maaf mungkin udah pernah dibahas.....

salam,

husni


    Jakarta, Kompas

    SEPANJANG perjalanan menuju rumah nenek, Ardi, sebut saja begitu, seperti
 tidak bergerak. Wajahnya pucat pasi. Ia terus menutupi telinganya. Sang ibu
 tak berani mengusik anak sulungnya.

    "Saya sebenarnya heran, kok Ardi nangisnya sampai begitu waktu mendengar
 kabar ibu saya meninggal. Enggak seperti anak kecil lain yang kehilangan
 neneknya. Sedih ya sedih, tapi enggak gitu-gitu amat," ujar Dewi.

    BEGITU turun dari mobil, Ardi seperti terkesima melihat sesuatu di pintu
 masuk. Ketika mencium jenazah neneknya, tiba-tiba ia kembali menutupi
 telinganya dan tampak ketakutan. Pandangannya terus menuju ke luar pintu.
 Setelah itu Ardi mengatakan kepalanya sakit, dan tidak ikut ke makam.

    Menjelang tengah malam, Ardi menanyakan apakah ibunya mendengar suara
 petir siang tadi. Sang ibu menjawab, "Tidak." "Masak Mama enggak dengar, kan
 keras sekali dan terus- terusan, Ma," kata Dewi menirukan ucapan Ardi saat
 itu. "Sehabis itu Ardi menceritakan semuanya," lanjut Dewi. Selain petir,
 Ardi melihat burung besar di pintu rumah sang nenek. "Burung itu enggak
 pergi-pergi," ujar Ardi seperti ditirukan Dewi.

    Saat mencium neneknya, Ardi melihat sang nenek berjalan menuju sebuah
 gerbang. Saat itu Ardi mendengar suara petir lagi, yang lebih keras dari
 sebelumnya, dan ia menyaksikan neneknya melangkah melewati gerbang, terus
 berjalan menuju tempat yang ia katakan "indah sekali".

    Peristiwa itu bukan yang pertama, sehingga Dewi dan suaminya tidak lagi
 terkejut mendengar penuturan anak mereka. "Dia sering melihat macam- macam,
 tetapi biasanya diam. Ia hanya mau berbicara sesudahnya, pelan-pelan dan
 hanya kepada orang tertentu," sambung Dewi.

    Usia Ardi kini menjelang 10 tahun. Di sekolah ia termasuk cerdas. IQ-nya
 antara 125-130. "Tapi gurunya bilang ia suka bengong di kelas," sambung
 Dewi. Kepada ibunya, ia bercerita melihat macam-macam di sekolah, yang tidak
 bisa dilihat orang lain, di antaranya anak tanpa anggota badan, dan ia
 merasa sangat kasihan.

    Suatu hari saat belajar di rumah ia tersenyum. Ketika ditanya oleh sang
 ibu, ia mengatakan ada anak persis sekali dengan dirinya. Hari berikutnya ia
 bercerita, anak itu datang di sekolahnya. Ketika ditanya di mana ia tinggal,
 anak itu menjawab, "Di sana," sambil telunjuknya menunjuk ke arah atas. "Ada
 apa di sana?" tanya Ardi. Anak itu menjawab, "Ada orang gede- gede buanget.
 Anak itu omongnya juga medhok lho Ma, kayak aku, persis," tutur Ardi seperti
 diceritakan kembali oleh Dewi. Tentu tak ada orang lain melihat "anak itu"
 kecuali Ardi.

    Dewi dan suaminya memahami apa yang terjadi pada Ardi dan juga adiknya.
 Beberapa anggota keluarganya juga memiliki kepekaan lebih dibandingkan
 dengan orang kebanyakan. Pada Ardi hal itu sudah terdeteksi saat masih bayi.
 "Kalau dengar suara azan, Ardi tampak mendengarkan dengan penuh
 konsentrasi," kenang Dewi. Menjelang usia 1,5 tahun, Ardi membaca kalimat
 syahadat secara sambung-menyambung seperti wirid. Sesudah bisa jalan,
 sebelum usia dua tahun, ia mulai mengambil sajadah sendiri, memakai sarung
 sendiri dan membuat gerakan seperti orang shalat, meskipun bukan waktu
 shalat.

