terbukti 
lebih besar rasa ingin tahunya, lebih kompeten, dan dapat bergaul bersama teman sebaya 
dengan lebih baik serta mampu mengembangkan persahabatan yang lebih erat dibanding 
anak-anak yang kurang memiliki kemesraan dengan orangtuanya. Anak-anak yang 
hubungannya dengan orangtua sangat baik juga cenderung mampu menjalin hubungan yang 
baik dengan orang lain. Mereka lebih independen dan lebih jarang menggantungkan pada 
pertolongan guru untuk melakukan berbagai hal tatkala di TK.

Lalu apa yang terjadi jika anak tidak memiliki attachment yang baik? Ada beberapa 
akibat yang sangat mungkin terjadi. Anak-anak yang dibesarkan dengan kedekatan 
hubungan yang kacau, cenderung suka bermusuhan dengan anak-anak lain ketika ia berusia 
lima tahun, demikian Repacholi dkk (1993) menuturkan sebagaimana dikutip oleh Papalia 
 Olds. Secara ringkas, didapati bahwa anak-anak yang memiliki problem attachment 
(kedekatan dengan orangtua) cenderung memiliki problem-problem lain. Salah satu 
problem yang sering muncul pada anak yang kurang memiliki kedekatan dengan orangtua 
adalah kecenderungan anak untuk menghindar dari teman-teman sebaya atau orang-orang 
dewasa. Ia lebih suka menyendiri dan sulit diajak berkomunikasi oleh guru (adakah Anda 
menjumpai anak yang demikian?).

Anak-anak yang tidak memiliki kedekatan hubungan (lack of attachment) dengan orangtua 
atau orang dewasa lainnya, cenderung memiliki problem-problem psikis. Ada tiga problem 
yang biasa muncul.

Pertama, anak-anak yang tidak terpenuhi kebutuhan attachmentnya lebih mudah mengalami 
gangguan neurosis.

Kedua, ketiadaan attachment menjadikan anak tidak mampu berprestasi sesuai dengan 
kemampuannya (under-achievement). Akibatnya, sekalipun anak memiliki IQ sangat tinggi, 
ia sulit mencapai prestasi akademik yang bagus. Ini pada gilirannya dapat menyebabkan 
anak tidak memiliki sense of competence yang bagus. Sehingga sekalipun anak memiliki 
banyak sekali kelebihan, ia merasa minder, tidak berharga atau sekurang-kurangnya 
tidak yakin bahwa dirinya memiliki kemampuan-kemampuan yang sesungguhnya telah ada 
pada dirinya. Karena tidak memiliki sense of competence yang bagus, ia kurang dapat 
mengembangkan diri dan tidak berani memunculkan gagasan-gagasan cemerlang, meskipun 
semua keahlian yang dibutuhkan telah ada padanya.

Jika anak tidak memiliki sense of competence, maka apa gunanya Anda menggembleng 
kemampuan otaknya? Apa gunanya les-les yang Anda berikan? Apa gunanya sekolah 
menyelenggarakan program-program khusus untuk meningkatkan kemampuan siswanya jika 
mereka sendiri tidak merasa yakin dengan dirinya? Sungguh, menyemai kebahagiaan, 
perasaan positif dan tujuan hidup yang bermakna jauh lebih berguna dari semua 
upaya-upaya peningkatan kecerdasan. Ketika anak berada pada situasi emosi positif, 
maka kapasitas intelektualnya akan berkembang dengan lebih baik, sehingga insya-Allah 
ia akan lebih cerdas. Selain itu, rangsangan emosi positif juga akan menjadikan anak 
lebih mudah diajak melakukan hal-hal positif.

Ketiga, anak-anak yang dibesarkan tanpa adanya attachment yang bagus dengan orangtua 
maupun orang dewasa lain yang dekat dengan kehidupannya, cenderung mengalami 
hambatan-hambatan emosi dalam mengembangkan dirinya maupun dalam menjalin hubungan 
sosial. Ia hidup tanpa perasaan yang nyaman dan mantap. Kecuali jika ia menemukan 
nilai-nilai yang menggetarkan dirinya (enlightenment), terutama ketika ia menginjak 
usia-usia kritis, baik pada masa peralihan dari kanak-kanak ke remaja maupun dari 
remaja ke masa dewasa awal.

