lanjutan.... artikel  Mempersiapkan & Membantu Anak Autis Mengikuti Pendidikan di 
Sekolah Umum
 
 
IV. BANTUAN YANG SEHARUSNYA DIBERIKAN

Lalu, bagaimana bila anak sudah terlanjur masuk ke dalam lingkungan sekolah, dan ia 
tampak

mengalami berbagai masalah yang menghambat aktualisasi potensinya? Tentu saja masih ada

alternatif solusi yang dapat dicoba baik oleh orang tua maupun pihak sekolah, yakni:

A. Memahami kondisi anak secara menyeluruh

Tujuan orang tua memasukkan anak ke jalur pendidikan umum bisa untuk "academic

mainstream" (agar anak sepenuhnya bisa mengikuti kegiatan akademis) atau "social

mainstream" (agar anak dapat mengikuti kegiatan sosialisasi bersama teman).

Di Indonesia belum tersedia berbagai fasilitas pendidikan khusus bagi anak ASD usia 
sekolah,

kecuali sekolah umum. Itu sebabnya orang tua berbondong-bondong memasukkan anaknya

ke sekolah umum yang bersedia memberikan kesempatan untuk menampung individu ASD.

Timbul masalah baru, dimana para guru lalu merasa kewalahan dalam menangani anak-anak

ini, karena mereka tidak tahu harus berbuat apa. Untuk itu, penting dilakukan evaluasi 
dan

atau observasi mendalam sebelum anak mengikuti kegiatan belajar mengajar.

Tujuan evaluasi/observasi mendalam ini adalah untuk mendapatkan profil psikologis anak,

yang antara lain mencakup aspek:

- Gejala autisme yang ada pada anak dan intensitas gejala tersebut (perilaku, 
komunikasi,

interaksi, kecenderungan menyerang diri sendiri atau orang lain, gangguan konsentrasi

dsb)

- Kendala apa yang mungkin dialami anak di kelas (anak diet ketat sehingga mungkin akan

frustrasi saat makan bersama, anak sulit pusatkan perhatian sehingga letak duduk akan

mempengaruhi pemahaman, masalah motorik halus sehingga sulit menulis dsb).

- Kelebihan apa yang dimiliki anak, yang mungkin dapat digunakan sebagai kompensasi

(daya ingat kuat, sangat visual, pemahaman konsep abstrak cepat tangkap asalkan ada

pengalaman aktual dsb).

- Seberapa besar peran pendukung dibutuhkan oleh anak, dan bagaimana bentuknya

(masih harus didampingi guru pendamping, pelajaran harus diulang di rumah secara

intensif, harus menggunakan terapi medikasi/terapi lain, dsb).

B. Memahami peran masing-masing pihak dan menjalankan tugas sesuai batasan peran

tersebut

* Sebagai orang tua, ketat memantau perkembangan anak di kelas dan di sekolah. Siap

membantu guru setiap kali terjadi masalah, tidak menunggu hingga masalah menjadi

berkepanjangan. Bersedia menerima masukan, baik atau buruk, demi kemajuan anak.

Tidak langsung menyalahkan pihak lain, tetapi bersedia melihat permasalahan secara

obyektif dari kacamata dua belah pihak.

* Sebagai guru, memperlakukan anak sesuai harkatnya yang memang terlahir sebagai

individu dengan gangguan perkembangan autisme. Bersedia menerima masukan,

terutama menyangkut masalah modifikasi proses belajar mengajar demi tercapainya

pemahaman materi. Segera memberi tahu bila tampak ada masalah sekecil apapun,

guna dapat dicari pemecahannya agar tidak berlarut-larut.

* Sebagai guru pendamping (shadower), paham batasan peran tersebut dan justru

menjadikan "kemandirian anak" sebagai tujuan akhir. Adapun peran/tugas guru

pendamping adalah:

- Memastikan agar anak memahami semua persyaratan untuk menyelesaikan tugas dan

menjalani rutinitas prosedur di kelas sehari-hari

- Mengusahakan agar anak memperoleh dukungan struktur yang ia perlukan untuk

dapat berpartisipasi dalam kegiatan di kelas (icon, skedul, simbol, kartu dsb).

- Menjembatani situasi agar terjadi hubungan antara anak dengan guru kelas. Tugas

guru pendamping terbatas pada mempermudah dan memperjelas informasi yang

disampaikan oleh guru kelas, tetapi sebatas diperlukan. Hubungan antara anak

dengan guru kelas justru adalah tujuan utama yang harus dicapai oleh guru

pendamping. Sebaiknya anak tidak hanya berhubungan dengan guru pendamping.

