RE: [balita-anda] Sharing masalah daya konsentrasi & kemandirian anak
Mbak Mariani, Mas Riski terimakasih bnyk infonya, saya akan coba menghubungi Mbak Ning. B. Regards Bundanya Cinda & Aldi -Original Message- From: Mariani Widjaja [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, July 28, 2005 9:33 AM To: balita-anda@balita-anda.com Cc: [EMAIL PROTECTED] Subject: RE: [balita-anda] Sharing masalah daya konsentrasi & kemandirian anak Dear Mbak Iis, Penulis Pesan Yg tak terucapkan adalah Mbak Ning/Ibu Mundhi Sabda H. Lesminingtyas ([EMAIL PROTECTED]). Ibu ini menulis buku "Tangan yg Menenun". Mbak Iis dpt langsung email ke Mbak Ning, tanya2 info ttg anak yg susah konsentrasi krn kebetulan anak yg pertama Mbak Ning (Dika) juga mengalami problem yg sama. regards, [EMAIL PROTECTED] -Original Message- From: Riski Harris [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Wednesday, July 27, 2005 4:14 PM To: balita-anda@balita-anda.com Subject: RE: [balita-anda] Sharing masalah daya konsentrasi & kemandirian anak Ini ada sharing pengalaman dari milis tetangga, Yang nulis Ibu/Bpk Amy? Mudah2an bisa buat masukkan. = Pesan Yang Tak Terucapkan pengalaman seorang ibu . == saya buka kembali buku hidup saya, sebagai bahan perenungan bagi para orang tua Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah. Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah. Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun. Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika "Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya menggeleng. "Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya "Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat. Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog. Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya. Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk aspek-aspek kemapuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160. Ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas). Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut Psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab itu Psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian. Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa factor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal. Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :" Dikapun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja" Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di computer dan sebagainya. Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya. Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku ..." Dikapun menjawab dengan kalimat yang be
RE: [balita-anda] Sharing masalah daya konsentrasi & kemandirian anak
Dear Mbak Iis, Penulis Pesan Yg tak terucapkan adalah Mbak Ning/Ibu Mundhi Sabda H. Lesminingtyas ([EMAIL PROTECTED]). Ibu ini menulis buku "Tangan yg Menenun". Mbak Iis dpt langsung email ke Mbak Ning, tanya2 info ttg anak yg susah konsentrasi krn kebetulan anak yg pertama Mbak Ning (Dika) juga mengalami problem yg sama. regards, [EMAIL PROTECTED] -Original Message- From: Riski Harris [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Wednesday, July 27, 2005 4:14 PM To: balita-anda@balita-anda.com Subject: RE: [balita-anda] Sharing masalah daya konsentrasi & kemandirian anak Ini ada sharing pengalaman dari milis tetangga, Yang nulis Ibu/Bpk Amy? Mudah2an bisa buat masukkan. = Pesan Yang Tak Terucapkan pengalaman seorang ibu . == saya buka kembali buku hidup saya, sebagai bahan perenungan bagi para orang tua Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah. Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah. Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun. Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika "Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya menggeleng. "Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya "Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat. Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog. Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya. Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk aspek-aspek kemapuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160. Ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas). Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut Psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab itu Psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian. Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa factor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal. Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :" Dikapun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja" Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di computer dan sebagainya. Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya. Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku ..." Dikapun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu" Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ing
RE: [balita-anda] Sharing masalah daya konsentrasi & kemandirian anak
sa Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling" kata suami saya. Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan "To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choise" sebuah seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan". Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat. Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan. Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para ayah (orang tua) tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para ayah harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat ALLAH. Untuk menyambut Peringatan Hari Anak Nasional Tanggal 23 Juli 2005, saya ingin mengingatkan kembali kepada para orang tua supaya selalu berpikir, bersikap dan melakukan hal-hal yang dikehendaki ALLAH. -Original Message- From: Iis Liestianawati [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Wednesday, July 27, 2005 1:49 PM To: balita-anda@balita-anda.com Subject: [balita-anda] Sharing masalah daya konsentrasi & kemandirian anak Dear All Bagaimana menumbuhkan daya konsentrasi belajar kemandirian pada anak, saya punya masalah dg Aldi, skrg duduk dikelas 3 SD, dalam seminggu ini saya sdh ditegur walikelasnya krn aldi sering ketinggalan ngerjain soal yg disebabkan krn lama nyari2 buku di dlm tasnya juga sering ngelamun. Dan memang aldi dr dulu spt itu gak mandiri selalu hrs diladeni dlm segala hal termasuk utk buku2 sekolah, dimandiin,disuapin, maklum cucu pertama jadi eyangnya terlalu melindungi. Diperparah lg sangat sulit utk berkonsentrasi dlm belajar, ada2 aja yg dimainin entah pulpennya dijadiin mobilan, penghapus, serutan atau barang2 lain yg ada didepannya pasti dimainin atau gak ngelamun yg membubarkan konsentrasi belajarnya. Padahal anaknya lumayan pinter, dpt ranking dikelas, nilai raport 8.5, lincah, pinter merakit mainan. Jika dihadapkan pada soal2 ujian, aldi akan dg cepat selesai, tp belajar disekolah atau dirumah susah sekali, sampai saya harus ngomel2 dulu, Tiap malam saya hrs ngedampingi ngerjain PRnya sampai selesai. Parents tau sendiri tuntutan sekolah anak2 sekarang, kebetulan aldi sekolah di SD plus berangkat jam 6.30 pulang jam 16.30, PR nya bejibun...waktu main dg temen2 hanya 1.5 jam (16.30-18.00), selepas magrib lalu makan malam, nonton TV sebentar, jam 19-21 hrs ngerjain PR, yg lebih banyak waktunya terbuang utk bengong dan main bukannya PR yg dikerjain, Bapak & ibu yg bijak Boleh dong saya share bagaimana mengatasi masalah ini, saya ingin aldi menjadi anak yg cekatan, terampil sesuai usianya & bisa konsentrasi belajar, Apakah ada yg tau lembaga yg bisa meningkat kemandirian & konsentrasi pada anak? Maaf yah kepanjangan ceritanya. Terimakasih sebelumnya Bundanya Cinda & Aldi AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA UTARA !!! Kirim bunga, http://www.indokado.com Info balita: http://www.balita-anda.com Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED] Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]
[balita-anda] Sharing masalah daya konsentrasi & kemandirian anak
Dear All Bagaimana menumbuhkan daya konsentrasi belajar kemandirian pada anak, saya punya masalah dg Aldi, skrg duduk dikelas 3 SD, dalam seminggu ini saya sdh ditegur walikelasnya krn aldi sering ketinggalan ngerjain soal yg disebabkan krn lama nyari2 buku di dlm tasnya juga sering ngelamun. Dan memang aldi dr dulu spt itu gak mandiri selalu hrs diladeni dlm segala hal termasuk utk buku2 sekolah, dimandiin,disuapin, maklum cucu pertama jadi eyangnya terlalu melindungi. Diperparah lg sangat sulit utk berkonsentrasi dlm belajar, ada2 aja yg dimainin entah pulpennya dijadiin mobilan, penghapus, serutan atau barang2 lain yg ada didepannya pasti dimainin atau gak ngelamun yg membubarkan konsentrasi belajarnya. Padahal anaknya lumayan pinter, dpt ranking dikelas, nilai raport 8.5, lincah, pinter merakit mainan. Jika dihadapkan pada soal2 ujian, aldi akan dg cepat selesai, tp belajar disekolah atau dirumah susah sekali, sampai saya harus ngomel2 dulu, Tiap malam saya hrs ngedampingi ngerjain PRnya sampai selesai. Parents tau sendiri tuntutan sekolah anak2 sekarang, kebetulan aldi sekolah di SD plus berangkat jam 6.30 pulang jam 16.30, PR nya bejibun...waktu main dg temen2 hanya 1.5 jam (16.30-18.00), selepas magrib lalu makan malam, nonton TV sebentar, jam 19-21 hrs ngerjain PR, yg lebih banyak waktunya terbuang utk bengong dan main bukannya PR yg dikerjain, Bapak & ibu yg bijak Boleh dong saya share bagaimana mengatasi masalah ini, saya ingin aldi menjadi anak yg cekatan, terampil sesuai usianya & bisa konsentrasi belajar, Apakah ada yg tau lembaga yg bisa meningkat kemandirian & konsentrasi pada anak? Maaf yah kepanjangan ceritanya. Terimakasih sebelumnya Bundanya Cinda & Aldi