Subject: Fw: Hati-hati terhadap karyawan atau baby sitter
PALSU
Orang ini (foto terlampir) telah melakukan penipuan.
Saya berharap pengalaman saya jangan sampai terulang lagi.
Sebaiknya saya menceritakan kejadian ini dengan lebih detail, karena saya
melihat adanya pola penipuan yang sama.
Pertengahan November 2000, saya "mengambil" seorang pengasuh anak dari
sebuah
yayasan suster di Kelapa Gading.
Karena saat itu mendekati lebaran, maka yang ada hanya 2 pilihan.
Yang satu lulusan SMA, bisa nyetir, tapi tanpa pengalaman mengasuh (gaji
yang
diminta 300 ribu).
Yang satu lagi lulusan SD, pengalaman 2 tahun (gaji minta 400 ribu).
Karena anak saya hampir berusia 4 tahun, maka saya memilih yang pertama
dengan
pertimbangan bisa mengajar anak saya, serta banyak keuntungan lainnya.
VIVI, namanya. Lengkapnya HERLIMARIEL JULISALNANVI.
LAHIR DI SURABAYA, 6 JULI 1973.
Selama sebulan bekerja, semuanya tampak lancar-lancar saja bahkan boleh
dikatakan melebihi expektasi saya.
Karena yang ada di rumah hanyalah pembantu rumah tangga, ia membantu
mengatur
pekerjaan mereka.
Dengan segera, ia memenangkan rasa kepercayaan keluarga saya terhadap dia.
Satu minggu sebelum Lebaran, ia minta cuti untuk mengunjungi saudaranya
yang
tinggal di Bekasi. Janjinya ia akan pulang hari Minggu sore. Setelah
ditunggu-tunggu, ternyata baru hari Senin jam 10 an kembali dan tidak lama
kemudian ia mendapat telepon dari Ayahnya di Surabaya yang mengabarkan
ibunya
meninggal dunia karena serangan jantung.
Segera ia menghubungi saya di kantor dan minta ijin pulang hari itu juga.
Saya dan suami sepakat untuk memberi uang duka sebesar 500 ribu. Saya
minta
adik ipar saya yang kebetulan kantornya dekat rumah untuk memberikan uang
ini
terlebih dulu. Mertua saya yang merasa kasihan dan khawatir ia tidak bisa
melihat ibunya untuk terakhir kalinya, membelikannya tiket pesawat one way
ke
Surabaya tanpa sepengetahuan saya.
Supir saya segera mengantarkannya ke airport.
Memang ia belum lama bekerja, tapi kami berharap ia akan kembali lagi.
Jika
tidak, toh, tidak ada salahnya membantu orang yang tertimpa kemalangan,
itu
pikiran kami.
Hampir seminggu ia pulang, ia menelepon dan mengabarkan akan kembali ke
Jakarta
dalam 1-2 hari. Katanya Ayahnya tidak mengijinkannya kembali ke Jakarta,
tapi
karena merasa sudah cocok dengan keluarga saya, maka ia memaksa untuk
kembali.
Untuk membantu Ayahnya, ia ingin memberikan uang 1 juta. Tapi berhubung
uangnya
didepositokan (5 juta), ia meminta kesediaan saya untuk mentransfer dulu.
Setelah depositonya cair akhir Januari, ia akan membayar saya.
Saya kembali berunding dengan suami dan akhirnya memutuskan untuk
membantunya.
2 hari sebelum lebaran, para pembantu saya yang mau mudik memberitahukan
bahwa
Vivi meminjam uang sebesar 400 ribu dari mereka dan mengatakan bahwa ia
sudah
meminta saya untuk menggantikan dulu jika ia belum kembali dari Surabaya.
Mendengar itu, saya langsung lemas dan merasa "terbanglah" sudah uang
saya.
Akhirnya uang mereka kami ganti karena mereka pasti membutuhkannya untuk
berlebaran.
Dua hari setelah lebaran Vivi kembali. Saat saya tanyakan mengenai uang
pinjaman itu, ia mengatakan bahwa ia tadinya takut tidak punya cukup uang
dan
tidak menyangka akan dibelikan tiket pesawat. Saya merasa bersalah telah
menyangka yang bukan-bukan. Mengenai bukti depositonya, ia titipkan ke
saudaranya di Bekasi. Kalau sudah dekat waktunya ia akan ambil.
Minggu ke 2 Januari, ia mengatakan akan berhenti akhir bulan setelah
melunasi
semua hutang-hutangnya. Ayahnya terus menerus memintanya pulang untuk
menjaga
adiknya yang masih kecil (SD).
Seminggu sebelum akhir Januari, ia bilang bahwa dompetnya hilang dimainin
anak
saya. Setelah dicari kemana-mana tidak ketemu. Akhirnya saya
mengusulkannya
untuk lapor ke Polisi hari Sabtunya karena ada SIM, kartu ATM dan KTP.
Ia tampaknya tenang-tenang saja dan mengatakan akan mencari dulu.
Karena tidak ada ID, ia kebingungan mencairkan depositonya. Saya
mengusulkan
agar mentransfer ke rekening saya, kemudian saya potong hutangnya. Ia
setuju
saja.
Rupanya usul "transfer kerekening" ia pakai untuk mengelabui suster bayi
saya.
Ia mengatakan sudah menstransfer uang depositonya dan minta tolong di
ambil.
Karena suster saya tidak bisa keluar rumah, ia meminjam kartu ATM dan
berjanji
akan menunjukkan slip transaksi. Singkat cerita, setelah pakai berbagai
macam
cara, akhirnya Vivi berhasil meminjam kartu ATM suster. Pulang dari ATM,
ia
mengatakan tidak jadi transaksi karena mesin ATM kehabisan kertas. Ia
takut
suster saya tidak percaya. Jadi lain kali saja ia akan ambil. Ia minta
agar
suster saya tidak cerita ke saya mengenai uangnya.
Hari Jum'at siang ia kabur. Setelah dicek ke bank, ternyata tabungan
suster
saya sudah ludes.
Segera saya melapor ke yayasan dan minta data-datanya. Setelah saya cek,
ternyata KTPnya palsu.
Saudaranya