- Memberikan bantuan dan kesempatan kepada anak agar ia dapat mengembangkan

hubungan dan berinteraksi dengan teman sebayanya. Jangan justru hanya bermain

bersama guru pendamping.

- Berusaha keras agar anak belajar berfungsi secara mandiri di lingkungan sekolah.

Singkat kata, guru pendamping dapat dikatakan berhasil bila ia dapat membimbing anak

sedemikian rupa sehingga guru pendamping tidak dibutuhkan lagi kehadirannya di

sekolah.

C. Memperhat ikan beberapa prinsip kunci dalam penanganan masalah

Masalah anak di kelas terbagi atas beberapa aspek: komunikasi, pemahaman, interaksi,

struktur lingkungan, dan perilaku.

1. Komunikasi

Komunikasi lebih dari sekedar bicara.

Komunikasi terjadi karena adanya pematangan sistim biologis dan sistim syaraf dalam

tubuh anak. Tidak heran bila pematangan sistim tersebut terhambat, maka terhambat

pulalah kemampuan komunikasi seseorang. Komunikasi juga terkait dengan kemampuan

kognisi, sehingga makin bermasalah seseorang dalam pemahamannya maka akan makin

terbatas kemampuan komunikasinya (Quill, 1995). Komunikasi juga melibatkan

perkembangan bahasa - bicara, dan penguasaan berbagai kemampuan a.l pemahaman,

sosialisasi, bergiliran, pilihan, keinginan, dan pengungkapan. (Hodgdon, 1999; Maurice

1996).

Anak ASD umumnya mengalami hambatan dalam aneka aspek perkembangan yang sudah

disebutkan di atas. Awalnya mereka tidak ada alasan untuk berkomunikasi (tidak

tertarik, tidak ada kebutuhan), dan ketika mereka sudah tertarik untuk berkomunikasi,

mereka memiliki masalah lain (sulit mengungkapkan diri, tidak dapat menjalin kontak

mata, sulit memusatkan perhatian dsb).

Menuntut seorang anak ASD untuk bicara lancar tanpa ada masalah, jelas tidak adil. Ia

akan semakin tegang, dan ketegangan ini menghambatnya untuk berpikir leluasa.

Sebaiknya ia diberi kemampuan yang ia perlukan untuk berkomunikasi (bukan hanya

bicara) dan dibantu untuk dapat berkomunikasi dengan lebih efektif.

Guna membantu anak ASD berkomunikasi dengan efektif, mereka perlu diajarkan untuk:

. Memahami makna "ya" dan "tidak"

. Menetapkan pilihan

. Memahami konsep representasi: bahwa gambar 2 dimensi mewakili sesuatu yang

nyata

. Melakukan deskripsi terhadap suatu gambar dan kemudian rangkaian gambar

. Melakukan tanya jawab secara konsisten dan terarah

. Melakukan percakapan (parallel talk)

. Bertanya

. Bercerita

Mengingat bahwa anak ASD cenderung lebih mudah mencerna apapun yang dapat

mereka lihat dan mereka pegang, ada baiknya membantu anak ASD berkomunikasi

dengan menggunakan visualisasi.

Visualisasi ini membantu anak ASD membayangkan berbagai hal, sehingga pada akhirnya

dapat melakukan komunikasi dengan lebih efektif.

Bagi anak ASD yang mungkin tidak terlalu dapat berkomunikasi, penggunaan teknik PECS

(Picture Exchange Communication System) juga dapat dipertimbangkan. Sistim ini

memungkinkan anak ASD mengekspresikan diri dalam bentuk yang sangat universal,

dimengerti oleh semua orang, tanpa ia harus mengucapkan kata-kata.

Guru atau orang tua perlu juga mempermudah gaya berkomunikasi, seperti misal:

* Instruksi sebaiknya singkat, tepat dan dipasangkan dengan visualisasi; mengingat

bahwa anak cenderung sulit memahami pesan-pesan komunikasi (misal: kata-kata,

ekspresi wajah, dan bahasa tubuh)

* Anak cenderung mengalami kesulitan memproses berbagai bentuk informasi yang

disampaikan secara auditori apalagi bila suara latar belakang termasuk bising. Ia

perlu waktu untuk menterjemahkan dan berespons terhadap instruksi, terutama

bila ada tuntutan transisi atau gerakan fisik (misal: instruksi beberapa tahap).

* Anak mungkin mengalami kesulitan menggunakan beberapa modalitas sekaligus

pada proses belajar mengajar (misal: menatap, mendengarkan, menulis). Ia

mungkin perlu guru pendamping yang membantunya memutuskan untuk

menggunakan satu modalitas dalam presentasi tugas baru atau sulit. (misal: lihat,

lalu dengarkan, lalu tulis).

