ANAK
OGAH MAKAN,
SALAH ORTU Kalau seorang anak ogah-ogahan makan, bisa jadi bukan faktor si anak tetapi
lantaran kesalahan ortu (orang tua) dalam menerapkan pola makan pada anak. Lantas apa
yang harus dilakukan? Berikut paparan Dr. Ali Khomsan, ahli gizi yang juga dosen GMSK,
Faperta IPB.
Asupan gizi yang baik sering tidak bisa dipenuhi oleh seorang anak karena faktor dari
luar dan dalam. Faktor luar lantaran keterbatasan ekonomi keluarga. Sedangkan faktor
internal ada dalam diri anak yang secara psikologis muncul sebagai problema makan anak.
Problema makan ini misalnya dijumpai dalam bentuk anak enggan makan. Perilaku ogah
makan bukanlah persoalan sepele. Tidak ada obat mujarab yang bisa segera memulihkan
nafsu makan anak. Anak yang malas makan selalu berusaha mencari-cari alasan untuk
tidak makan. Misalnya dengan ngemut makanan, mempermainkan, atau memuntahkan makanan.
Picky eater (pilih-pilih makanan) sering dijumpai pada anak yang membuat orang tua
bingung. Anak yang cenderung berperilaku picky eater akan mengalami kesulitan dalam
meramu variasi makanan untuk memenuhi kecukupan gizinya. Makanan yang dikonsumsi
sehari-hari cenderung seragam, padahal keanekaragaman makanan merupakan cara terbaik
untuk memenuhi kebutuhan gizi. Anak-anak ini pun bisa saja setelah besar tidak mau
mengkonsumsi makanan yang keras. Bahkan nasi pun harus diganti bubur.
Mengapa problema makan ini muncul pada anak? Secara psikologis dapat diterangkan,
perilaku makan timbul karena anak meniru atas apa yang dilakukan oleh anggota keluarga
lainnya. Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang enggan makan, lantaran diet
misalnya, akan mengembangkan perilaku enggan makan pula.
Perilaku sulit makan juga dapat timbul karena orang tua tidak mengakui ego anak. Orang
tua selalu memaksakan anak harus makan ini-itu dengan porsi yang sudah ditentukan.
Misalnya dengan mengharuskan menghabiskan makanan di piring. Maksud orang tua mungkin
benar mereka menginginkan anaknya tumbuh sehat dengan gizi cukup. Tetapi mereka kurang
menyadari kalau makan bukan melulu persoalan gizi tetapi terdapat pula unsur
psikologis.
Soalnya, anak balita dalam rangka menuju proses kemandirian sebenarnya ingin pula
diakui egonya. Jadi, sekali-kali beri mereka kebebasan untuk mengambil makanan sendiri
tanpa harus disuapi.
Ulah ortu
Ada perbedaan mendasar bagaimana orang Barat mempersiapkan proses kemandirian anak
dibandingkan dengan orang Timur. Di sini kita selalu cenderung meladeni anak, termasuk
dalam hal makan karena tidak ingin makanan tumpah berceceran. Membuang-buang makanan
adalah tabu dan bisa kualat. Sehingga dalam masyarakat kita bisa dijumpai orang tua
masih menyuapi anak yang sudah kelas V SD. Hal ini nyaris tidak kita temukan pada
masyarakat Barat yang sejak dini melatih anak untuk bisa makan sendiri.
Perilaku makan yang kurang pas sering kali muncul karena ulah orang tua. Semisal
kebiasaan untuk menenangkan anak yang sedang rewel dengan cara membelikan jajanan yang
padat kalori (permen, minuman ringan, coklat, dsb.). Anak yang sudah mengkonsumsi
makanan padat kalori perutnya akan segera kenyang sehingga ia tidak mau makan.
Variasi makanan sangat menunjang tumbuh kembang anak.
Karena itu kegiatan makan bagi seorang anak harus dibuat dalam suasana yang
menyenangkan. Jangan ada unsur paksaan sehingga timbul kesan saat makan menjadi
sesuatu yang menjengkelkan atau bahkan merupakan hukuman. Kebiasaan makan bersama yang
sudah mulai ditinggalkan ada baiknya dihidupkan lagi. Anak balita pun bisa merasakan
nikmatnya makan bila semua anggota keluarga duduk bersama-sama di meja makan.
Problema makan pada anak dapat berakibat buruk bagi tumbuh kembang anak. Sedikitnya
makanan yang masuk ke dalam perut anak dapat menjadi indikasi bahwa anak itu mempunyai
peluang besar untuk menderita kurang gizi. Indikator status gizi kurang dicerminkan
oleh berat badan atau tinggi badan anak di bawah standar.
Dengan menggunakan ukuran standar sebagai pembanding kita dapat mengetahui
status gizi seorang anak. Di dalam Kartu Menuju Sehat (KMS), yang dibagikan secara
gratis bagi peserta program Posyandu, tergambar grafik pertambahan berat badan
berdasarkan usia anak. Melalui penimbangan anak balita setiap bulan dapat diketahui
kecenderungan status gizi seorang anak.
Mereka yang mengalami kegagalan pertumbuhan (berat badan tetap atau turun dalam
penimbangan bulan berikutnya) sering disebabkan oleh kekurangan gizi atau sakit.
Anak-anak itu mengalami kekurangan gizi karena kurangnya makanan di tingkat rumah
tangga.
Anak balita memang sudah bisa makan apa saja seperti halnya orang dewasa. Tetapi
mereka pun bisa menolak bila makanan yang disajikan tidak memenuhi selera mereka. Oleh
karena itu sebagai orang tua kita juga harus berlaku demokratis untuk sekali-kali
menghidangkan makanan yang memang menjadi kegemaran si anak.
Faktor psikososial yang bisa mempengaruhi nafsu makan anak bisa timbul karena
pemberian makan yang terlalu