Jika pemenuhan kebutuhan attachment dan penumbuhan emosi positif memang jauh lebih 
penting daripada segala bentuk peningkatan kecerdasan, maka apakah yang ingin Anda 
lakukan sekarang terhadap anak-anak Anda? Ketika Anda menginginkan anak-anak Anda 
sangat gandrung membaca, maka apakah yang Anda persiapkan? Apakah Anda berencana untuk 
meluangkan waktu menemani dia membaca sambil berguling-guling di lantai? Ataukah Anda 
akan belikan dia banyak buku, lalu Anda akan mengetes kemapuannya manakala dia telah 
membaca buku-buku tersebut.

Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu diajukan, disamping banyak juga 
contoh-contoh cemerlang yang dapat kita tengok dari Nabi kita dalam mendidik anak 
dengan emosi positif. Tetapi, maafkanlah, perbincangan dalam masalah ini kita sudahi 
dulu. Insya-Allah kita akan memperbincangkan lewat tulisan dengan lebih mendalam di 
lain kesempatan.
Sekarang, marilah kita kembali pada pembicaraan kita tentang pelajaran yang dapat kita 
ambil dari kisah Steven W. Vanoy.
Kedua,
anak-anak yang bahagia dan cemerlang sulit lahir dalam 

[balita-anda] Positive Parenting 1

2003-02-04 Terurut Topik Moderator DF



Mailing List Daarul Fikri
Edisi : 040 / Th. I -- Rabu,  4 DzulHijjah 1423H / 05-Feb-2003
Kolom   : Keluarga Sakinah
Judul: Positive Parenting 1
Sumber : M. Fauzil Adhim



Positive Parenting 1 ( Cara Pengasuhan Anak Yang Positif )

 Ketidakbahagiaan anak-anak kita adalah musibah besar di masa dewasa mereka dan hari 
tua kita 

Steven W. Vanoy, termasuk satu di antara sedikit orang Nebraska yang beruntung. Dalam 
usianya yang masih sangat muda, ia telah mencapai karier yang sukses, seorang istri 
yang cantik dan dua putri yang mempesona. Ia memiliki segala hal yang dapat memberi 
kesenangan hidup, kecuali satu hal : kehangatan komunikasi antara dia dengan istri dan 
anak-anaknya. Ia larut dalam kariernya, atau bahkan tenggelam sehingga tidak bisa lagi 
mengelak dari kesibukan-kesibukan kerja yang memburunya.

“Tidak memerlukan waktu lama untuk mengetahui konsekuensi kehidupan dengan prioritas 
semacam ini,” kata Vanoy ketika bercerita tentang kesibukannya yang padat sehingga tak 
ada waktu buat keluarga, “Istri dan anak-anak saya meninggalkan saya.”

Vanoy tidak pernah menduga bahwa peristiwa semacam ini bisa terjadi dalam keluarganya, 
sebuah keluarga berantakan dengan seorang suami yang memiliki karier cemerlang. 
Akibatnya Vanoy mengalami distress, bahkan meningkat sampai kecenderungan depresi. Ia 
telah kehilangan segalanya. Ia merasa hidupnya tidak berharga lagi, sehingga muncul 
keinginan untuk bunuh diri ketika kariernya telah hancur. Sudah tidak ada lagi yang 
dapat diharapkan dari dunia ini ; keluarga telah meninggalkan dirinya, dan karier 
sudah berakhir manakala ia terombang-ambing oleh ratapannya terhadap kepergian istri 
dan anak-anaknya.