* Anak tidak selalu sadar bahwa instruksi dalam kelompok ditujukan kepadanya.

Karena itu, instruksi yang disampaikan secara kelompok, perlu diulang secara

individual kepada anak tersebut bilamana diperlukan. Instruksi ini tidak diberikan

oleh guru pendamping, tetapi oleh guru kelas.

* Anak mungkin bisa terdistraksi setiapkali guru menggunakan penjelasan detil.

Karena itu, sebaiknya gunakan isyarat tangan untuk membantu anak.

2. Pemahaman

Biasanya anak mengalami kesulitan saat berhadapan dengan tugas yang berciri sebagai

berikut:

- Bermuatan bahasa (pemahaman dan pengungkapan)

- Abstrak

- Banyak tahapan-nya

- Tidak jelas ujung pangkalnya

- Mengandung banyak alternatif solusi

- Tertulis

- Cepat penyajiannya

Dalam meningkatkan pemahaman, cara yang disarankan adalah tidak sekedar

memberitahu ia apa yang harus ia lakukan (tell=verbal directions), tetapi juga memberi

contoh (show=modelling), dan mengarahkan (guide=physical guidance) hingga anak

mengerti apa yang diharapkan darinya (Baker & Brightman, 1997).

a. Inst ruksi verbal (tell = verbal directions) :

hanya diberikan saat anak memperhatikan

sebaiknya singkat, tepat guna, lugas

menggunakan kata-kata yang dipahami anak

b. Contoh (show = modelling) :

- demonstrasikan apa yang Anda maksud dengan instruksi verbal tadi

- efektif bila dilakukan dengan lambat dan berlebihan

- kurangi porsi sedikit demi sedikit, sejalan dengan penguasaan anak

c. Pengarahan (guide = physical guidance):

sesudah memberi tahu dan mendemonstrasikan, arahkan tangan anak secara fisik

tunjukkan bagaimana melakukanya

mulanya, ANDA yang mengerjakan semua hal, tetapi bertahap kurangi peran Anda

dalam pengarahan sehingga anak sedikit demi sedikit mengerjakannya sendiri

Mengingat bahwa anak ASD memiliki gaya belajar yang khas, ada baiknya guru

mempertimbangkan ciri khas tersebut.

Anak ASD sebagian besar memiliki gaya belajar 'rote learner', 'visual learner' dan

'hands-on learner'. Berarti, sebaiknya guru menggunakan sebanyak mungkin pengalaman

dan visualisasi untuk membuat berbagai hal yang sulit dicerna anak ASD (terutama

konsep verbal dan abstrak) menjadi lebih konkrit dan nyata bagi mereka.

Peran 'shadower' disini sangat penting, karena mereka dapat membantu guru membuat

berbagai hal menjadi nyata bagi anak ASD. Tidak mungkin membebankan tugas kepada

guru yang kadang hanya sendirian di kelas berisi sedikitnya 20 anak.

Sebaiknya anak juga dihadapkan pada informasi dan aktifitas yang sama secara

berulang-ulang, untuk memastikan pemahaman karena biasanya:

* Anak sering panik-cemas-bingung menghadapi tugas/materi/situasi dan orang

baru. Karena itu mereka biasanya menghindari situasi yang tidak mereka kenal dan

pada akhirnya, tidak bisa mengerti instruksi yang diberikan.

* Anak sulit memusatkan perhatian pada ciri suatu tugas pada saat pertama kali

diberikan. Akibatnya ia belum sampai bisa memiliki strategi tertentu pada saat

tugas ditampilkan untuk kedua kalinya.

* Anak makin terpacu mempelajari hal baru yang ditampilkan beberapa kali secara

konsisten dalam bentuk yang sama.

* Sering anak tidak bisa belajar di kelas secara efektif, lebih karena situasi kelas

dan bukan karena ketidak mampuan anak.

Ada beberapa teknik pengajaran yang dapat digunakan untuk membantu anak belajar

ketrampilan baru:

~ Beritahu 'perilaku yang diharapkan' menggunakan alat bantu visual

~ Pastikan 'perilaku yang diharapkan' tersebut dirasakan berguna dan bermakna

ketika ditunjukkan kepada anak

~ Hindari menampilkan 'harapan' dalam gaya yang tidak jelas

~ Peragakan bagaimana perilaku tersebut seharusnya

~ Berikan bantuan untuk mengarahkan perhatian anak pada detil yang relevan

~ Gunakan penguat untuk memotivasi anak menggunakan ketrampilan baru tersebut

~ Bila perlu, beri penguat pada langkah-langkah kecil menuju perilaku baru

~ Beri penguat pula untuk usaha anak, agar ia bersemangat mencoba melakukan

perilaku tersebut

Yang pasti, anak lebih mudah paham dan lama dapat mengingat materi pelajaran

tertentu bila sejak awal dibuat bermakna dan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.

