---------------------------------------------------------
Manusia laksana buih diluas wajah samudera.
Yang mengambang di atas tipis permukaan air.
Ketika angin bertiup, ia hilang. 
Seolah ia tidak pernah ada.
Begitulah hidup kita, di hembus oleh kematian.
(Kahlil gibran)
--------------------------------------------------------
eramuslim - Ibu. Saya memandang pantulan ukiran wajah cantiknya di cermin
yang tergantung. Ada yang lain dengan penampilannya. Tadinya saya tidak
'ngeh'. Namun ketika membantunya memakaikan kerudung berwarna merah jambu
itu saya baru menyadarinya. Seuntai tasbih, dengan warna coklat polos yang
telah memudar, mengalungi lehernya. Saya melepaskan tasbih itu dengan
senyuman menggoda, dan Ibu segera menyimpannya baik-baik di bawah bantal.
Saya bersiap menemaninya pergi, membayar rekening telepon. Ketika pulang,
setelah berganti pakaian, tasbih ukuran besar itu kembali bertengger di
sana, di leher Ibu. Ingin saya bertanya, namun ia berlalu bersegera
mengambil wudhu.

Sore kembali turun. 
"Nak, Ibu sungguh takut, bekal Ibu tak cukup jika Ibu mati..." ucapnya.
Suaranya terdengar jauh. Kepala saya tegak, tak menyangka dengan topik
obrolannya. Hening sesaat, suara tetes air dari kran di kamar mandi kian
jelas terdengar. Saya masih menatapnya, menarik nafas dan mengeluarkannya
paksa. Ingin membelokkan obrolan namun melihat kesungguhannya, melihat letih
menelaga di matanya, saya tak tega. Selanjutnya Ibu menambahkan, kenapa ia
menakuti sebuah hal yang sudah pasti kedatangannya. Ia merasa sudah tua,
porsi rata-rata usia manusia sudah terlampauinya. Tidurnya tak lagi mudah.
Makannya tak lagi berselera. Ia merasa tak sempurna lagi melakukan ibadah,
karena kesehatannya sudah jauh menurun. Seringkali shalatnya duduk karena
untuk berdiri lama Ibu merasa tak mampu. Dan terakhir Ia mengeluhkan dadanya
yang tiba-tiba kram. 
Ia bukan takut dengan kematian, namun ia mengkhawatirkan seperti apakah
malaikat Izrail menjemputnya, berair muka jernih dan mempesona ataukah
sesosok seram yang tak pernah dibayangkannya. Ibu takut bekalnya tak cukup
untuk menjadikan kampung akhiratnya menyenangkan. Ibu gemetar kala mengingat
sungguh pedih azab Allah bagi sang pendurhaka. Ibu takut dengan persiapannya
menghadapi kematian yang menurutnya masih alakadarnya. Ia merasa maut sudah
diambang karena kesehatannya yang tak lagi paripurna. Ia merasa akan segera
pindah ke 'sana' sedang bekalnya masih pas-pasan. Ibu sungguh merasa
kematiannya telah dekat, amat dekat.

Dan pada Saya, dengan lirih ia berharap sebuah penenang kegundahannya "Nak,
ibu takut...". 
Entahlah, saat itu yang Saya inginkan adalah menghilang dan terbang
menghindarinya. Hingga kemudian Saya hanya mematung dan merasakan perih
mememarkan hati. Biasanya saat duduk berdekatan seperti itu, tangan saya
akan nakal menjelajah setiap centi wajah syahdu itu dengan celoteh "Idih
kulit Ibu sudah keriput", dan Ibu akan segera memindahkan tangan saya ke
punggung tangannya seraya berkata riang "Nah yang ini lebih keriput bukan".
Biasanya saat seperti itu Saya akan tidur di pangkuannya dan mengganggunya
dengan pura-pura tertidur. Entahlah saat itu saya lebih memilih menatapnya
dan menjadi pendengar yang baik. Entah fikiranSaya buntu hingga tak
sedikitpun memberi ucapan bermakna sekedar peredam gemuruh dadanya. Entah
pula jika saat yang biasanya menjadi waktu bermesra dengannya menjadi
saat-saat yang ingin saya akhiri secepatnya. Sungguh.

Selanjutnya saya faham, mengapa tasbih itu selalu Ia bawa. Setiap hening
yang dijumpainya, tasbih yang dikalungkannya akan segera direngkuhi butirnya
satu persatu. "Astagfirullah...Astagfirullah..."dzikirnya terdengar perih.
Mata itu terpejam, hingga saya yang begitu dekat dan memperhatikannya kadang
tak disadarinya.