Tetapi persitiwa besar terjadi pada Steven W. Vanoy. Di saat ia ingin mengakhiri 
hidupnya tetapi takut mati, sementara untuk hidup sudah tidak ada artinya sama sekali, 
Vanoy menemukan jalan dalam dirinya. Di tengah malam yang sunyi, ia menemukan 
kesalahan-kesalahan mendasar yang telah terjadi selama ini dalam hidupnya. Ia terlalu 
banyak memikirkan karier dan lupa memberi perhatian pada keluarganya. Ia merasa bahwa 
melahirkan anak yang unggul adalah dengan menjamin ketersediaan dana dan fasilitas 
yang memadai untuk maju.

“Pesan amat jelas yang saya dapatkan malam itu adalah bahwa tanpa uang pun,” kata 
Vanoy, “saya dapat memberi mereka anugerah yang dapat mengubah hidup mereka, anugerah 
yang dapat membantu mereka menciptakan kehidupan yang jauh lebih kaya dan sempurna 
daripada yang dapat dibeli dengan uang.”

“Pemberian seperti sepeda, pakaian, atau mainan elektronik tidak dapat dibandingkan 
dengan landasan anugerah tak ternilai yang berupa kualitas dan nilai-nilai, baik masa 
kini maupun masa yang aka datang,” kata Vanoy menuturkan dalam bukunya 10 Anugerah 
Terindah untuk Ananda. Percikan kesadaran ini menjadikan Vanoy bangkit dari 
keterpurukan dan perasaan tak berguna. Ia memperbaiki kembali kehidupannya, merajut 
lagi komunikasinya dengan keluarga. Ia dapat meraih kembali arti hidup yang bermakna, 
meski ia harus kehilangan istrinya. Sebab, orang yang dicintainya itu sudah tak bisa 
lagi kembali dalam kehidupannya.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari Vanoy? Banyak. Tetapi untuk pembicaraan kita 
kali ini, ada dua hal yang menarik untuk kita perbincangkan bersama.

Pertama,
Anugerah utama yang dapat kita berikan kepada anak untuk mengantarkan mereka menjadi 
manusia yang sempurna, bukanlah terletak pada uang dan kemampuan menyediakan 
fasilitas. Sudah banyak anak-anak yang hancur tanpa masa depan, meski orangtua lebih 
dari sekedar mampu memberikan segala fasilitas untuk kemajuan anak-anaknya. 
Sebaliknya, betapa banyak orang yang terekam dalam catatan emas sejarah, meski mereka 
dibesarkan dalam keadaan yang serba kekurangan dan bahkan mengenaskan secara ekonomi, 
akan tetapi mereka memperoleh kasih-sayang dan nilai-nilai yang mengokohkan jiwa.

Siapa pun kita dan betapa pun terbatasnya kemampuan keuangan kita, memiliki 
tanggung-jawab yang sama besarnya dalam mengantarkan anak-anak kita untuk mengerti 
betapa hidup ini berharga dan betapa ada tugas-tugas hidup yang harus ditunaikan. 
Andaikan kesempurnaan dalam melaksanakan tanggung-jawab sebagai orangtua terletak pada 
kemampuan menyediakan sarana, maka tanggung-jawab tiap-tiap orangtua di hadapan Allah 
Ta’ala akan berbeda-beda tiap orang. Tapi tidak. Kita kelak akan 
mempertanggungjawabkan perkara yang sama dengan tanggung-jawab yang sama pula, meski 
kita berbeda dalam kemampuan memenuhi keperluan anak. Lihatlah, bagaimana sejarah 
telah mengajarkan kepada kita betapa banyak anak-anak yang tercukupi kebutuhan 
fisiknya, harus terhempas karena tak mendapatkan pelabuhan jiwa di rumahnya. Sementara 
mereka yang dibesarkan dengan rasa lapar dan airmata, tumbuh menjadi manusia-manusia 
besar yang memberi warna emas pada lembaran sejarah.

Kernanya, pikiran kita jangan lagi menempatkan harta dan ketersediaan sarana sebagai 
pra-syarat untuk melahirkan generasi yang tangguh. Sekali