Karena itu, sebaiknya materi yang diajarkan juga sesuatu yang ada gunanya (fungsional)

dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari (aplikatif).

3. Interaksi

Ada tiga jenis perilaku sosial yang mencirikan anak ASD (Wing & Gould dalam Wolfberg,

1999):

. Aloof - bersikap menjauh/menyendiri

Anak-anak ini tampak sangat pendiam dan suka menyendiri, serta tidak berrespons

terhadap isyarat sosial atau ajakan untuk bercakap dari orang lain. Kemampuan

anak untuk 'joint attention' (memperhatikan sesuatu bersama orang lain) tidak

berkembang, dan biasanya hanya mendekati orang lain untuk memenuhi keinginan

mereka. Orang lain bagi mereka bukanlah makhluk sosial, tetapi lebih sebagai 'alat'

untuk mendapatkan benda yang diinginkan.

. Passive - bersikap pasif

Anak-anak ini tampak tidak perduli dengan orang lain, tapi secara umum masih

dapat diarahkan untuk terlibat dalam kegiatan sosial. Mereka cukup patuh dan masih

mengikuti ajakan orang lain untuk berinteraksi. Sama seperti anak-anak yang

'aloof', anak-anak yang 'passive' juga tidak terlalu dapat memperhatikan sesuatu

bersama orang lain. Mereka juga kurang dapat mengungkapkan kehendaknya melalui

ekspresi wajah dan isyarat tubuh, dan sebaliknya juga sulit memahami isyarat tubuh

orang lain.

. Active and Odd - bersikap aktif tetapi 'aneh'

Anak-anak ini senang berada bersama orang lain, tapi terutama dengan orang

dewasa. Mereka mendekati orang lain untuk berinteraksi, tetapi caranya agak 'tidak

biasa'. Misalnya, mereka mendatangi seorang yang tidak mereka kenal dan lalu

mereka sentuh. Mereka juga mungkin berusaha bercakap-cakap dengan seseorang,

tapi sayangnya masih belum berkelanjutan, karena mereka cenderung terpaku pada

minat tertentu yang kurang disukai orang lain. Sama dengan anak-anak 'aloof' dan

'passive', mereka juga kurang memiliki kemampuan untuk 'membaca' isyarat sosial

yang penting untuk berinteraksi secara efektif.

Selain tiga hal tersebut, anak-anak ASD mengalami kesulitan memahami bahwa sesuatu

bisa dilihat dari sudut pandang orang lain (Baron-Cohen et al, 1985). Tanpa kemampuan

tersebut, mereka sulit mengembangkan kemampuan berinteraksi dan bergaul; karena

mereka cenderung melihat berbagai hal dari sudut pandangnya sendiri (=egosentris).

Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa anak-anak ASD memang sulit berinteraksi.

Mereka tidak paham bagaimana menghadapi lingkungan, berinteraksi dengan orang lain,

dan karena itu cenderung tidak memiliki banyak teman.

Untuk membantu anak-anak ASD berinteraksi di sekolah, Wolfberg (1999) mengusulkan

metode 'Integrated Playgroup Settings' dimana anak-anak ASD (pemain pemula) -

dengan pengarahan orang dewasa (pengarah bermain) -- berpartisipasi dalam kegiatan

bermain dengan teman sebaya yang secara sosial lebih mahir (pemain mahir). Tujuan IPS

ini adalah untuk merangsang kegiatan bermain yang timbal balik dan sama-sama disukai

anak-anak, sambil mengembangkan kemampuan bermain dan perbendaharaan kegiatan

bermain si pemain pemula. Dalam metode ini, teknik mengamati dan menganalisa

kegiatan bermain dijabarkan, juga bagaimana mengarahkan partisipasi dalam bermain

secara kelompok, dan merancang lingkungan yang mendukung terjadinya kegiatan

bermain yang menyenangkan.

Sebaiknya, guru yang berhubungan dengan anak mempertahankan sikap/gaya interaksi

yang konsisten dan tidak berubah-ubah:

» Anak akan bingung bila ia didekati dengan gaya yang berbeda-beda oleh guru yang

bekerja bersamanya. Penting untuk menggunakan gaya, intensitas, kecepatan dan

kosakata yang kurang lebih sama, terutama pada awal penyesuaian di kelas.