    Toh tingkah laku Ardi membuat Dewi merasa agak risau. "Ia melihat dan
 mendengar apa saja yang orang lain enggak bisa lihat dan enggak bisa
 dengar," katanya. Ia tidak menceritakan situasi anaknya itu pada setiap
 orang di luar keluarga. "Kalau enggak percaya bisa-bisa anak itu dianggap
 berkhayal," lanjutnya.

    Dewi tidak mengecap anaknya berkhayal, karena dalam beberapa hal ia juga
 memiliki kepekaan itu, meski hanya sampai tingkat tertentu. "Suatu sore,
 sehabis shalat, saya merasa ada bayangan putih. Ardi rupanya juga melihat
 karena ia tersenyum. Dia bilang, Ma, ada yang ngikutin, perempuan. Tapi
 orangnya baik sekali. Ketika saya tanya siapa, Ardi tidak menjawab."

    Suatu hari, Dewi membaca majalah yang menulis tentang tanda-tanda anak
 indigo. "Lha saya pikir kok persis sekali sama anak saya. Lalu saya berusaha
 menemui dr Erwin di Klinik Prorevital."

    ANAK-ANAK dengan kemampuan seperti Ardi bukan hal yang baru di dunia,
 tetapi fenomenanya semakin jelas 20 tahun terakhir ini. Beberapa film
 mengisahkan kemampuan anak dan manusia dewasa dengan kemampuan semacam itu,
 di antaranya The Sixth Sense, dan film-film seri seperti The X Files.

    Menurut dr Tubagus Erwin Kusuma SpKj, psikiater yang menaruh perhatian
 pada masalah spiritualitas, anak-anak seperti itu semakin muncul di
 mana-mana di dunia, melewati batas budaya, agama, suku, etnis, kelompok, dan
 batas apa pun yang dibuat manusia untuk alasan-alasan tertentu.

    Fenomena itu menarik perhatian banyak pihak, karena dalam paradigma
 psikologi manusia, anak-anak itu dianggap "aneh". Pandangan ini muncul
 karena selama ini kemanusiaan telanjur dianggap sebagai hal yang statis, tak
 pernah berubah. "Padahal, semua ciptaan Tuhan selalu berubah," ujar dr
 Erwin.

    Sebagai hukum, masyarakat cenderung memahami evolusi tapi hanya untuk
 yang berkaitan dengan masa lalu. "Fenomena munculnya anak-anak dengan
 kemampuan seperti itu merupakan bagian dari evolusi kesadaran baru manusia,
 yang secara perlahan muncul di bumi, terutama sejak awal milenium spiritual
 sekitar tahun 2000 yang disebut Masa Baru, The New Age, atau The Aquarian
 Age. Semua ini merupakan wujud kebesaran Allah," tegas Erwin.

    Fisik anak-anak indigo sama dengan anak-anak lainnya, tetapi batinnya tua
 (old soul) sehingga tak jarang memperlihatkan sifat orang yang sudah dewasa
 atau tua. Sering kali ia tak mau diperlakukan seperti anak kecil dan tak mau
 mengikuti tata cara m aupun prosedur yang ada. Kebanyakan anak indigo juga
 memiliki indra keenam yang lebih kuat dibanding orang biasa. Kecerdasannya
 di atas rata-rata.

    Istilah "indigo" berasal dari bahasa Spanyol yang berarti nila. Warna ini
 merupakan kombinasi biru dan ungu, diidentifikasi melalui cakra tubuh yang
 memiliki spektrum warna pelangi, dari merah sampai ungu. Istilah "anak
 indigo" atau indigo children juga merupakan istilah baru yang ditemukan
 konselor terkemuka di AS, Nancy Ann Tappe.

    Pada pertengahan tahun 1970-an Nancy meneliti warna aura manusia dan
 memetakan artinya untuk menandai kepribadiannya. Tahun 1982 ia menulis buku
 Understanding Your Life Through Color. Penelitian lanjutan untuk
 mengelompokkan pola dasar perangai manusia melalui warna aura mendapat
 dukungan psikiater Dr McGreggor di San Diego University.

    Dalam klasifikasi yang baru itu Nancy membahas warna nila yang muncul
 kuat pada hampir 80 persen aura anak-anak yang lahir setelah tahun 1980.
 Warna itu menempati urutan keenam pada spektrum warna pelangi maupun pada
 deretan vertikal cakra, dalam bahasa Sansekerta disebut cakra ajna, yang
 terletak di dahi, di antara dua alis mata.

    "Itulah mata ketiga," ujar dr Erwin. The third eye itu, menurut dia,
 berkaitan dengan hormon hipofisis (pituary body) dan hormon epificis (pineal
 body) di otak. Dalam peta klasifikasi yang dibuat Nancy, manusia dengan aura
 dominan nila dikategorikan sebagai manusia dengan intuisi dan imajinasi
 sangat kuat.

    "Letak indigo ada di sini," jelas Tommy Suhalim sambil menjalankan
 perangkat teknologi pembaca aura, aura video station (AVS). Alat yang
 protipenya dibuat oleh Johannes R Fisslinger dari Jerman tahun 1997 ini
 lebih canggih dibandingkan perangkat teknologi serupa yang ditemukan Seymon
 Kirlian tahun 1939, dan Aura Camera 6000 yang dibuat Guy Coggins tahun 1992
 berdasarkan Kirlian Photography.

    Tom menunjukkan titik berkedip berwarna nila tua, sangat jelas di antara
 kedua mata Vincent Liong (19). Murid kelas dua tingkat SLTA di Gandhi
 International School itu sudah menulis buku pada usia 14 tahun dan bukunya
 diterbitkan oleh penerbit terkemuka di Indonesia. Buku Berlindung di Bawah
 Payung itu merupakan refleksi, berdasarkan kejadian sehari- hari yang sangat
 sederhana.

    Pergulatan pemikiran yang muncul dalam tulisan-tulisannya kemudian
 seperti datang dari pemikiran orang bijak, dan menjadi bahan pembicaraan.
 Pemilihan angle-nya tidak biasa, dan hampir tidak terpikir bahkan oleh orang
 dewasa yang menekuni bidang itu. Belakangan ia banyak menulis soal
 spiritual, namun tetap dilihat dalam konteks ilmiah dan rasional.

    Mungkin karena minatnya yang sangat besar pada dunia tulis-menulis,
 Vincent tidak terlalu berminat dengan beberapa mata pelajaran di sekolahnya.
 Orangtuanya yang tergolong demokratis pun sering tidak mengerti apa yang
 diingini anaknya yang ber-IQ antara 125-130 ini. "Dia keras kepala. Kemarin
 ia tidak mau ikut ujian matematika," sambung Liong, ayahnya.

    Vincent mengaku "takut" pada matematika sejak kecil, tapi mengaku
 disiplin pada aturan mainnya sendiri. "Sejak kecil aku bingung pada dogma
 satu tambah satu sama dengan dua. Aku juga bingung dengan ilmu ekonomi
 karena dalam realitas sosial berbeda," tegas Vincent.

    Toh sang ibu sudah menengarai keistimewaan anaknya sejak bayi. Waktu SD,
 Vincent biasa bergaul dengan gurunya, dan orang-orang setua gurunya.
 Pertanyaannya banyak dan sangat kritis. "Saya langganan dipanggil guru bukan
 hanya karena anak itu sulit. tetapi juga karena karangan-karangannya membuat
 guru-gurunya kagum," ujar Ny Ina.

    Vincent sudah menulis tentang teleskop berdasarkan pengamatan dan
 referensi pada usia SD. "Di rumah ia membawa ensiklopedi yang besar- besar
 itu ke kamarnya," ujar Ny Ina. "Kamarnya kayak kapal pecah. Tidurnya dini
 hari karena menulis," sambung Liong. "Saya sering meminta agar ia
 menyelesaikan pendidikan formalnya dulu, karena bagaimanapun itu sangat
 penting," lanjut Liong.

    "PENDIDIKAN formal sangat penting karena anak-anak indigo harus
 membumikan ilmu langitnya untuk kebaikan manusia. Bukan sebaliknya," ujar
 Rosini (40). Ia menganjurkan, agar anak-anak yang memiliki kemampuan berbeda
 itu tidak dieksploitasi oleh orangtua dan lingkungannya untuk mencari nomor
 togel atau menjadi dukun atau klenik. "Bukan itu misi anak-anak indigo,"
 tegas Rosi.

    Anak-anak itu sebenarnya punya mekanisme pertahanannya sendiri. Annisa,
 misalnya. Gadis kecil berusia 4,5 tahun ini tiba-tiba berbicara dalam bahasa
 Inggris beraksen Amerika begitu ia bisa bicara pada usia 2,5 tahun. Padahal
 orangtuanya tidak berbahasa Inggris dengan baik. Meski tampak menggemaskan,
 dalam banyak hal ia berbicara dan bersikap seperti orang dewasa, bahkan
 menyebut dirinya "orang Amerika" karena "datang dari Amerika". Nisa menyebut
 ibunya, Yenny bukan dengan panggilan mama.

    Kemampuan melihat dan mendengar Nisa sangat tajam pada pukul 23.00 sampai
 dini hari. Tetapi kalau secara sengaja diminta memperlihatkan kemampuannya,
 ia akan menolak dengan tidak memperlihatkan kemampuan itu sehingga ia tampak
 seperti anak-anak lainnya," ujar Yenny. Kata sang ibu, Nisa tidak mudah
 bersalaman dengan orang. Ia seperti tahu orang yang suka pergi ke dukun atau
 memakai jimat. Namun sebagai anak-anak Nisa juga suka menyanyi dan bermain.

    Jenis dan kemampuan anak indigo bermacam-macam. Meski memiliki kepekaan
 yang kuat, kepekaan mendengar dan melihat sesuatu yang tidak didengar dan
 dilihat orang kebanyakan, berbeda-beda gradasinya.

    Menurut Lanny Kuswandi, fasilitator program relaksasi di Klinik
 Prorevital, mengutip dr Erwin, "Ada tipe humanis, tipe konseptual, tipe
 artis, dan tipe interdimensional. Pendekatan terhadap mereka juga
 berbeda-beda," sambungnya.

    Namun karena dianggap "aneh", tak jarang diagnosisnya keliru dan
 penanganannya lebih bersandar pada obat-obatan. "Ada anak indigo yang
 dianggap autis, ADHD (Attention-Deficit Hyperatictve Disorder) maupun ADD
 (Attention Deficit Disorder). Padahal tanda-tandanya berbeda," sambung
 Erwin. Kekeliruan semacam ini juga terjadi di AS, karena banyak ahli
 menganggap anak-anak itu menderita "gangguan" yang harus dihilangkan.

    "Saya beberapa kali pergi ke psikolog dan psikiater," ujar Rosini.
 Profesional di suatu perusahaan swasta terkemuka itu suatu saat dalam
 hidupnya merasa sangat terganggu oleh suara-suara itu. Orangtuanya juga
 merasa anaknya "aneh" karena kerap memberi tahu peristiwa yang akan terjadi,
 tetapi menolak mengakui kemampuan anak itu.

    "Dalam tes yang dibuat oleh mereka, saya dinyatakan sehat. Tidak ada
 gangguan apa pun," sambung Rosini. Sebaliknya, ia melihat psikolog dan
 psikiater yang melakukan tes terhadap dirinyalah yang bermasalah. Ia juga
 pernah mencoba mencari paranormal untuk membuang kemampuannya itu, meski
 suara-suara itu mengatakan "jangan".

    Akhirnya Rosi berdamai dengan dirinya dan mengembalikan kemampuannya
 sebagai wujud kebesaran Allah SWT, dengan berusaha untuk terus mendekatkan
 diri pada Sang Pencipta. Karena itu ia ingin membantu orangtua dengan
 anak-anak indigo agar anak- anak itu tidak melewati masa pencarian yang
 rumit seperti dirinya.

    Indigo children, menurut Erwin, bukan fenomena terakhir, karena akan
 lahir anak-anak yang disebut sebagai crystal children. "Anak-anak dengan
 warna dasar aura, bening dan lengkap. Mereka lahir dari orangtua yang
 spiritual."

    Mungkin Cita (9) termasuk anak itu. Keluarganya, sampai nenek-neneknya,
 spiritualis. Ia bisa melihat sinar dan malaikat di rumah ibadah, khususnya
 ketika orang-orang sedang berdoa. Ini hanya salah satu kemampuan "melihat"
 milik anak yang selalu mendapat rangking di sekolah itu. Cita tahu kapan
 hujan akan turun hari itu dan sebaliknya, meskipun mendung sudah
 menggantung.

    "Ia menjadi teman dan penasihat kami, bapak-ibunya. Di sekolah, di
 keluarga besar kami, terasa ia menebarkan aura kedamaian dan kebahagiaan.
 Anak itu sangat tenang dan pemaaf," ujar ibunya, Ny Dita.

AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA 
UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke