*Semoga bermanfaat...*

*Oleh: Theresia Permadi*

Sebagian janji/sumpah Apoteker yang diucapkan saat selesai studi sebelum
menunaikan tugasnya dalam masyarakat adalah sebagai berikut.

Saya berjanji/bersumpah:

  - akan membaktikan hidup saya guna kepentingan peri kemanusiaan
  terutama dalam bidang kesehatan.
  - akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
  martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian!


Sumpah sejenis ini pula yang diucapkan dokter dan dokter gigi yang menurut
Undang-Undang Kesehatan Nasional adalah tiga serangkai sarjana kesehatan.

*SEJARAH PEMISAHAN PROFESI DOKTER-APOTEKER*

Pada awal abad ke-13 belum dikenal istilah Apoteker atau Pharmacist. Yang
ada hanya seorang Penyembuh (healer, shaman, dukun, tabib, sinshe dsb.) yang
memeriksa penyakit pasien kemudian memberikan pula obat yang diperlukan.
Praktek seperti ini saya kira bukan asing di negara kita malahan masih
sangat banyak. Di Eropa praktek seperti ini diikuti dengan cermat sehingga
ditemukan bahwa ini banyak merugikan pasien karena tidak ada " check and
balance". Karena perkembangan di bidang obat kemudian sangat pesat, disadari
bahwa satu orang tidak dapat menguasai semua ilmu. Maka pada tahun 1240 di
negara Kerajaan Sicilia untuk pertama kalinya dikeluarkan undang-undang yang
memisahkan pekerjaan Dokter dan Apoteker. Dokter hanya boleh memeriksa
pasien dan menulis resep tetapi obat dibuat dan diserahkan oleh Apoteker.
Kemudian di tahun 1407 menyusul Pharmacist's Code of Genoa dimana dinyatakan
bahwa seorang Apoteker tidak boleh bekerja sama dengan Dokter.

*PERKEMBANGAN APOTEK DI NEGARA MAJU*

Sesuai dengan fungsinya, Apotek di negara maju menjalankan fungsi pengawasan
atas pemakaian obat oleh masyarakat terutama untuk Obat Keras ( obat
narkotika, psikotropika dan obat lain yang hanya dapat diserahkan atas resep
Dokter). Dan seperti pada Praktek Dokter berlaku pelayanan "no Pharmacist no
Service". Jadi kehadiran seorang Apoteker atau Pharmacist mutlak dibutuhkan
untuk Apotek dapat melayani pasien.

Karena itu, selain secara aktif mengawasi pemakaian obat keras karena
kehadiran seorang Apoteker maka diberikan pelayanan :


  1. Konsultasi untuk pengobatan sendiri.
  2. Konsultasi mengenai obat yang diterima dari dokter.
  3. Pengawasan pemakaian obat agar dilakukan sesuai permintaan Dokter.
  4. Monitoring khasiat dan efek samping obat.
  5. Pengawasan mutu obat yang beredar dan cara-cara penyimpanannya.
  6. Pendampingan atau screening pasien diabetes, hipertensi,
  kolesterol, pemakai KB, dll.
  7. Promosikan cara-cara hidup yang sehat.


Badan dunia WHO dalam pertemuan di Vancouver 1997 menggunakan istilah "7
Star Pharmacist" untuk menyatakan peran dan tanggung jawab seorang Apoteker
yang bermutu (lihat Annex WHO Consultative Group on "Preparing the Future
Pharmacist).

Di tahun 1999 dalam Technical Report Series no. 885 Annex 7 badan dunia ini
pula mengeluarkan "Good Pharmacy Practice In Community And Hospital Pharmacy
Settings" yang sebenarnya sudah diadopsi oleh negara-negara maju sejak tahun
1993.

*PERKEMBANGAN APOTEK DI NEGARA KITA*

Walaupun sudah sejak tahun 1963 Peraturan Pemerintah mengharuskan Apoteker
berkarya di Apotek, agar supaya Apotek menjadi Pusat Informasi dan
Monitoring Obat, sayangnya sampai saat ini tidak terlaksana. Malahan iklim
deregulasi yang 5 tahun terakhir merasuki segala bidang termasuk distribusi
obat telah memporak-porandakan dunia Apotek.

Telah terjadi salah persepsi bahwa untuk menurunkan harga obat perlu ada
persaingan yang sebebas-bebasnya tanpa disadari bahwa di bidang obat pasien
tidak berkompetensi untuk menilai mutu obat dari luar sehingga akan terjadi
banyak pemalsuan dan kebohongan. Dan inilah yang sungguh-sungguh telah
terjadi selama ini dengan timbulnya banyak obat palsu, obat impor gelap dan
oleh Apotek yang tidak bertanggung jawab obat campuran isinya obat murah
tetapi harganya obat mahal.

Sebenarnya Pemerintah sudah bijaksana karena mengeluarkan obat generik yang
murah bagi masyarakat tidak mampu atau ingin menurunkan biaya pengobatannya.
Sayang karena sering dimanipulasi banyak pasien tidak berani ganti obat
(ditulis pada resep tidak boleh diganti tanpa persetujuan) dan malahan
akhirnya sudah dicuci otak bahwa obat generik atau obat keluaran pabrik lain
yang lebih murah tidak baik/nanti tidak sembuh. Padahal dengan mendapat
persetujuan B.P.O.M melalui No Registrasi mutu obat seharusnya sudah
terjamin.

Juga masyarakat sudah tidak mengerti essensi Apotek dan lupa akan adanya
sosok Apoteker sehingga Apotek dr. X atau Apotek ada di tempat praktek
dokter yang sekaligus adalah pemiliknya tidak dianggap sebagai suatu
pelanggaran, malahan sebagai suatu keuntungan. Malahan hampir semua Apotek
yang ingin survive terpaksa buka praktek dokter disebelahnya agar bisa
mendapatkan resep yang cukup dan juga banyak Apoteker "boss"-nya Dokter.