» Bila anak bingung, anak biasanya akan 'mencoba' memakai serangkaian perilaku

interaksi yang belum tentu pantas menurut ukuran masyarakat. Pada keadaan

seperti ini, bila perilaku yang cenderung kurang pantas ini mendapatkan

perhatian, maka justru perilaku tersebut akan dipertahankannya.

» Anak tidak dapat bekerja efektif di kelas bila ia tidak paham apa yang diharapkan

dari dirinya.

» Bila anak akan bekerja bersama dengan beberapa guru pada satu kesempatan,

sebaiknya dipastikan bahwa mereka semua menggunakan gaya dan kosakata yang

sama sehingga anak tidak bingung.

4. St ruktur lingkungan

Keadaan lingkungan yang dapat diramalkan oleh anak, membantu anak untuk

beradaptasi dengan tuntutan tugas:

» Anak berfungsi dengan baik bila ia dihadapkan pada rutinitas yang dapat ia prediksi,

dan juga pada tuntutan penyelesaian tugas yang jelas. Kejelasan ini mencegah anak

menciptakan strategi yang justru tidak tepat.

» Anak diuntungkan bila ada struktur di lingkungan, tugas, interaksi dan transisi. 
Misal:

memastikan lingkungan rapi bebas barang tak terpakai, menggunakan sistim box atau

map untuk menyimpan materi penting sesuai kategori, memastikan ada awal dan akhir

yang jelas pada setiap tugas, dsb.

» Anak sulit memahami konsep-konsep abstrak tak jelas seperti 'mulai', 'selesai',

'cepat', 'yang bagus', atau 'selesaikan nanti'. Sebaiknya semua guru membicarakan

perilaku dan kejadian dalam istilah yang jelas dan tepat guna, seperti "duduk di lantai

dengan baik" bisa diubah menjadi "duduk di lantai, kaki dilipat, tangan dilipat". Atau,

istilah "kerjakan" diubah menjadi "ambil pinsil, lihat nomer 1, lingkari yang benar".

» Kata-kata yang bermakna abstrak, perlu waktu melatihkannya. Tugas guru pendamping

atau terapis rumah atau orang tua untuk melatih makna kata sambil memasangkan

dengan gerakan/kegiatan/benda sesungguhnya. Begitu anak paham makna tersebut,

guru dapat melatih menggunakan visualisasi/kartu sehingga anak dapat mengaplikasikan

konsep tersebut dalam konteks sesungguhnya tanpa terlalu banyak penjelasan

lagi.

5. Perilaku

Umumnya perilaku diteliti karena alasan "bermasalah" (Linda Hodgdon, 1999), yaitu

bila :

anak tidak berperilaku sesuai dengan lingkungan atau situasi saat itu

perilaku anak tidak seperti yang biasa dilakukan teman sebaya mereka

mereka tidak melakukan seperti yang kita inginkan: apa-kapan-bagaimana


Batasan diatas, tercakup dalam suatu kontinuum (rentang) yang bervariasi mulai dari

kebiasaan yang mengganggu, perilaku yang menimbulkan masalah, perilaku yang

menghambat rutinitas sehari-hari, yang menghambat proses belajar, hingga perilaku

yang dapat sebabkan celaka pada diri sendiri atau orang lain.

Dengan demikian, batasan "masalah perilaku" sangat bervariasi, tergantung dari sudut

mana kita melihatnya. Misal: perilaku mengeluarkan suara saat sedang belajar, dapat

dianggap sekedar sebagai kebiasaan mengganggu, kebiasaan yang SANGAT mengganggu

atau perilaku yang meng-hambat proses belajar. tergantung frekuensi, periode dan

intensitas perilaku tersebut dan dimana perilaku tersebut terjadi.

Pada anak ASD, masalah perilaku dapat digolongkan dalam 2 kelompok utama (Schopler,

1995):

perilaku tidak patuh, dimana anak tidak mau mengikuti pengarahan atau permintaan

orang tua/guru (dan tokoh otoritas lain)

perilaku mengganggu/menyerang, biasanya dalam bentuk tantrum (mengamuk),

berteriak, menendang, memukul, menggigit dsb.

Berhubung perilaku bisa dilihat secara subyektif (tergantung sudut pandang pengamat),

sudah seharusnya kita berusaha menjadikannya lebih obyektif. Obyektifitas dapat

diusahakan melalui pengamatan intensif, pencatatan, analisa dan interpretasi.

Setidaknya, obyektifitas dapat diusahakan dengan berpikir bahwa set iap masalah

perilaku didasari adanya keterbatasan/ hambatan yang menjadi penyebab.

(Schopler, 1995)

MASALAH PERILAKU

Berbagai hambatan/keterbatasan

yang menjadi dasar terjadinya perilaku

Kesadaran bahwa masalah perilaku didasari adanya keterbatasan atau hambatan, sangat

mempengaruhi lingkungan ketika mengupayakan intervensi/penanganan atas berbagai

masalah perilaku. Kita selalu harus melihat perilaku sebagai sebuah rangkaian, ada yang

menyebabkan (antecedent) dan ada yang mengikuti terjadinya perilaku tersebut

(consequence) (Maurice, 1996).

Misal: anak yang berguling-guling ketika spreinya diganti. Penanganan akan sangat

berbeda bila penyebabnya ketidak-patuhan (incompliance) atau perasaan tidak tahan

terhadap tekstur sprei sesudah dicuci (sensory). Anak yang berguling-guling karena 
tidak

tahan terhadap tekstur sprei, tentu akan sangat tertekan bila diberi teguran atau

diperingatkan untuk berperilaku baik (consequence). Ia berguling-guling karena tidak

tahan terhadap tekstur, tapi malah ditegur karena tidak bersikap baik. Perasaan

tertekan tadi, tentu saja mendorongnya berperilaku lebih buruk lagi. Karena akar

permasalahannya adalah masalah sensoris, seharusnya ia dibantu mengatasi masalah

sensorisnya. Sebaliknya akan terjadi, bila sesudah anak berguling-guling, ia malah

mendapat hadiah. Bisa saja ia berpikir bahwa dengan berguling-guling, ia akan

mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Ia akan mengulanginya lagi, terlepas dari

persoalan apakah masalah sensorisnya terjawabkan atau tidak.

Jadi, penting sekali melakukan analisa (A-B-C) dan mencoba mencari akar permasalahan

mengapa suatu perilaku terjadi; sebelum dapat menetapkan akan melakukan apa.

Bila sudah diketahui akar permasalahannya, ada banyak hal yang dapat dilakukan (Fouse

& Wheeler, 1997) yakni Punishment, Negative Consequence, Ignorance, Differential

Reinforcement, Time Out, Response Cost, Environment Modification.

Dari berbagai cara tersebut di atas, yang penting diingat oleh guru adalah untuk tidak

memberikan perhatian dalam bentuk apapun kepada anak saat ia berperilaku negatif

(perhatian bisa berupa bujukan, luapan amarah, omelan, tatapan, kata-kata dsb).

Biarkan anak meluapkan amarah (bila sebabnya adalah frustrasi), dan baru lakukan

intervensi (berupa instruksi tugas yang ia kuasai) begitu ia reda amarahnya. Kadang

untuk anak tertentu perlu disediakan ruang terpisah/pojok tertentu bagi dia untuk

melampiaskan amarahnya tanpa melukai diri sendiri atau orang lain. Hati-hati, kadang

anak autisme senang diberi 'time-out' karena bisa melarikan diri masuk dalam dunianya.

Sebelum dapat menggunakan satu atau beberapa kombinasi teknik tersebut di atas,

penting sekali bagi guru untuk mengamati beberapa hal berikut:

» Biasanya perilaku negatif anak di kelas, berkaitan dengan perasaan tidak nyaman yang

dialaminya, atau merupakan respons terhadap kesulitannya. Untuk dapat melakukan

perubahan terhadap perilaku negatif tersebut, guru atau guru pendamping HARUS

melakukan analisa dan melakukan observasi untuk menyimpulkan jawaban atas

"kapan", "dimana", dan "siapa" yang mewarnai terjadinya perilaku negatif tersebut.

» Strategi efektif baru bisa dikembangkan sesudah dipahami 'alasan' kenapa perilaku

negatif tersebut digunakan untuk beradaptasi dengan lingkungan/keadaan tersebut

(apakah masalah komunikasi, tidak dapat memahami isyarat lingkungan, terlalu

banyak stimulasi, frustrasi akan materi dsb)

» Kalau anak terus menerus menggunakan perilaku negatif untuk beradaptasi dengan

keadaan, bisa saja ia tidak tahu cara lain. Penting mengajarkan cara positif yang

dapat ia pakai beradaptasi dengan keadaan yang kurang nyaman tersebut.

» Pengetahuan atas kelebihan/kekurangan dan kebutuhan anak tersebut yang khas

autisme (biasanya berkaitan dengan masalah komunikasi, interaksi dan adaptasi) akan

sangat membantu guru/pendamping memahami perilaku anak.

D. Bersikap fleksibel, kreat if dan terbuka dalam proses belajar mengajar

Anak ASD memiliki ciri khas yang berbeda dengan anak biasa, karena itu sikap pengajaran

kita sebaiknya juga tidak sama dengan anak biasa, bila kita mengharapkan hasil optimal.

Tabel berikut berusaha memperlihatkan, bahwa sikap kita sebagai guru perlu dimodifikasi

sesuai keadaan anak, untuk mendapatkan pemahaman maksimal dan mengarah pada

kemandirian optimal.

JENIS

BANTUAN

DESKRIPSI

KETERLIBATAN ORANG

LAIN >< KEMANDIRIAN

Tangan-di atastangan

Tangan guru pendamping diletakkan di atas

tangan anak untuk memungkinkan anak

selesaikan tugas.

Keterlibatan sangat tinggi dari

guru/guru pendamping

Fisik

Kontak fisik digunakan untuk arahkan anak

memusatkan perhatian pada sesuatu atau

menyelesaikan tugas

Verbal

Penjelasan atau pengarahan dipakai untuk

memulai/mempertahankan penyelesaian

tugas.

Visual

Bantuan visual konkrit dipakai untuk bantu

anak memulai tugas, selesaikan tugas, atau

berpindah ke tugas berikutnya.

Isyarat

Gerakan digunakan untuk pertegas makna

informasi verbal dan memusatkan perhatian

anak pada tugas.

Peragaan

Guru (atau guru pendamping) mencontohkan

penyelesaian tugas dan anak belajar melalui

observasi/pengamatan saja.

Sangat mandiri.

Guru pendamping penting sekali memahami bahwa tugas mereka membantu anak sejauh

dibutuhkan. Jadi, lambat laun bantuan tersebut harus dikurangi agar anak dapat

mengerjakan segala sesuatunya secara mandiri.

Kiat sebagai guru pendamping ( Bitsika, 2002):

* Mulai dari bantuan paling sedikit, siapa tahu anak bisa.

* Tempatkan diri di luar garis pandang anak (di samping atau di belakang).

* Nilai sendiri bagaimana Anda memberikan bantuan tersebut. Bila mungkin, minta orang

lain melakukan pengamatan cermat terhadap kegiatan Anda dalam mendampingi anak,

lalu minta orang tersebut memberikan masukan.

* Gunakan segala upaya untuk memfokuskan anak pada lingkungan belajar, guru dan

tugas.

* Tetapkan peran Anda sebagai 'guru pendamping' atau 'asisten guru', jadi sedapat

mungkin peran dalam proses belajar mengajar dipegang oleh guru kelas.

* Alat bantu dalam belajar, jangan sampai menjadi pusat perhatian anak. Anak harus

dilatih untuk memusatkan perhatian pada instruksi dan materi. Alat bantu bersifat

sebagai 'bantuan bila diperlukan'.

* Anak jangan sampai melihat 'bantuan dari guru pendamping' sebagai hal terpenting

dalam proses belajar mengajar, tetapi instruksi dan materi -lah yang terpenting.

* Hindari keterlibatan maksimal dalam interaksi antara Anda dengan anak autisme yang

Anda dampingi. Tugas Anda mendorong agar ia bisa berinteraksi dengan lingkungannya

tanpa kehadiran Anda, jadi sedikit demi sedikit kurangi peran Anda.

Pent ing diingat oleh para orang t ua adalah bahwa kondisi masing-masing anak sangat 
berbeda, sehingga

modal awal dan hasil akhir set iap individu akan sangat tergant ung pada banyak sekal 
i fakt or, ant ara lain:

kuant it as dan kual it as gej ala aut isme pada anak, int ensitas penanganan dini, t 
ingkat int elegensi anak,

kemampuan anak berkomunikasi, konsist ensi pola asuh dalam keluarga, sikap sekolah 
dalam membant u

anak, pengetahuan guru, dan sebagainya.

Bagi pihak sekolah, pent ing diperhat ikan bahwa banyak langkah yang dapat dilakukan 
unt uk membant u

anak ASD berprestasi di l ingkungan sekolah umum. Selain kesempat an, mereka j uga 
memerlukan

penanganan yang t erpadu dan t erfokus sesuai keadaan masing-masing anak.

Pihak keluarga t idak bisa hanya menuntut pihak sekolah unt uk memberikan yang 
terbaik, karena t anpa

kerj a sama dari pihak keluarga, semua upaya memberikan kesempat an kepada anak menj 
adi mubazir dan

t idak t epat sasaran. Sebal iknya pihak sekolah t idak dapat menyerahkan segala usaha 
kepada orang tua,

karena bagaimanapun anak-anak ASD ini adalah bagian dari masa depan bangsa ini. 
Sebagai pendidik,

sudah sewaj arnya kit a memberikan yang t erbaik kepada anak didik kit a. Sebagai 
pendidik, kita t idak boleh

memil ih murid.

Mendidik anak t idak bermasalah bisa dilakukan siapa saj a, t etapi membant u anak 
bermasalah - khususnya

anak ASD - unt uk dapat mengatasi permasalahannya, memerlukan kemampuan yang luar 
biasa.

Kreat ivitas, daya j uang, kemampuan untuk bert ahan, dan yang t erpent ing. 
keikhlasan unt uk membant u

anak ASD mendapat kan masa depan yang baik.

Anda menj adi guru yang luar biasa, bila memberikan upaya unt uk membant u anak-anak 
ASD meningkat kan

mut u kehidupan mereka.

To my one and only Ikhsan Priatama Sulaiman and his

friends.

I love you just the way you are. May God be with us,

forever.. and ever.

*) Penul is adalah Psikolog, Pendiri/ Pengurus Yayasan Aut isma Indonesia, Penanggung 
Jawab Pendidikan

pada Sekolah Khusus Aut isme "MANDIGA" - Jakart a, dan ibu dari Ikhsan Priatama 
Sulaiman,

individu aut isme berusia 12 tahun.

REFERENSI

Baker, Bruce L. and Brightman, Alan J, 1997 - Steps to

Independence - Teaching Everyday Skills to Children with

Special Needs, Paul H. Brookes Publishing Co. Inc,

Baltimore, US.

Bitsika, Vicky, Basic Strategies for the Effective Shadow

Teaching of Children with ASD, 2002, WeCan Conference

Singapore.

Fouse, Beth, PhD and Maria Wheeler, MEd, A Treasure Chest

of Behavioral Strategies for Individuals with Autisme, 1997,

Future Horizons, Inc, Texas, US

Greenspan, Stanley , MD and Serena Wieder, PhD; The Child

with Special Needs, 1998Perseus Publishing, US

Hodgdon, Linda A, MEd, CCC-SLP, Solving Behavior Problems in

Autisme - Improving Communication with Visual Strategies,

1999, Quick Roberts Publishing, Michigan-US.

Hodgdon, Linda A, MEd, CCC-SLP, Visual Strategies for

Improving Communication - Practical Supports for School and

Home, 1995, Quick Roberts Publishing, Michigan-US.

Lovaas, O.Ivar, PhD; The 'Me' Book -- Teaching

Developmentally Disabled Children; 1981, Department of

Psychology, University of California, Los Angeles, ProEd

Inc-USA.

Seminar MANDIGA - 22 Maret 2003

Maurice, Catherine, Gina Green, PhD and Stephen C. Luce,

PhD; Behavioral Intervention for Young Children with

Autisme, 1996, ProEd Inc-USA.

Meng, Dr. Lam Chee & Chan Yee Pei, BSc,; Assessment for

Children for School Readiness in Singapore Mainstream

Education, 2002; WeCAN Third Annual Autisme Best Practices

Conference November 2002

Quill, Kathleen Ann, Teaching Children with Autisme -

Strategies to Enhance Communication and Socialization, 1995,

Delmar Publisher, US

Schopler, Eric, Parent Survival Manual - A Guide to Crisis

Resolution in Autisme and Related Developmental Disoders,

1995, Plenum Press, US

Siegel, Bryna, PhD; The World of the Autistic Child --

Understanding and Treating Autistic Spectrum Disorders,

1996, Oxford University Press - New York, 1996.

Sussman, Fern; More than Words - Helping Parents Promote

Communication and Social Skills in Children with Autisme

Spectrum Disorder; 1999, The Hanen Program - A Hanen Centre

Publication, Ontario-Canada

Wolfberg, Pamela J.; 1999; Play & Imagination in Children

with Autisme; Teachers College, Columbia University, New

York and London.



Best Regards,
Dwie Muriati
Planning Production Invetory Control Dept. 

ISUZU
PT. Pantja Motor - Assy Plant Pondok Ungu
Jln. Kali Abang No. 1 Pondok Ungu Bekasi 17132, Indonesia
Phone          : +62 (21) 8897 6628 Ex. 2141-43
Facsimile      : +62 (21) 8897 6626
Email           : [EMAIL PROTECTED]
Homepage    : http://www.isuzu.com



Kirim email ke