Title: FW: [keluarga-islami] Perilaku Agresif, Akibat Televisi?

Dari Milis tetangga.....

-----Original Message-----
From: He-Man [mailto:[EMAIL PROTECTED]]
Sent: Friday, February 09, 2001 10:32 AM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: [keluarga-islami] Perilaku Agresif, Akibat Televisi?


pikiran-rakyat.com

Perilaku Agresif, Akibat Televisi?

SUATU hari, Ny. Karina, salah seorang staf sebuah perguruan tinggi swasta
(PTS) di Bandung, dibuat kaget. Pasalnya, si bibi laporan, anak lelaki Ny.
Karina yang baru kelas 2 sekolah dasar "mengancam" kakaknya dengan pisau.

"Awas, ditusuk pake pisau," kata sang pembantu mengutip kata-kata si kecil.
Ternyata Adit, sang adik, merasa kesal saat kakaknya terus menggoda dirinya.
Mungkin ancaman itu tidak sungguh-sungguh, tapi toh hal itu cukup membuat
sang ibu deg-degan.

"Yang benar, Bi? Ah, bukan pisau mungkin, Bibi salah lihat kali," berondong
Nyonya Ina-- panggilan akrab Karina. Tapi Bi Ijah bersumpah, ia melihat Adit
mengacungkan pisau pada kakaknya.

Sebagai seorang dosen Ilmu Komunikasi Ina jadi bertanya-tanya, apa mungkin
perilaku anaknya itu akibat terlalu sering menonton televisi yang
menyuguhkan adegan-adegan kekerasan? Sebab menurut teori yang ia ketahui dan
pelajari, TV selain memberi informasi, menghibur, mendidik juga bisa
mempengaruhi.

Pikiran tersebut juga menghinggapi benak Drs. Iman, karyawan sebuah
perusahaan swasta, tatkala melihat kelakuan dua keponakannya. Kedua
keponakan laki-laki itu seringkali bercanda di atas tempat tidur, mereka
seolah melakukan perkelahian dengan saling piting dan menjatuhkan lawan
dengan membanting. "Persis seperti dalam acara Smack down yang diputar
hampir tengah malam di RCTI," ujarnya.

Terus terang, lanjutnya, ia khawatir para keponakan yang masih duduk di
kelas 1 dan 2 sekolah dasar ini meniru adegan kekerasan itu dari televisi.

**

BOLEH jadi bukan hanya Ny. Ina dan Tn. Iman yang khawatir akan pengaruh
adegan kekerasan dari tabung kaca alias pesawat televisi. Mungkin masih
banyak orangtua, terutama yang memiliki anak kecil, merasa takut anaknya
ketularan "virus" televisi.

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Betapa tidak, hampir setiap hari anak
dikunjungi "tamu"-- terkadang datang secara kebetulan-- yang "mengajari" dan
memberi contoh mengenai sesuatu hal. Masih untung jika materi yang
diberikannya itu mengandung unsur pendidikan, tapi bagaimana jika di
dalamnya tersembunyi hal-hal yang sedikit negatif, katakanlah adegan
tusuk-menusuk atau banting-membanting. Anak-anak yang masih dalam taraf
meniru, kemungkinan di satu ketika akan mencontoh adegan itu. Mereka kan
belum pandai memfilter mana yang baik dan buruk dilakukan. Anak-anak yang
gemar menonton akan memperhatikan gerak-gerik sang tamu di layar kaca itu
bukan tidak mungkin menirunya.

Bukan tanpa sebab pula jika televisi dituduh sebagai salah satu penyebab
agresifitas pada anak-anak. Hasil penelitian dua psikolog dari Universitas
Michigan Dr. Leonard Eron dan Dr. Rowell Huesmann pada tahun 1960 dan
sebelas serta 22 tahun kemudian memperlihatkan betapa dalam pengaruh adegan
kekerasan dari televisi.

Seperti yang dikutip "Kumpulan Artikel Psikologi Anak" Intisari, cetakan
April 1999, kedua psikolog itu memperlihatkan hasil penelitian yang
mengagetkan yang dimulai 1960 pada 800 anak sekolah berusia 8 tahun. Betapa
tidak, anak-anak yang terlalu lama menonton acara kekerasan di televisi
cenderung berperilaku agresif di ruang kelas maupun di tempat bermain.

Setelah anak-anak itu dimonitor sebelas dan 22 tahun kemudian, anak-anak
yang sudah remaja (19) dan dewasa (30) itu jauh lebih agresif. Mereka
membuat masalah-masalah lebih besar, termasuk kekerasan di dalam rumah
tangga, pelanggaran lalu lintas, ketimbang rekan mereka yang kurang agresif
karena tidak terlalu banyak menonton adegan kekerasan di televisi.

Menurut kedua psikolog itu, kendati seorang anak tidak agresif pada usia 8
tahun, tapi menonton acara kekerasan di TV dalam jumlah cukup banyak, akan
menyebabkan perilaku lebih agresif pada usia 19 tahun dibanding dengan
rekan-rekan sebaya yang tidak menyaksikan aksi kekerasan di televisi.

Dalam kesaksian di depan Kongres pada 1992, Eron dan Huesmann mengatakan,
kekerasan televisi mempengaruhi remaja dari segala usia, semua tingkat
sosio-ekonomi dan intelegensi. "Tidak juga terbatas pada anak-anak yang
memang sudah berwatak agresif, dan terjadi di manapun."

Pendapat itu dikuatkan oleh komentar dosen Fakultas Psikologi Universitas
Islam Bandung (Unisba) Alva Handayani, S.PSi. Anak-anak, terutama yang masih
usia sekolah dasar hingga kira-kira berumur 10 tahun memang suka meniru.
Sebab dilihat dari segi perkembangan kognitifnya, daya pilah/ filter
anak-anak seusia itu belum sempurna. Dengan begitu, mereka cenderung
menerima mentah-mentah apa yang dilihatnya.

Perilaku ini akan lebih berkembang tatkala di lingkungan teman-temannya
muncul anggapan atau penilaian bahwa yang pintar berantem adalah jagoan.
Maka anak cenderung akan melakukan sikap agresif, sebab adalah suatu
kebanggaan jika dia menang dalam berkelahi.

"Lagipula pola penyelesaian dengan perilaku agresif ini lebih mudah
ketimbang dia harus mikir. Apalagi saat marah energi seseorang akan lebih
tinggi, maka energi itu disalurkan melalui perilaku tersebut," katanya.
Namun demikian, anak yang lebih cerdas akan bisa memilah mana yang sifatnya
realitas dan khayalan.

**

BETAPA berpengaruhnya televisi tak lepas dari fungsi televisi sebagai media
hiburan dan mempengaruhi, selain sebagai pemberi informasi dan memberi
pendidikan. Menurut pakar komunikasi dari Universitas Padjadjaran (Unpad)
Bandung, Dr. Deddy Mulyana MA, sejalan dengan perkembangan teknologi dan
perkembangan kreativitas manusia, keempat fungsi itu cenderung melebur dalam
satu kesatuan. Apalagi, TV pada dasarnya merupakan media hiburan, sehingga
fungsi-fungsi lainnya kerap dipadukan dengan unsur hiburan.

Program-program TV telah dapat dikemas semenarik mungkin, sehingga mampu
memikat dan semakin mempengaruhi pemirsanya. Bahkan, televisi telah mirip
candu.

Perkembangan-perkembangan tersebut juga membuat fungsi mempengaruhi yang
dilakukan TV menjadi semakin kuat. "Saat ini televisi benar-benar bisa
mempengaruhi. Dulu pun fungsi ini sudah ada, tapi kini bisa sampai
batas-batas yang sangat optimal," ujarnya.

Salah satu program televisi yang menjadi kekhawatiran staf pengajar Fakultas
Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad dan Program Pascasarjana Unpad ini, adalah
program untuk anak-anak. Ia menilai, program yang sebagian besar merupakan
tayangan impor tersebut tidak jarang mengandung nilai-nilai kekerasan.

Meski demikian, Deddy mengakui, ini merupakan hal yang dilematis bagi
pengelola televisi siaran. Di satu sisi, mereka dituntut menjalankan
fungsi-fungsinya secara ideal. Namun di sisi lain, mereka juga punya
kepentingan terhadap program-program yang menjadi kegemaran masyarakat,
meski program tersebut minim dengan kandungan informasi dan pendidikan,
bahkan cenderung tidak mendidik.

Permasalahannya, bagaimana menyeimbangkan agar fungsi hiburan ini tidak
terlalu dominan. "Media massa memang tidak bisa hidup tanpa keuntungan, tapi
jangan hal tersebut dijadikan satu-satunya tujuan. Bagaimanapun, televisi
sebagai media massa punya kaitan dengan urusan pemberdayaan masyarakat.
Dalam hal ini, dituntut pula peran aktif masyarakat untuk peduli terhadap
program-program yang ditayangkan televisi," jelasnya.

Yang terutama harus berperan aktif adalah para pemuka masyarakat. "Kita
tidak perlu terlalu mengharapkan peran aktif dari masyarakat umum, karena
mungkin untuk mencari sesuap nasi pun mereka sudah cukup sibuk," ujarnya.

Deddy mencontohkan, di Kota Chicago, Amerika Serikat, para orangtua pernah
melakukan aksi membakar alat permainan yang dinilai akan mengakrabkan
anak-anak pada tindak kekerasan. "Pembakaran ini tidak dilakukan secara
anarkis. Para orangtua itu membeli mainan tadi dari toko, lalu membakarnya
sebagai bentuk protes," jelas Deddy yang baru saja menyelesaikan tugasnya
sebagai peneliti dan dosen tamu di Northern Illinois University, AS.

Indonesia, sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama,
seharusnya memiliki sikap peduli yang lebih ketimbang mereka di AS. Sikap
kritis ini seharusnya tidak hanya ditujukan pada televisi saja, tetapi juga
media lainnya, termasuk komik.

Sedangkan Drs. H Asep Saeful Muhtadi, MA (Kabid Pengembangan Informasi Pusat
Dakwah Islam/Pusdai Jabar, dan dosen di IAIN SGD Bandung) mengakui TV memang
cenderung memberi dampak negatif, terutama film-filmnya menyajikan kekerasan
dan pornografi. Media televisi sebenarnya berdampak besar terhadap
pemirsanya yang berasal dari semua lapisan usia. "Semestinya kita bisa
memanfaatkan televisi untuk sebesar-besarnya pendidikan masyarakat."

**

MELIHAT besarnya pengaruh adegan kekerasan di televisi menuntut kita mencari
cara bagaimana mengatasinya, paling tidak menghindari sesedikit mungkin efek
negatifnya. Haruskah televisi itu kita buang? Tentu saja tidak, toh TV masih
sangat bermanfaat bagi kita, misalnya saja dia bisa memberikan
informasi-informasi aktual, menayangkan film-film yang mengandung pendidikan
dan kreativitas, juga hiburan.

Hanya saja para orangtua dituntut mengawasi dan mendampingi anak-anaknya
saat menonton televisi. "Orangtua bisa saja memberikan pelajaran norma saat
anak menonton televisi. Misalnya ketika ada adegan berantem, anak diingatkan
bahwa berkelahi bukan cara untuk menyelesaikan sesuatu masalah. Atau
orangtua memberi penjelasan, adegan tersebut merupakan rekayasa, khayalan,
bukan realitas, dan sebagainya," saran Alva.

Sementara Asep Saeful Muhtadi menyarankan, untuk mengemas pesan-pesan--
seperti pesan keagamaan-- bisa disampaikan lewat film. "Dalam hal ini kita
bisa meminjam teori belajar sosial dari Bandura. Bandura selaku pencetus
teori itu, menjelaskan proses belajar sosial terjadi dalam empat tahapan,
yakni proses perhatian, proses pengingatan, proses reproduksi motoris, dan
proses motivasional. Setiap saat kita bisa perhatikan berbagai perilaku yang
dapat diteladani, lewat film kita menyaksikan tindakan tokoh utamanya yang
berakhir dengan kemenangan. Jadi, selayaknya film-film yang ditampilkan di
televisi itu yang memberi keteladanan kepada masyarakat. Bukannya kekerasan,
apalagi pornografi."

Adalah tanggungjawab para produser, penyandang dana dan para aktor dalam
memproduksi suatu film. "Perlu ada tanggungjawab moral, apakah film yang
diperankan itu bermakna positif bagi penonton atau tidak. Janganlah terlalu
berpikir pada komersial, sementara dampak buruknya tidak dipikirkan," tegas
Asep.

EYP/Erman/Aji




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor ---------------------~-~>
eGroups is now Yahoo! Groups
Click here for more details
http://click.egroups.com/1/11231/0/_/_/_/981688200/
---------------------------------------------------------------------_->

Milis Keluarga Islami
Mewujudkan Keluarga yang Islami , Sakinah , Mawaddah wa Rahmah
Kirim Posting : [EMAIL PROTECTED]
Berhenti      : [EMAIL PROTECTED] 
Bagi yang hendak merahasiakan identitas posting ke milis kirimkan 
e-mail anda ke mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Wanita Muslimah mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Anak Muda Islam [EMAIL PROTECTED]

>> kirim cake & bunga ke 20 kota di Indonesia? klik, http://www.indokado.com  
>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED]
Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
















Kirim email ke