Penulis pernah melihat di Swiss sebuah Apotek (Pharmacia Dr. Y) dan karena
mengira bahwa itu milik Dokter, kami bertanya, ternyata Dr. Y itu seorang
Dottore Pharmacia, jadi bukan Dokter.

Karena sosok Apoteker tidak dikenal/sudah dilupakan masyarakat, karena tidak
pernah berperanan; karena tidak pernah dicari, maka banyak Apoteker sudah
puas kalau hanya namanya dicantumkan pada papan Apotek. Alangkah berbeda
dengan profesi dokter yang tidak pernah menyerahkan tanggung jawabnya kepada
Mantri atau perawatnya. Didunia kebidanan saya mendengar cerita bahwa
spesialis kebidanan tidak membiarkan seseorang ibu melahirkan tanpa
kehadirannya, sehingga kalau ibu "sial" disuruh menahan dulu kalau dokternya
belum tiba.

*DUNIA PENDIDIKAN TINGGI FARMASI INDONESIA*

Sangat memprihatinkan bahwa dunia pendidikan Tinggi Farmasi kita yang sudah
begitu besar jumlahnya (sekitar 25 Fakultas Farmasi ?) dan begitu maju (ada
yang bekerjasama dengan universitas LN) tidak berhasil menciptakan Apoteker
yang cinta profesi dan yang handal untuk terjun dalam dunia praktek. Apakah
ilmu yang tinggi tetapi tidak diamalkan dan tidak diperkaya oleh pengalaman
akan ada gunanya?

Apakah untuk dunia Apoteker tidak berlaku "Experience is the best teacher"?

Kapankah Apoteker bisa dapat pengalaman jika hanya datang sebulan sekali
untuk menandatangani Laporan & Pemesanan Obat Bius dan menerima honor?

*HARGA OBAT DI APOTEK VERSUS TOKO OBAT*

Untuk dapat menjawab pertanyaan yang tercantum sebagai judul artikel ini
tidaklah lengkap jikalau kita tidak membahas mengenai harga yang sering
disorot oleh berbagai pihak, terutama pasien.

Sebenarnya untuk membandingkan harga Apotek dan Toko Obat tidaklah fair,
karena alasan-alasan berikut :


  1. Investasi untuk pendirian Apotek sesuai persyaratan pemerintah jauh
  lebih tinggi dari Toko Obat.
  2. Biaya operasional Apotek : biaya gaji, telepon-listrik-air,
  Pengantar obat, obat kadaluarsa-tidak laku, dan pajak banyak tidak
  diperlukan Toko Obat.
  3. Semua obat yang dibeli melalui jalur resmi sudah dikenakan PPN 10%
  karena semua Apotek sudah terdaftar di kantor pajak.
  4. Obat yang dijual di Apotek dibeli melalui saluran resmi bukan impor
  gelap, tetapi mutunya terjamin.


Bagaimana Penentuan Harga Di Apotek?

Umumnya mengambil patokan 1,3 x harga beli. Ini berarti 0,23 x harga jual.
Jadi untuk resep seharga 100.000,- Apotek peroleh 23.000,- Untuk obat yang
mahal, banyak Apotek tinggal mengambil 0,17 x harga jual. Jadi untuk harga
obat 300.000,- Apotek peroleh 51.000,-

Padahal banyak resep yang harganya dibawah 20.000, yang mana Apotek hanya
mendapat 4.600,- atau kurang. Sedangkan tidak ada lagi dokter praktek
pribadi dimana pasien membayar 5.000,- kecuali Poliklinik RS.

Kalau dilihat dari segi profesi, Apoteker memang tidak ada tempat di dalam
masyarakat kita. Di negara maju ada "professional fee" sama seperti dokter
dan setiap resep dikenakan 25 gulden untuk Belanda (entah sekarang berapa
Euro). Mengingat jurang antara kaya dan miskin yang begitu lebar, cara
sekarang sudah baik, karena yang kaya bisa menunjang yang miskin dengan
syarat bahwa yang tidak mampu pakailah obat generik saja.

*FUNGSI TOKO OBAT*

Sebelum tahun 1970, waktu pabrik obat jumlahnya masih sangat kecil, toko
obat masih berfungsi dengan baik sesuai dengan undang-undang kita. Yaitu
dimana kita bisa berbelanja semua obat bebas/obat tradisional dengan harga
yang relatif lebih murah. Di negara maju toko obat juga menjual makanan
kesehatan, kosmetika dan produk untuk kesehatan/hygiene : sabun, pasta gigi,
dll.

Entah mengapa sekarang banyak toko obat tergoda untuk keluar dari jalur
sehingga rasa tanggung jawab kepada masyarakat telah hilang.

*APAKAH ADA JALAN KELUAR?*

Tentu untuk keadaan yang sudah semrawut sekarang patut dicari jalan keluar
atau:

1. Kita hapuskan saja Apotek, dan hanya ada toko obat dimana kita biarkan
semua obat bisa dijual bebas.

2. Kita biarkan keadaan terus berlanjut karena kita senang hidup
berpura-pura, sampai suatu waktu anak-cucu kita menjadi korban?

3. Kita biarkan dokter serahkan obat pada pasien, sehingga kita kembali ke
zaman tempo doeloe (dokter dukun)!

Karena sesungguhnya APOTEK TANPA APOTEKER ADALAH TOKO OBAT.

**Theresia Permadi*
*Penulis adalah Apoteker dan Aktivis Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI)
*

Kirim email ke