Malam sudah dari tadi beranjak, dan kegundahan Ibu menjadi kegundahan Saya
sekarang. Hati ini nyaring bersuara . Bu, saya juga takut dengan bekalan
Saya. Saya belum melakukan banyak hal yang kan memberatkan timbangan
kebaikan di akhirat kelak. Bekal saya tak ada apa-apanya di banding dengan
yang sudah ibu lakukan. Perjuangan Ibu diantara kesyahidan saat melahirkan 9
orang anak dan mendidiknya dengan baik mustahil dianggap hal yang remeh. Ibu
mampu melimpahi kami bertubi cinta sama rata. Ibu juga yang membimbing kami
semua menapaki hidup penuh kesabaran, yang memberi petunjuk supaya kami tak
terantuk. Yang saya tahu waktu sepertiga malam terakhir adalah waktu yang
paling ibu suka untuk menengadah jemari merenda pinta kepada yang Maha
Perkasa agar kami semua meraih bahagia, dan itu adalah sebuah amalan yang
tak terkira. Ibu yang telah berusaha menjadi Istri yang selalu mengharap
keridhaan suami dan surga menjadi sedemikian lapang jika suami ridha. Itu
janji Nya. Ibu jarang mengeluh meski kesehatan yang sejak dulu jarang
sempurna, hingga sering ke rumah sakit dan mengakrabi obat-obatan. Dan
bukankah kesabaran dalam setiap sakit yang diderita adalah penggugur dosa. 

Ingin sekali menjumpaimu bu, dan mengatakan semua ini segera.
Bu...bu... seharusnya sayalah yang harus lebih khawatir.

***
Sahabat, terkadang kematian hanya lekat dengan pikiran orang-orang yang
telah senja. Seringkali ingatan tentang kematian teramat jarang singgah
dalam kesibukan bahkan dalam waktu luang kita sekalipun. Kita lihat
mesjid-mesjid yang shafnya hanya berisi para renta. Seringkali mati hanya
milik mereka, dia, si anu, si fulan, bukan kita. Hingga kita tak sempat
mengingat bekal untuk sebuah fase yang pasti kita alami. Banyak sekali dari
kita yang berhitung untuk berbekal. Berbekal untuk masa depan anak dengan
banyak asuransi, untuk liburan beberapa hari bersama keluarga, untuk
menikah, untuk masa pensiun yang terhitung beberapa tahun. Dan dengan hati
lapang, kita mengabaikan sebenar-benar bekalan. Bekal untuk perjalanan jauh
dan tak berhingga. Bekal untuk 'titik awal kehidupan' yang sudah absolut
kita tapaki. Menantu Rasulullah, Ali ra, menyebutkan bahwa bekal yang paling
baik manusia agar selamat di akhirat adalah taqwa. Bekal inilah yang tidak
mudah kita ingat.

Mendengar kekhawatiran Ibu saya tentang bekalannya, lantas saya teringat
senandung kecemasan, yang dibawakan Jalaluddin Rahmat berikut ini :

Rabbana, siapa gerangan yang nasibnya lebih buruk dari kami.
Jika dalam keadaan seperti ini, kami dipindahkan ke dalam kubur.
Kami belum menyiapkan pembaringan kami.
Kami belum menghamparkan amal shaleh untuk tikar kami.
Bagaimana kami tidak menangis.
Sedangkan kami tidak tahu akhir perjalanan kami.
Nafsu selalu menipu kami dan hari-hari melengahkan kami.
Padahal maut telah mengepak-ngepakkan sayapnya diatas kepala kami.
Akhirnya, Sahabat, tak ada salahnya dalam sujud-sujud kita, dalam untaian
doa-doa kita, dalam tengadah jemari kita, sebuah permintaan ditambahkan.
Sebuah pinta untuk seseorang yang telah mencinta kita dengan
nafasnya.."Rabbii... berikan untuk Ibunda, sebuah husnul khatimah".

----------------------------------------------------
Untuk semua Ibu di Milis ini......
----------------------------------------------------
Semoga bermanfaat
Dede Maulana
- Mau gabung sama bisnis MLM mlik AA Gym?
  hubungi saya via email, sebuah eBook Gratis
  tentang bisnis ini akan kami berikan untuk anda.
  klik disini mailto:namuraHotpop.com?subject=MQnet

- Mau beli buku secara online? coba disi:
  www.bearbookstore.com/members/naufal
  tersedia berbagai macam buku dan majalah dari penerbit
  terkenal.


---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke