TINJAUAN TATALAKSANA PERILAKU DAN EDUKASI UNTUK AUTISM SPECTRUM DISORDER Beberapa masalah perilaku yang dapat dikatakan sebagai kesulitan belajar pada penyandang autisme, antara lain yaitu : - Tidak belajar dengan sendirinya secara sosial - Tidak meniru-niru - Tidak dapat belajar dari anak sebaya pada paparan sederhana - Tidak dapat "membaca" wajah dan gerak-tubuh yang orang perkirakan seharusnya anak mengerti dan dapat menggunakannya - Mengolah informasi visual dengan secara selektif mengenyampingkan informasi auditori - Melakukan perilaku repetitif tanpa memperhatikan hal-hal baru yang mengandung informasi baru Terdapat beberapa pendekatan untuk tatalaksana autisme. Tiga kategori tatalaksana untuk autisme berdasarkan perilaku dan edukasi. Yang paling sering dibahas adalah Applied Behavior Analysis (ABA), misalnya DTT (Discrete Trial Training) dengan cara Lovaas. Kedua TEACCH (Treatment and Education for Autistic and Other Communicatively Handicapped Children) yang walaupun berdasarkan konsep perilaku tetapi lebih berorientasi ke ruangan kelas dan biasanya menggunakan PECS (Picture Exchange Communication System). Yang ketiga adalah edukasi inklusif dimana anak diintegrasikan dengan anak sebayanya yang tanpa masalah. Selain itu terdapat beberapa pendekatan tatalaksana lainnya yang ditujukan pada salah satu defisit spesifik pada autisme (misalnya Auditory Integration Training, Sensory Integration Training, Floor Time, PECS, Social Stories). 1. Applied Behavior Analysis Tatalaksana yang paling banyak dilakukan penelitian adalah yang berdasarkan ABA. Penelitian ABA untuk autisme dimulai oleh Lovaas pada tahun 60-an/70-an di University of California, Los Angeles. Lovaas melaporkan bahwa 47% anak penyandang autisme yang mendapat DTT paling tidak 40 jam per minggu secara one-on-one selama 2 tahun, berhasil mencapai perilaku adaptif dan intelektual serta edukasi yang sesuai umurnya. Hal ini memulai revolusi tatalaksana intensif bagi penyandang autisme. Cara ABA yang lain yang spesifik untuk autisme misalnya pivotal response training, positive teaching, dan incidental learning. Cara-cara ABA ini telah dilakukan pada banyak defisit dini dan pervasif yang merupakan masalah belajar pada autisme, terutama pada motivasi sosial (perhatian dan kepatuhan), imitasi, dan perilaku repetitif yang kesemuanya mengganggu anak belajar informasi baru. 2. TEACCH Dimulai pada tahun 1970-an oleh Eric Schopler. Program ini merupakan cara mendidik anak autistik dengan menggunakan kekuatan relatifnya pada hal yang terstruktur dan kesenangannya pada rutinitas dan hal-hal yang dapat diperkirakan, dan relatif lebih mampu berhasil pada lingkungan yang visual dibandingkan auditori. Bantuan-bantuan visual sangat banyak ditekankan, maka murid-murid menggunakan jadwal dan petunjuk-petunjuk lainnya dengan gambar untuk menunjukkan awal dan akhir suatu aktivitas, tahapan suatu tugas, dan urutan aktivitas-aktivitas sehari-hari. Bidang-bidang kelas dibatasi dengan jelas untuk membedakan guna dan jenis aktifitas yang dapat dilakukan di situ. 3. Edukasi Inklusif Inklusi biasanya merupakan bagian program ABA/DTT. Ini berdasarkan pemikiran bahwa anak-anak sebaya yang tanpa masalah akan memberikan model-model perilaku yang kompleks dan sesuai dengan tingkat perkembangan, yang sulit diduplikasi oleh orang dewasa. Jelas terlihat bahwa anak-anak penyandang autisme yang higher-functioning akan memperoleh manfaat dari integrasi yang direncanakan dengan baik, dan kemungkinan juga secara sosial bermanfaat bagi anak di lingkungannya yang tanpa masalah. 4.a. Floor Time Merupakan model edukasi yang dikembangkan oleh Stanley Greenspan, PhD. Mirip play therapy yang digunakan oleh psikiater anak untuk masalah emosional pada anak. Terapi dimulai dengan permainan giliran yang sederhana yang menyenangkan kemudian meningkat bertahap bila anak mengalami kemajuan sampai dengan interaksi simbolik. Tatalaksana ini belum tervalidasi secara ilmiah, walau Greenspan telah menghasilkan satu studi deskriptif. 4.b. PECS Dikembangkan oleh Andy Bondy dan Lurie Frost di Delaware Autism Program, berdasarkan kemampuan visual anak-anak penyandang autisme yang lebih berkembang. Menggunakan metode yang berdasarkan ABA, anak dilatih untuk menukarkan gambar dengan benda/aktivitas yang diinginkan. Menyerupai bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Keuntungannya yaitu melibatkan anak pada interaksi sosial selain komunikasi, yang merupakan defisit pada penyandang autisme. 4.c. Social Stories Dikembangkan oleh Carol Gray, merupakan strategi untuk meningkatkan perilaku sosial yang diinginkan melalui gambar-gambar situasi sosial spesifik sehingga anak belajar respons sosial yang sesuai. Social Stories dirancang untuk anak yang kemampuan reseptif dan ekspresifnya baik tetapi kurangnya pemahaman/intuisi sosial. Sesuai untuk anak-anak autistik yang high-functioning atau sindrom Asperger. Jakarta, 07 Desember 2000. Dr. Rudy Sutadi, SpA Sumber : Bryna Siegel, PhD. Behavioral and Educational Treatments for Autism Spectrum Disorders >>>> 2.5 Mbps InternetShop >> InternetZone << Margonda Raya 340 <<<< >> Cake, parcel lebaran & bunga2 Natal? Klik, http://www.indokado.com >> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED] Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]