Penjaga Kesenian dan Sastra Sunda Itu...
Senin, 25 Januari 2010 | 14:06 WIB
Tiga tahun lalu bahasa Sunda diperkirakan mati tahun 2010. Bahasa Sunda akan
kehilangan penutur akibat tidak dinamis mengikuti perkembangan zaman. Namun,
ramalan itu meleset. Setidaknya ada beberapa orang yang berusaha melawan,
dengan atau tanpa disengaja, lewat caranya masing-masing.
Taufik Faturohman gerah ketika laporan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan,
dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) itu muncul. Bahasa Sunda
disebutkan ada pada peringkat ke-32 dunia dari jumlah penggunanya. Dari sekitar
40 juta penduduk Jawa Barat, hanya 17 juta orang yang menggunakan bahasa Sunda.
"Hal ini tidak boleh dibiarkan. Harus ada terobosan bila tidak ingin lebih
parah," kata Pengawas Lembaga Basa dan Sastra Sunda ini. Berbagai eksperimen
pun ia munculkan hingga melahirkan sudong alias sulap dan dongeng. Dalam
pertunjukan sudong, sulap digabungkan dengan beberapa unsur sastra Sunda,
seperti dongeng, pupuh, wawacan, pantun, sajak, kawih, dan tembang, diiringi
aransemen musik kecapi diatonis.
Contohnya, penyajian dongeng Mundinglaya di Kusumah yang terbang ke jabaning
langit (langit ketujuh). Setelah dongeng dibacakan, pesulap menyajikan sulap
terkait dengan cerita itu. Bila ceritanya tentang tokoh utama yang bisa
terbang, pesulap akan menyajikan kemampuan ilusi terbang.
"Setelah lima tahun menyajikan sudong di sekolah tingkat menengah atas,
pemahaman bahasa Sunda murid dan guru pun semakin positif," ujar Taufik.
Hal lain dilakukan Hendarso alias Darso, seniman calung dan musik pop Sunda.
Lebih dari 30 tahun ia konsisten membawakan alat musik calung dan pop Sunda
sehingga tetap diminati. Album dan pertunjukannya digilai banyak orang Sunda.
"Maripi" dan "Kabogoh Jauh" adalah beberapa lagu yang melambungkan namanya.
Dekan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Dadang Suganda mengatakan, peran
Darso menjaga kesenian dan bahasa Sunda sangat besar. Darso mampu menggabungkan
musik tradisional Sunda dan modern menjadi bentuk baru yang diminati. Tema lagu
yang dekat dengan keseharian masyarakat membuatnya semakin dicintai.
Misi terkini akan dilakukan seniman karawitan Sunda, Nano S, dan sastrawan Ajip
Rosidi di Bale Rumawat Universitas Padjadjaran, Minggu (31/1). Keduanya akan
menggabungkan puisi dan musik Sunda menjadi karya seni baru.
"Saya prihatin dengan minat masyarakat Sunda mendalami kesenian dan bahasa
daerah. Padahal, banyak nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Semoga
pertunjukan itu bisa mengangkat rasa cinta masyarakat pada budaya dan bahasa
daerahnya," kata Nano.
Nano akan melagukan lirik puisi karya Ajip Rosidi yang termuat dalam buku Jante
Arkidam jeung Salikur Sajak Liana terbitan Tjupumanik tahun 1967, di antaranya
puisi berjudul "Tanah Sunda", "Hirup", dan "Katumbiri".
"Pada dasarnya lirik puisi tidak mudah dibuat lagu karena tidak jelas titik dan
komanya. Namun, puisi Ajip Rosidi sangat menarik hati karena liar dan penuh
kemarahan, tapi sarat dengan pesan religi," kata Nano. (Cornelius Helmy)